[CERPEN] Harga Diri Laki-laki

Cara lelaki memperlakukan wanita menunjukkan harga dirinya

Matahari mulai mengendurkan sengatnya, bumi menguning, debu-debu mengudara, memenuhi ruang tak berdinding, bersanding asap knalpot kendaraan yang berlalu lalang di hadapanku. Map dokumen lamaran kerja kusisihkan ke samping, di bangku kosong tepat di sebelah kananku. Halte ini sudah mulai sepi ketika hari menjelang maghrib.

Aku merogoh saku celana, mengeluarkan sebungkus rokok dan sebuah pemantik api. Bibirku mengapit sebatang rokok itu, tangan kanan menyalakan pemantik dan tangan kiri menghalau angin agar rokok dapat menyala, lalu menghisapnya sambil memejamkan mata, juga memijat-mijat kening yang sejak beberapa hari pusing tujuh keliling karena terus-terusan mendapat penolakan saat mengajukan lamaran kerja.

"Mas.. Mas.. tolong matikan rokoknya." Seorang wanita muda yang terlihat mengemban beban berat di perutnya itu berkata padaku dengan raut wajah yang sama sekali tidak ramah. Aku mengerling ke arahnya, "Tolong matikan rokoknya!" Dia mengulang kembali perkataannya.

Aku lantas menjatuhkan rokok itu dari mulutku ke lantai halte, menggilasnya dengan sepatuku hingga apinya benar-benar padam. Tetapi pandangan wanita itu tetap saja runcing ke arahku, dia kemudian duduk tepat di samping kiriku, tangannya menyapu-nyapu perut buncitnya itu.

"Usia kandungannya berapa bulan, Mbak?" tanyaku basa-basi, sebenarnya aku tidak ingin tahu berapa usia kandungan wanita ini, hanya saja aku ingin tahu bagaimana responnya terhadapku.

"Sembilan," jawabnya tak acuh, dia bahkan tidak memandang ke arahku. Aku membiarkan obrolan berakhir di sana, tanpa bertanya apa-apa lagi. Jelas sekali dia tak nyaman dengan itu.

Aku menggeser posisi dudukku ke sebelah kanan, memangku map yang tadi kuletakkan di sana. Menjauh dari wanita hamil yang lebih terlihat seperti wanita PMS itu. Hujan mengguyur, deras, meredamkan debu-debu yang bertebaran.

Wanita itu beranjak dari duduknya meninggalkan genangan keruh pada tempat duduknya, kuperhatikan rok hingga kakinya basah, kenapa dia? Aku hanya bertanya dalam hati.

Raut wajahnya berubah, kuperhatikan dia meringis menggigit bibirnya seperti menahan sakit yang teramat. Aku ingin menanyakan apa yang terjadi, tetapi raut mukanya tetap saja tak ramah padaku.

Ketika beberapa langkah berjalan, dia terduduk dan mengerang kesakitan, aku terkesiap bangkit dan menopang tubuhnya dari belakang.

"Mbak? Mbak? Kenapa Mbak?" Aku bertanya dengan gagu, sementara hujan semakin deras mengguyur. 

Dia mencengkeram lenganku. "Saya mau melahirkan!" serunya.

"Tunggu... sa, saya cari bantuan." Aku semakin gugup. 

"Jangan tinggalin saya sendirian!" Dia menahan tanganku, dan mulai mengejan.

"Astaga.. Jangan mengejan Mbak!" Aku menjenggut rambutku, sungguh situasi yang tak pernah kuinginkan.

"Tolong.. tolong!!" Aku berteriak layaknya orang yang terjebak api dalam sebuah gedung yang terbakar. "Taksiiii...!!!" pekikku keras saat sebuah taksi melintas, hingga suaraku menembus deras hujan maghrib itu, taksi itu berhenti di seberang trotoar.

"Tahan Mbak, udah dapat taksi, kita ke rumah sakit! Jangan mengejan dulu, jangan melahirkan di sini," ucapku, menggendongnya menembus derai hujan, menuju taksi.

Driver taksi yang menanti di pintu penumpang itu linglung melihat aku yang terpontang-panting menggendong wanita yang tak henti mengerang.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Dia mau melahirkan Pak. Antar kami ke rumah sakit," jelasku sekenanya, driver taksi itu hanya mengangguk, dengan mulut tak bisa mengatup.

Sautan klakson kendaraan, suara guntur menggelegar, air hujan yang riuh menyerbu, ditambah erangan kesakitan wanita ini. Ah, benar-benar situasi yang mendebarkan. Keringat dan air hujan berpadu membuat sekujur tubuhku kuyup, ah map lamaran kerjaku tertinggal. Kacau!

Wanita itu terus-terusan mengejan, keras kepala sekali dia. Siapa yang bisa membantu mengeluarkan bayinya di sini.

"Mbak jangan mengejan dulu... tahan!!"

"TAHAN TAHAN! KAMU PIKIR GAK SAKIT APA HAH?" Suaranya lebih lantang dari gelagar guntur.

Sesaat setelah taksi terlepas dari kemacetan. Wanita itu berteriak-teriak, driver taksi ikut panik, aku panik kuadrat, hingga akhirnya suaranya melemah, darah segar menyembur dari bawah dan... tak lama berselang sesosok mungil berlumur darah itu nampak kepalanya, tanganku yang gemetar kupaksa menjulur untuk menyelamatkan bayi itu.

Wanita itu mendorong-dorong perutnya sendiri, dia benar-benar wanita perkasa. Hingga seluruh badan bayi itu keluar, wanita itu terlihat tak sadarkan diri. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, hanya mendekap bayi merah yang menangis itu dalam pelukan dan samar-samar mengumandangkan adzan.

~~

Aku keluar dari ruang IGD dengan pakaian berlumuran darah, syukurlah mereka berdua selamat. Bayi dan seorang wanita luar biasa tadi, hari ini, mengukir sejarah yang tak akan kulupa.

***

Tidakkah bisa kau lihat kedamaian

Dari seorang lelaki yang tahu cara memperlakukan wanita?

Sejatinya lelaki terpilih

Bukan dari rupa menawan, dada bidang, uang, apalagi bualan yang memabukkan.

Ia yang mampu meredam amarahnya pada wanita, adalah yang selalu didamba

Sebab, harga dirinya terletak di sana

Pada caranya memperlakukan wanita

Mampu menempatkan antara hormat, tegas dan lembut atas wanita.

Baca Juga: [CERPEN] Mimpi dan Jimat

Fatimah Ridwan Photo Verified Writer Fatimah Ridwan

75% Introvert

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya