[CERPEN] Rasa yang Kukira Telah Reda

Cemburu, rindu dan cinta ini masih untukmu

Entahlah mungkin sudah terlalu lama, hingga resah itu tak lagi ada, hingga cemoohan itu kuanggap bualan ringan yang terbang menjauhiku kala angin menerpa. Aku bahkan tak risih lagi dikelilingi para sejoli yang saling bertaut jemari.

Tujuh tahun berlalu setelah patah hati terparahku terlewati, meski jatuh bangun, dan berkali ingin mengemis kembali, akhirnya kini senyumku baru bisa benar-benar pulih, melengkung lebar tanpa paksaan, tak seperti beberapa tahun lalu, bahkan Chio kucing peliharaan adikku pun tahu bahwa senyumanku adalah palsu.


 


 

Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar memang, tetapi siapa sangka ternyata perlu waktu selama itu untuk benar-benar sembuh dari patah hati. Bukan hanya sekadar mengobati luka, tetapi lebih berat dari itu—melupakan mantan kekasih yang hampir saja memperistriku dan juga kenangan-kenangan yang mengikutinya.


 


 

Udara pagi di musim gugur tercium bagai aroma teh, sangat menenangkan. Aku duduk di antara dedaunan oranye yang berjatuhan di bangku taman. Satu-satunya alasan aku memilih tempat ini untuk menulis adalah karena pohon dan dedaunan ini merupakan simbol perpisahan yang ikhlas kala musim gugur. Tidak ada yang saling menahan, memaki, atau menangisi. Padahal tak terhitung kenangan yang mereka lewati selama beberapa musim sebelum musim gugur tiba.


 


 

Ikhlas adalah sifat ajaib yang mampu membantu meringankan beban. Ini terbukti, setelah aku coba mengikhlaskan lelaki itu pergi, sebagian bebanku ikut hilang, sesakku tak lagi semenyiksa dulu.


 


 

'Mengikhlaskan' kata itu pernah tak memiliki arti di ruangku, kala cinta masih merajai, entahlah mungkin bukan cinta, tetapi hanya keegoisan ingin memiliki.


 


 

Berat memang, tetapi perlahan-lahan aku melepaskannya dengan perasaan yang coba kutampik. Aku benar-benar menyerah, kala kalimat rindu dariku tak pernah dibalas rindu olehnya, dia begitu cepat berubah, kadang-kadang aku iri padanya yang ringan melepas tanpa merasa dibebani kenangan.


 


 

Aku mulai mampu membaca, sikap tak acuhnya bermakna: Pergilah, aku tak lagi mencintaimu!


 


 

Sejak saat itu aku coba mencerna kata 'mengikhlaskan' dan rasanya kata itu menyambutku, meringankan bebanku, menyembuhkan luka, juga menghilangkan perasaanku untuk lelaki itu.


 


 

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Tujuh tahun tanpa pasangan membuatku mendapat tudingan bahwa aku belum move on. Aku tak menyanggah, tak juga membenarkannya. Percuma menjelaskan, lagi pula aku yakin bahwa aku benar-benar sudah move on.


 


 

Memilih belum menjalin hubungan baru bukan karana cinta lama masih menghantui, tetapi aku terlalu hanyut dan menikmati kesendirian. Mencintai diriku seutuhnya, tanpa mengemis cinta orang lain, tanpa mengumbar cinta untuk orang lain. Memahami diriku sendiri tanpa menuntut dipahami orang lain, tanpa mencoba memahami orang lain.


 


 

Aku berpikir seribu kali untuk melepaskan status single ini, bukan berpikir seribu kali untuk menjalin cinta baru. Atau memikirkan mantan kekasih hingga seribu kali, yang benar saja! aku sudah move on!


 


 

Tiba-tiba jemariku menghentikan cengkramanya dengan keyboard ketika suara gelak itu terdengar. Suara yang tak asing hanya saja sudah sangat lama tak menghangatkan rongga telingaku.


 

Di ujung jalan kulihat seorang wanita memeluk lengan lelaki yang suaranya mampu membuat jemariku kelu itu. Mereka tertawa di antara daun-daun berguguran.


 

Hatiku terasa diremat ketika lelaki itu menyapu lembut rambut wanitanya, persis seperti yang dia lakukan padaku tujuh tahun yang lalu, lelaki itu mantan kekasihku.


 

"Mengapa harus melihatnya, dan mengapa harus cemburu?"


 

"Hei! Bukannya kau sudah move on!"


 

"Mengapa kau harus terlihat menyesal?"


 

"Bukannya dia yang menyakitimu?"


 

"Aku tak percaya lagi dengan karma yang selalu digaung-gaungkan oleh orang sakit hati itu. Nyatanya, masih saja aku yang sakit di saat dia telah tertawa bahagia dengan cinta barunya." Matahari semakin tinggi, Aku mengajukan pertanyaan yang kujawab sendiri. Bodohnya.

Baca Juga: [CERPEN] Perempuan Pembenci Stasiun

Fatimah Ridwan Photo Verified Writer Fatimah Ridwan

75% Introvert

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya