[CERPEN] Sesuatu yang Spesial  

Sukra itu orangnya suka mengobrol

Malam itu, Agus bercerita kepada Sukra bahwa hidupnya pelik. Sedari kecil, dia terbiasa memarkir mobil dan motor di pasar Lenteng Agung. Di pasar yang luasnya kalah jauh dibanding Tanah Abang tersebut, Agus biasa mengais pundi-pundi rupiah untuk keberlangsungan hidupnya.

"Gue dulu kalau markir di Lenteng, mayan lah, Kra. Dapet gue sekitar 50 ribu sehari. Cukup itu buat beli rokok, beras, ama telor. Sisanya, gue tabung dikit-dikit," tutur Agus sembari meniupkan asap rokok dari mulutnya.

Sukra yang mendengarkan ikut terhanyut dan tersenyum simpul, sembari memandangi gurat keriput yang ada di wajah Agus. Dengan usianya yang sekarang hampir 40 tahun, Sukra tidak bisa membayangkan betapa kerasnya kehidupan Agus semasa kecil, sampai-sampai harus menjadi tukang parkir.

Habis satu gelas kopi, Sukra beringsut meninggalkan Agus di warung kopi yang ada di wilayah Jagakarsa tersebut. Sukra pamit, berkata bahwa ada urusan yang harus dia penuhi di daerah Pasar Minggu. Sebelum pamit, dia membayar satu gelas kopi hitam dan tiga batang rokok yang Agus beli.

"Mumpung ada rezeki gue," tutur Sukra.

"Entar gue bayar yak, kalau gaji gue udah turun, hehe," balas Agus yang kini jadi editor di sebuah majalah ternama.

Sukra langsung menyalakan motor, melambaikan tangan pada Agus, dan bergerak menuju arah Pasar Minggu. Sesampainya di Pasar Minggu, Sukra menepi di sebuah warung makanan Aceh. Di sana, dia sudah berjanji untuk bertemu dengan teman satu kampung halamannya, Anto.

Setelah celingukan sebentar, Sukra akhirnya menemukan Anto. Dia terduduk di sudut warung, dengan tas besar warna biru yang tersimpan di sisi meja. Sukra memanggil, Anto menyahut. Sukra langsung menghampiri, menempati kursi yang memang disediakan Anto untuknya.

"Jadi juga maneh (kamu) kerja di Jakarta. Selamat!" ujar Sukra.

"Iya, nih. Teu nyangka nya urang akhirnya gawe di dieu (Gak nyangka ya, akhirnya aku kerja di sini)," ucap Anto dengan senyum di wajahnya.

Sukra dan Anto adalah teman seperjuangan dari kecil. Dulu, mereka sering menghabiskan waktu mengejar layangan dan capung di pematang sawah. Kampung mereka, Cicadas, adalah desa yang subur. Selain sawah, kebun teh juga bertebaran di mana-mana. Mereka dekat karena ayah mereka sama-sama pekerja di pabrik kebun teh.

Namun, takdir memisahkan Anto dan Sukra ketika kuliah. Anto memilih jurusan teknik otomotif untuk mewujudkan cita-citanya menjadi montir. Sedangkan Sukra, dia terdampar di jurusan sastra dan kini menjadi jurnalis. Keduanya saling bertanya kabar, sampai akhirnya Anto curhat kepada Sukra.

"Edun nya euy, gawe di dieu mah. Asa gararancang (Edan ya, kerja di sini, segalanya terasa cepat)," ujar Anto sambil menyeruput Kopi Sanger yang sudah dia pesan.

"Ya, gimana lagi atuh, To. Ngaranna ge Jakarta (Namanya juga Jakarta), Ibu Kota, Bro," tutur Sukra yang sedang menanti pesanan mie rebus dan teh tarik kesukaannya.

Begitu menu Sukra datang, dia izin kepada Anto untuk makan. Anto mempersilakan, lalu lanjut memainkan smartphone miliknya yang tergeletak di meja. Sukra memerhatikan raut wajah Anto. Berkerut, dengan bibir yang tidak lagi merekah. Anto laiknya orang yang galau karena pinjaman online.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Satu mangkok mie rebus tandas, Sukra mengeluarkan sisa rokok yang dia beli di Jagakarsa tadi. Sembari menyeruput teh tarik tipis-tipis, dia pun menanyakan kesehatan Anto, lalu bagaimana pekerjaan yang dia lakoni. Anto menghela napas panjang, lalu bercerita.

"Benar-benar tertekan euy, bro. Masa sehari urang (saya) harus bisa menyervis 20-30 motor? Boa edan (Gila kali). Kan tangan urang cuma dua, bukan empat," ujar Anto. Terdengar sesekali dia mendengus kesal.

"Wayahna (Mau bagaimana lagi), To. Memang di sini tuntutan kerjanya lebih tinggi. Namanya juga Ibu Kota. Tapi aman kan maneh (kamu)?" ucap Sukra sembari mengisap rokok yang sudah dia nyalakan.

Anto tidak menjawab. Dia memandang Sukra, memerhatikan dengan lekat wajah dari sobat kecilnya ini. Dia lalu menyeruput sisa Kopi Sanger-nya, sembari melemparkan candaan kepada Sukra.

"Enak nya, jadi wartawan mah. Jalan-jalan kaditu kadieu (ke sana ke mari). Tidak perlu ditekan sama atasan dengan target ini-itu. Tahu gitu mah dulu urang (saya) juga kuliah sastra aja ya sama kaya kamu," tutur Anto.

Mendengar perkataan sobatnya ini, Sukra tidak membalas. Dia balik menatap Anto, sembari tertawa kecil dan lanjut mengisap batang rokok yang sisa seperempat lagi. Perbincangan soal pekerjaan berhenti, berlanjut ke pembicaraan yang isinya gosip-gosip masalah perempuan. Candaan semata yang belum tentu terwujud.

Rokok tandas, dan waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Para pegawai warung Aceh sudah membereskan kursi dan meja, pertanda akan segera tutup. Anto langsung beranjak, membawa tas besarnya yang tersimpan di pinggir meja. Sukra juga langsung berdiri, sembari menyampirkan tas ke bahu sebelah kanannya.

"Asyik lah euy ngobrol sama maneh (kamu) mah. Kapan-kapan gini lagi atuh. Urang asa euweuh batur soalna di Jakarta (Saya seperti tidak ada teman di Jakarta)," pinta Anto.

"Aman, To. Kabar-kabaran deui we nya. Urang can genti nomer da (Berkabar aja ya, aku belum ganti nomor)," jawab Sukra.

Mereka pun beranjak ke parkiran, menyalakan motor, dan bergerak ke kediaman masing-masing. Anto pulang ke Pancoran, sedangkan Sukra bergerak ke arah Warung Buncit. Mereka sempat saling tos, sebelum akhirnya hilang ditelan malam Jakarta yang dingin.

Sesampainya di kontrakan, Sukra langsung memarkirkan motor dan bergegas menuju kamarnya. Dia membuka sepatu, sembari menyalakan lampu yang dia biarkan mati sejak siang tadi. Seketika ruangan menyala. Isinya hanya laptop, penanak nasi, kasur, dan lemari baju.

Banyak koper yang tergeletak di dekat kasur Sukra. Dia menyiapkan ini semua lantaran dalam beberapa hari ke depan, dia bakal pulang ke Cicadas. Ada urusan yang mesti dia selesaikan, dan agaknya dia akan menghabiskan waktu lumayan lama di sana. Dia juga sudah izin kepada atasannya.

"Nah, ini jangan sampai ketinggalan," tutur Sukra, memegangi sebuah kertas yang mirip seperti dokumen penting.

Setelah menyimpan tas, Sukra kemudian mengambil handuk dan bergegas mandi. Sementara itu, di atas koper, tergeletak surat yang tadi dia pegang. Kalau tidak salah, surat itu memiliki judul 'Surat Gugatan Cerai', dengan isi yang bertuliskan nama Sukra dan istrinya, Sarah. Pantas saja penting.

Baca Juga: [CERPEN] Cukur Rambut

Firdaus Sandy Photo Writer Firdaus Sandy

Coba menjadi cerpenis kembali sebisanya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Indiana Malia

Berita Terkini Lainnya