[CERPEN] Full Stop

Sebab caramu mencintaiku membuatku merasa tidak dicintai

Melihat kamu duduk di depanku saat ini membuatku teringat dengan kita setahun lalu. Dulu kamu juga duduk di hadapanku. Persis di tempat duduk samping jendela, di tempat favorit kita, di lantai dua salah satu kafe di Jalan Juanda. Kamu memesan amerikano, aku memesan cokelat dingin.

01.05 PM

“Kamu apa kabar?” kamu bertanya, tanya pertama yang kamu lontarkan di sepanjang pertemuan kita yang sudah 30 menit berjalan siang ini.

“Baik,” kujawab. Singkat saja sebab aku sedang tak ingin balik bertanya.

“Sunset with You” milik Def. terputar lamat-lamat dari pemutar musik di kafe saat matahari sedang terik-teriknya di luar sana, saat aku dan kamu sedang canggung-canggungnya. Musik di sini memang jarang sekali cocok dengan suasana pembicaraan kita. Setahun lalu waktu terakhir kali kita ke sini, berkali-kali terputar lagu romantis: “Me After You” milik Paul Kim, “Marry Me” milik Maktub, sampai “I Wanna Grow Old with You” milik Westlife. Padahal waktu itu, aku menemuimu sebab ingin mempertanyakan hubungan kita yang sebenarnya, sedangkan kamu menemuiku untuk benar-benar mengakhiri hubungan kita.

Dulu, aku yang mengawali tanya dalam pertemuan kita. Kamu cuma menjawab singkat sambil menatap ke luar jendela. Lantas meneguk kopimu, menghabiskannya. Begitu selalu kebiasaanmu setiap kali sedang gelisah: menghabiskan kopimu dalam sekali teguk.

Kurasa waktu itu baru tiga bulan berlalu setelah kamu memutuskan hubungan kita. Waktu itu, persoalan kita putus pun bagiku masih terasa seperti tak nyata. Toh sejak awal hubungan kita memang tak pernah bernama.  

Pertemuan kita sederhana, cuma sebab pekerjaan kantor yang semula tampak sembarangan saja ditimpakan kepada kita. Waktu pertama bertemu kamu, jujur saja aku tak membayangkan kalau kita akan punya hubungan dekat. Kamu tak banyak bicara, malah kelihatan cuek dan galak. Aku apalagi. Aku tipe orang yang tak akan keberatan buat diam seharian selama tak ditanya. Tapi waktu itu, rasa-rasanya kita saling menemukan. Banyak hal yang tanpa sengaja membuat kita saling mengenal.

Aku suka sekali dengan kamu yang, di luar dugaanku, ternyata tak asing dengan buku-buku seperti Norwegian Wood-nya Haruki Murakami, I Am a Season That Does Not Exist in the World-nya Kim Kyung Ju, hingga kisah klasik seperti Little Prince-nya Antoine de Saint-Exupéry. Sepertinya, di luar urusan pekerjaan, kita mulai banyak bercakap karena buku-buku itu. 

Kita mulai sering pergi bersama, mengunjungi tempat-tempat yang ternyata sama-sama kita suka. Mengunjungi museum, galeri seni, keluar-masuk berbagai kafe demi mencoba amerikano kesukaanmu (sampai akhirnya kita menemukan kafe ini), atau sekadar jalan-jalan malam di keramaian Jakarta. Tapi asal tahu saja, bukan itu yang membuatku lantas jatuh cinta kepadamu.

Aku, untuk pertama kalinya, jatuh cinta kepadamu sampai sejatuh-jatuhnya waktu kamu duduk berjam-jam di sebelahku, di kafe ini, tanpa bicara apa pun. Kamu di sana cuma buat menemaniku yang kala itu sedang tak karuan. Sampai akhirnya, setelah berjam-jam diam di sana, aku tertawa melihatmu yang sedang serius menggambar entah apa di kertas yang entah juga kamu dapat dari mana. Kamu ikut tertawa. Kupikir, waktu itu aku jatuh cinta pada suara tawamu. Tapi kurasa, tanpa kusadari, aku jatuh cinta dengan caramu mencintaiku. 

Mungkin itulah kenapa setelah setahun lebih kedekatan kita dan hubungan kita hanya jalan di tempat tanpa status, aku mulai ragu. Mungkin juga karena aku berharap lebih, terkadang aku jadi kesal dengan tingkahmu. 

Aku mulai kesal setiap kali kamu bercerita tentang perempuan lain kepadaku. Aku mulai tak mengerti dengan maksudmu yang terkadang dengan sebegitu randomnya tiba-tiba mengajakku menikah, lalu sebelum aku selesai berpikir dan menemukan jawaban yang tepat, kamu akan bilang: bercanda, he he he. Kamu tak cuma sekali-dua kali melakukannya. 

Lama-kelamaan, caramu mencintaiku membuatku merasa tidak dicintai.

Saat malam-malam kamu mendadak bicara lagi soal pernikahan dengan nada bercandamu seperti biasa, tepat saat hari sebelumnya kamu baru saja bercerita soal perempuan yang katamu sedang dijodoh-jodohkan denganmu oleh teman-temanmu, juga tepat di saat aku sedang jatuh-jatuhnya, aku mengatakan sesuatu yang kurasa amat menyakitimu. Malam itu juga, sekitar setengah dua dini hari dan lewat pesan singkat, kamu memutuskan hubungan kita yang aku sendiri tak yakin apakah memang sudah dimulai sebelumnya.

01.16

“Day,” kamu memanggilku, “maaf ya,” lanjutmu.

Waktu kita bertemu di kafe ini setahun lalu, aku juga berniat meminta maaf kepadamu. Aku berniat meluruskan hubungan kita. Cuma nyatanya, waktu memang jarang berpihak kepada kita. Sebelum aku sempat meminta maaf, kamu sudah lebih dulu memberiku undangan pernikahanmu. Katamu, kamu menikah dengan perempuan pilihan orang tuamu.

Kamu tahu?

Aku sama sekali tak menangis waktu menerima undangan itu. Aku bahkan ikut datang ke acara pernikahanmu. Memberimu selamat. Dibanding sedih, kurasa aku hanya marah karena merasa dipermainkan. Lantas mungkin sebulan setelahnya, aku menangis sesenggukan waktu teringat soal kejadian-kejadian lama. Bukannya aku ingin kamu kembali. Hanya saja, ada sesuatu yang rasanya belum selesai bagiku. Mungkin bukan belum selesai denganmu, tapi lebih dengan diriku sendiri.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Aku mulai berandai-andai: seandainya aku lebih bisa memahamimu, seandainya aku lebih bisa mengerti maksud di balik setiap ceritamu, seandainya aku begini, seandainya aku begitu. Aku menyesali dan mempertanyakan banyak hal. Aku mulai ragu, mempertanyakan soal apa aku bisa jatuh cinta dan menjalin hubungan lagi? Aku benar-benar sampai di titik terendahku. Kamu tahu sendiri: kamu bukan orang pertama yang gagal kubersamai.

“Day,” kamu memanggilku lagi.

Aku belum menjawab sedari tadi.

Sebab jujur saja, aku tak tahu bagian mana dari dirimu yang harus kumaafkan.

“Minta maafnya jangan sama aku,” kubilang begitu.

Mau kuberi tahu sesuatu?

Aku baru saja menangis lagi karenamu, seminggu yang lalu. Aku tak sengaja melihatmu berdua dengan seorang perempuan di salah satu pusat perbelanjaan. Dia bukan istrimu. Dia teman sekantor kita. Perempuan yang, waktu kita masih bersama, sempat kamu ceritakan kepadaku, yang katamu sedang dijodoh-jodohkan denganmu oleh teman-temanmu. Kamu bersamanya. Dan aku paham, dari apa yang kamu lakukan dengannya, kalian tidak sedang berdua untuk urusan pekerjaan.

Waktu tatapan kita bertemu, aku bisa merasakan betapa terkejutnya kamu. 

Aku tak ingin ikut campur. Apa pun yang kamu lakukan, itu pilihanmu. Jadi aku berlalu begitu saja waktu itu. Tapi malamnya waktu aku sendirian di kamar, rasanya tiba-tiba saja air mataku keluar tak mau berhenti. Aku menangis hingga pagi. Aku bahkan tak tahu lagi kenapa aku menangis. Sebab toh perbuatanmu kita sudah tak punya hubungan apa pun lagi. Hanya saja, melihatmu begitu membuatku sedih. 

Dan hari ini, aku paham kamu mengajakku bertemu sebab kamu ingin meminta maaf soal kejadian itu. Tapi bukankah ada orang lain yang lebih tepat untuk kamu mintai maaf?

“Jangan bilang siapa-siapa ya, Day,” ucapmu. 

Jujur saja aku kecewa mendengar itu. Sebab ternyata, yang membuatmu gelisah bukan kesalahanmu, tapi rasa takutmu atas konsekuensi yang akan kamu terima jika kesalahanmu diketahui orang.

Bagaimanapun, kamu adalah seseorang yang pernah kucintai. Aku ingin kamu tinggal sebagai cerita yang baik dalam kenanganku. Dan sejak dulu, kamu dalam fantasiku adalah seseorang yang tak akan melakukan hal-hal buruk begitu.

But people change, so must you.

Begitu dulu kata seseorang.

Dan aku tahu dia benar.

“Apa pun yang kamu lakuin, itu bukan urusanku. Dan aku enggak akan punya waktu buat iseng nyebarin gosip soal kamu. Aku percaya kalau kamu tahu mana yang benar dan mana yang seharusnya kamu lakuin sekarang,” kataku mengakhiri pertemuan kita. Kamu menunduk, tak bicara lagi.

Kurasa, hari ini benar-benar akan jadi terakhir kalinya aku mempertanyakan lagi soal hubungan kita yang dulu tak selesai. Bukan sebab aku merasa bahwa kamu tak layak dipikirkan karena tingkahmu itu. Tapi lebih sebab aku mulai mengerti bahwa saat dua orang menjalin hubungan, mereka punya tanggung jawab yang sama atas itu. Juga bahwa yang membuat kita akhirnya tak bersama bukan cuma karena kesalahanku atau kesalahanmu, tapi kesalahan kita. Dan bahwa sekarang aku perlu benar-benar melepaskan dan memaafkan, aku paham.

Waktu aku berjalan keluar dari kafe ini, “Full Stop” milik IU terputar dari playlist

Untuk kali pertama, kafe ini memutar lagu yang sesuai untukku.

Baca Juga: [CERPEN] Kembali ke Rumah dengan Tali Sepatu Putus

Mae Seven Photo Writer Mae Seven

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Atqo

Berita Terkini Lainnya