[CERPEN] Ramalan Ming 1

Air akan menenggelamkan atap rumah tertinggi

Sebelum Ming Pergi

Tak ada yang memercayai ucapan Ming sampai hari ketika ia pergi untuk terakhir kalinya. Ming sudah berkali-kali bilang, air akan datang deras sekali pada awal malam kedua puluh satu bulan baru. Air itu akan menggenangi jalan-jalan hingga menenggelamkan atap rumah tertinggi di desa itu. Tidak akan surut barang sesenti pun sebelum air itu mengambil yang paling dikehendakinya dari desa mereka. Apa yang dikehendakinya? Ming menggeleng. Dia juga tidak tahu.

Ketidaktahuan Ming atas pertanyaan sesederhana itu sontak meledakkan tawa orang-orang. Sejak dahulu Ming memang dianggap setengah waras yang berarti juga setengah sinting. Pernah desa itu dibuat gempar lantaran Ming tiba-tiba berteriak-teriak mencari Saodah dan mengakuinya sebagai istrinya. Tentu tingkah Ming membuat Wayan Karta, suami betulan Saodah, naik pitam.

Meski saat itu Ming hanya berteriak-teriak di sepanjang jalan, Wayan Karta tak habis pikir bagaimana jika nanti Ming tiba-tiba bertemu Saodah di jalan atau malah nekat mendatangi rumah mereka saat ia pergi. Jangan-jangan Ming akan berbuat yang tidak-tidak pada istrinya. Yang paling menjengkelkan, pemuda-pemuda ramai tergelak. Mereka tidak cuma mentertawakan tingkah Ming melainkan juga Saodah dan Wayan Karta.

Lelucon-lelucon cabul. Mulai dari ternyata Saodah ganas juga bersuami dua dalam sekali waktu sampai bodohnya Wayan Karta mau-maunya berbagai istri dengan seorang Ming. Jangan-jangan, itu karena Wayan Karta telah menyadari ketidakmampuannya memenuhi salah satu kebutuhan Saodah. Wajah Wayan Karta membara. Bagusnya sih, kalau sudah tahu kewarasan Ming cuma setengah, Wayan Karta hajar saja para pemuda dengan lelucon cabul itu.

Namun tentu saja, Wayan Karta gentar juga kalau harus berhadapan dengan pemuda-pemuda itu. Wayan Karta berumur lebih dari dua kali umur mereka. Badannya juga tipis. Rusuknya bercuatan. Kena hantam sekali nanti remuk semuanya. Maka yang Wayan Karta kejar dengan balok di bahu ya si Ming.

Begitu melihat Ming berdiri membelakanginya di kejauhan sambil terus berteriak, “Saodah! Saodah istrikuuu...! Di mana kamu?” Wayan Karta langsung berlari dan memukul sekuat-kuatnya bahu Ming dengan baloknya.

Bukan main lengking kesakitan Ming dan Wayan Karta masih jauh dari selesai. Kemarahan dan rasa malunya yang seharusnya dibagi sama rata pada para pemuda dengan lelucon cabul itu ditumpahkan seluruhnya pada Ming.

Kalau Ming terlalu waras, mungkin dia mati saat itu juga. Akan tetapi berkat separuh kesintingannya, semua luka di tubuhnya itu masih tertahankan dan Ming hidup setidaknya sampai hari ketika ia pergi untuk kesepuluh kalinya dari desa itu, selepas meramalkan akan datangnya air yang begitu deras pada awal malam kedua puluh satu bulan baru.

Ketika Ming Pergi

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Ini bukan kepergian Ming yang pertama kali. Ia sudah mengatakan tentang kedatangan air deras yang menenggelamkan atap rumah tertinggi di desa itu berbulan-bulan yang lalu. Beberapa orang bahkan tak sempat mengingat ucapan Ming saking tidak percayanya. Namun sebagian besarnya justru penasaran untuk membuktikan kebenarannya.

Ming pergi meninggalkan desa itu pada setiap hari kedua puluh bulan baru. Biasanya, Ming sudah meninggalkan gerbang desa pagi hari atau paling lambat siang. Namun sampai sembilan bulan kemudian, Ming akhirnya kembali lagi ke desa itu pada hari kedua puluh dua. Sebagaimana kepergiannya, biasanya juga pagi sekali atau selambat-lambatnya siang Ming sudah tampak memasuki gerbang desa.

Sembilan bulan, sembilan kali pergi dan kembalinya Ming ini tentu membuat orang-orang merasa ada hiburan baru di desa mereka. Pertunjukan kegilaan Ming. Air deras yang dikatakannya tidak pernah datang, yang terjadi justru Ming kian tampak seperti orang linglung, keluar masuk gerbang desa pada hari kedua puluh dan kedua puluh dua setiap bulannya.

Ditertawakan, Ming malah ikut tertawa. Terus tertawa sampai ia menghilang di balik pintu gubuk reyotnya. Sekarang jadi makin jelas. Jika dahulu saat Ming berteriak-teriak memanggil Saodah dan mengakuinya sebagai istri, Ming masih setengah sinting, mungkin sekarang kesintingannya sudah kian mendominasi.

Sisa kewarasan Ming hanyalah ingatannya tentang gerbang desa dan pintu gubuknya. Celoteh para pemuda yang sama dengan yang mentertawakan Wayan Karta, Ming baru akan dinyatakan sepenuhnya gila jika ia telah keliru membuka pintu rumah Wayan Karta dan istrinya.

Pagi-pagi, hari kedua puluh bulan kesepuluh sejak ramalannya tentang air deras, Ming kembali meninggalkan gerbang desa. Tak banyak yang menyaksikan kepergian Ming kali itu. Sudah puncak musim hujan.

Hawa dinginnya bukan main dan pada pagi-pagi ketika Ming pergi, gerimis sejak semalam belum juga berhenti. Orang-orang masih bergelung di balik selimut masing-masing. Yang menyaksikan kepergian Ming pun hanya menyaksikannya dari balik jendela yang berkabut, seraya menyesap kopi atau teh.

Di kemudian hari, sedikit orang ini akan mengatakan bahwa kepergian Ming kali itu tak seperti yang sudah-sudah. Ia tidak membawa buntalan pakaian. Juga tak tampak tergesa-gesa seperti biasanya seolah-olah air sudah nyaris mengenai kakinya. Ming hanya berjalan biasa dengan wajah pasrah. Atau sedih. Atau malah masih mengantuk. Yang jelas tak sekosong wajah Ming yang mereka kenal.

 

Bersambung ...

Baca Juga: [CERPEN] Lelaki yang Tidak Tinggal Sendirian

Marliana Kuswanti Photo Verified Writer Marliana Kuswanti

Esais, cerpenis, novelis. Senang membaca dan menulis karena membaca adalah cara lain bermeditasi sedangkan menulis adalah cara lain berbicara.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya