[CERPEN] Semua Orang Juga Butuh Cinta 1

Tidak ada yang tidak sialan dalam hidup Mak Ijah

Mendengar suara berisik ayam-ayamnya, Mak Ijah bergegas keluar. Begitu tampak olehnya seekor anjing berbulu cokelat, Mak Ijah menyambar batang kayu yang biasa digunakan untuk memalang pintu rumahnya. Mak Ijah berderap dengan dua tangan mengangkat palang tinggi-tinggi, siap untuk menghalau bahkan kalau perlu memecahkan tengkorak anjing sialan itu.

Sayangnya, atau justru untungnya, anjing cokelat itu cepat menyadari bahaya yang mengintainya. Seketika ia berlari sambil terus menggonggong, jauh lebih cepat daripada langkah tergopoh Mak Ijah yang tertahan kainnya sendiri. Mak Ijah jengkel bukan kepalang. Dia banting palang pintunya ke tanah, hanya untuk kemudian diambilnya kembali.

Palang pintu sialan, kain sialan, anjing sialan, bahkan ayam-ayam itu sebenarnya juga sialan. Mungkin malah biangnya sialan. Pokoknya, tidak ada yang tidak sialan dalam hidup Mak Ijah.

***

Generasi di bawah Mak Ijah apalagi yang masih bocah mengenal Mak Ijah sebagai perempuan tua yang mengerikan. Anjing cokelat yang nyaris menjemput maut itu hanyalah satu dari begitu banyak hal, nyaris segalanya, yang membuat Mak Ijah naik pitam. Itulah sebabnya, banyak sekali tahun terlewati tanpa ada yang singgah di rumah Mak Ijah.

Demikian pula Mak Ijah seperti tak pernah merasa perlu berkunjung ke rumah siapa pun. Orang-orang jadi berpikir, mungkin Mak Ijah bahkan sudah lupa bahwa dirinya punya banyak tetangga dan ia sendiri bagian dari warga kampung.

Lain halnya dengan generasi yang lebih tua. Mereka mengenal Mak Ijah nyaris dari lahirnya. Dan semua bersumpah, meski tak ada yang memercayai, Mak Ijah dahulu tidak begitu. Sebagaimana bocah pada umumnya, Mak Ijah juga bermain dan bercanda bersama mereka. Lalu ketika beranjak gadis, Mak Ijah juga cekikikan bersama gadis-gadis lainnya.

Generasi tua bahkan bilang, Mak Ijah yang paling jarang marah di antara semua anak atau remaja kampung sebayanya. Mak Ijah orang yang santai, begitu kata mereka yang tentu saja langsung dicibir generasi yang lebih muda. Pikir mereka, Mak Ijah seram, itu baru benar.

Perubahan Mak Ijah baru terjadi selepas kepulangan Mak Ijah yang ke sekian kalinya dari kota. Ya, saat umur Mak Ijah kira-kira tujuh belas tahun, Mak Ijah merantau ke kota. Tak ada yang tahu pasti kenapa Mak Ijah sampai merantau ke kota. Ada yang menduga Mak Ijah diam-diam merasa malu lantaran teman-teman gadisnya sudah pada menikah dan ia sendiri yang belum. Padahal, wajah Mak Ijah sebenarnya juga tak buruk-buruk amat.

Namun itu hanya sebatas dugaan saja. Sebab Mak Ijah tak pernah terdengar betul-betul mengatakannya. Entah bila Mak Ijah hanya mengatakannya pada orang tuanya dan keduanya menutup rapat-rapat pengakuan itu dari kuping tetangga.

Ada juga yang menyebut kedua orang tua Mak Ijah terlilit utang sehingga Mak Ijah harus dikirim ke kota untuk bekerja dan mendapatkan sebanyak mungkin uang. Namun dugaan ini malah jauh lebih lemah daripada dugaan pertama. Orang tua Mak Ijah tak miskin-miskin amat. Kebun punya, ladang juga punya meski masing-masing cuma sepetak. Kambing dan ayam pun punya meski lagi-lagi masing-masing cuma satu kandang tak seberapa luas.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Cukuplah untuk hidup bersahaja layaknya orang kampung. Pun yang jelas, orang tua Mak Ijah tak punya riwayat terlilit utang. Apalagi anaknya cuma satu, ya Mak Ijah itu. Dan makin tidak mungkin karena saat Mak Ijah hendak berangkat ke kota, ia masih melambai-lambai pada setiap orang yang dikenalnya. Kalau Mak Ijah pergi dengan beban berat di punggung, tentu sedikit banyak ia tak akan bisa seceria itu.

Begitu pula saban kepulangannya. Mak Ijah tak pernah bosan menceritakan keramaian kota pada semua teman perempuannya yang saat itu sudah menggendong sekurang-kurangnya dua anak, di depan dan belakang.

Mak Ijah dan cerita-ceritanya tentang kota nyaris membuat semua perempuan sebayanya iri dan suami mereka pusing tujuh keliling. Istri mereka mendadak ingin merantau ke kota dengan segala macam alasan. Dari bekerja untuk mencari tambahan uang sampai sekadar ingin merasakan udara kota sebelum mati kalau-kalau maut datang secepat itu.

Beruntung, atau malah celaka tergantung dari siapa kejadian ini dilihat, pada kepulangan Mak Ijah yang berikutnya, Mak Ijah tampak berbeda sekali dari Mak Ijah yang selama ini dikenal orang sekampung. Bedanya bak bumi dan langit.

Bukannya menampakkan raut gembira dan bangga sekali di hadapan para kenalannya yang seumur hidup belum pernah pergi ke kota, Mak Ijah malah memancarkan aura gelap. Sedih, sih bukan, melainkan begitu dingin seperti tak menyimpan sedikit pun hangatnya perasaan. Setiap disapa orang, Mak Ijah yang berjalan kaki dengan tas di salah satu bahunya terus menatap lurus ke depan.

Tak ada sahutan, tak ada senyuman yang biasanya sampai memperlihatkan gigi. Sekalinya menengok, Mak Ijah malah menunjukkan raut bengis yang membuat lutut siapa pun gemetaran. Sedang bocah-bocah yang dahulu selalu dielus kepalanya oleh Mak Ijah seketika kena pelototan meski mereka tidak melakukan apa-apa.

Sejak itulah, Mak Ijah tak pernah lagi menjadi Mak Ijah yang dahulu. Sampai kedua orang tuanya meninggal dan cuma segelintir orang yang mau tak mau datang ke rumahnya untuk mengangkatkan keranda dan menguburkan. Mak Ijah tak sedikit pun melunak pada mereka yang telah memberanikan diri membantunya, juga pada siapa saja.

Mak Ijah tidak pernah mengomel atau memaki-maki orang. Namun ledakan kemarahannya yang langsung ke tindakan seperti saat ia hendak memecahkan tengkorak anjing cokelat itulah yang membuat orang-orang ngeri untuk mendekat. Jauh lebih baik dimarahi sampai bibir Mak Ijah copot ketimbang semenit saja menyaksikan tingkah Mak Ijah yang seperti kemasukan hantu penunggu pohon randu.

 

bersambung ...

Baca Juga: [CERPEN] Bukan Kekacauan yang Manis

Marliana Kuswanti Photo Verified Writer Marliana Kuswanti

Esais, cerpenis, novelis. Senang membaca dan menulis karena membaca adalah cara lain bermeditasi sedangkan menulis adalah cara lain berbicara.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya