[CERPEN] Sebuah Penyesalan 

Karena penyesalan selalu datang terlambat

Amar sudah setahun pergi ke kota tanpa pernah menengok ibunya yang sebatang kara. Luka lama yang menjadi alasan klasik untuk melarikan diri dari tanggung jawab. Amar lelah dengan ibunya yang selalu merecoki kehidupan pribadinya. Bagi ibu, segala urusan Amar adalah urusan ibu.

Entah untuk kesekian kalinya Amar jengah dengan perlakuan sang ibu. Lagi-lagi masalah jodoh yang menurutnya tidak begitu penting. Amar telah merasa cukup dengan segala upaya yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, minus istri yang selalu digadang-gadang sang ibu. 

"Ibu ingin menimang cucu, Amar. Ibu sudah tua, kesepian bila kamu tinggalkan terus-terusan. Tidak bisakah kamu mencari istri?" Ratmi menghela napas, beban berat yang mengganduli hatinya tak kunjung sirna. Justru bertambah dari hari ke hari tanpa bisa dicegah. 

"Ibu, tolong mengertilah." Amar sama frustrasinya dengan Ratmi, ia lelah mencari dan memutuskan hidup tanpa pendamping sejati. 

"Atau kamu mau Ibu carikan calon istri untukmu, Amar?" Dimulailah acara tawar-menawar antara Amar dan Ratmi. 

"Tidak, Ibu, Amar akan cari sendiri nanti bila memang ada seseorang yang mau menikah dengan Amar apa adanya."

"Lantas, kapan?" Ratmi menghembuskan napas keras. Anak satu-satunya itu tidak juga mencari istri. Usia Amar sudah mendekati kepala tiga, ia khawatir dengan masa depan anaknya itu. Bukan masalah tampang, Amar menuruni hampir semua katampanan suaminya yang bule, yang sayangnya memilih menikah lagi di negara asalnya dengan seorang wanita muda. Meninggalkan Ratmi dengan seorang bocah mungil yang belum lagi mengenal ayahnya sendiri. 

"Jika Amar sudah menemukan wanita yang tidak hanya menyukai wajah tampan Amar dan juga harta yang Amar miliki, Bu. Dan jika ibu kesepian, mengapa tidak Ibu saja yang menikah lagi?" Air muka Ratmi berubah merah. Selalu begitu bila ia meminta dan bahkan memaksa Amar menikah, Amar akan berbalik memintanya untuk menikah lagi. 

"Tidak semudah itu, Amar. Kau tahu, hati Ibu telah dibawa pergi oleh ayahmu, mana mungkin Ibu menikah lagi."

"Ibu mencintai laki-laki yang bahkan tidak mencintai Ibu?" Rahang Amar mengeras, pembicaraan tentang ayahnya yang kabur bersama wanita lain selalu menjadi topik sensitif baginya. Amar sendiri telah menganggap ayahnya sudah mati sejak ia meninggalkan dirinya bersama ibu yang menderita. 

"Setidaknya ia pernah mencintai Ibu ketika ia melamar Ibu, lalu kamu hadir di antara kami. Itu sudah cukup membuktikan kisah cinta kami." Ratmi berkaca-kaca sembari mengenang suaminya. 

"Benarkah? Aku tidak yakin dia mencintai Ibu bila akhirnya pergi bersama wanita lain," geram Amar. 

"Apa karena itu kamu enggan menikah, Amar?" Ratmi bertanya hati-hati. 

"Tidak juga." Terdengar nada ragu dalam suara Amar. 

"Lantas apa lagi yang kamu tunggu?" 

"Sudahlah, Bu, biarkan Amar yang memutuskan menikah atau tidak." Amar berlalu meninggalkan ibunya yang mematung di ambang pintu. Menatap punggung lebar anaknya yang menjauh dari pandangan matanya. 

"Maafkan Ibu, Nak, telah membuatmu menjadi begini." Pelupuk yang telah mengendur itu dipenuhi air mata. Raut wajah sedih mengambang di awang-awang hingga jatuhlah tetes pertama air mata seorang Ratmi. 

Puncak dari pertengkaran ibu dan anak itu terjadi seminggu kemudian. Ratmi membawa seorang wanita muda sederhana yang jelita untuk diperkenalkan kepada Amar. Sayangnya, Amar memilih pergi ketimbang menemui perempuan pilihan ibunya itu.

Namanya Diana. Menurut Ratmi, Diana anak yang baik. Ia sopan kepada orang tua siapa pun mereka. Poin pentingnya adalah Diana mencintai anak-anak, terbukti dengan kecintaannya yang tersorot dari netra tajamnya yang berbinar tiap kali berhadapan dengan anak-anak di panti asuhan.

Dengan pemikiran itulah, Ratmi, setelah memperhatikan gadis yatim piatu itu selama beberapa bulan belakangan ini, meminta Diana untuk berkenalan dengan Amar. Mirisnya, Amar justru melewatkan kesempatan itu untuk memiliki sesosok penuh cinta yang diyakini Ratmi akan menjaga Amar selama sisa hidupnya. 

"Amar, pulanglah, Nak. Ibu kangen kamu," katanya pada sebuah kesempatan melalui sambungan telepon. 

"Ibu, Amar akan pulang bila Ibu tidak lagi memaksaku untuk menikah."

"Bagaimana dengan Diana? Kamu tidak ingin mengenalnya? Bukankah dia cantik dan keibuan?" tawar Ratmi. 

"Jika Ibu seperti ini terus, Amar tidak bisa pulang."

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Kenapa, Amar? Kamu tidak kangen Ibu? Ibu sudah tua, reumatik Ibu juga sering kambuh. Siapa yang akan menolong Ibu, Amar, kalo bukan kamu, anak Ibu satu-satunya." Ratmi berbisik lirih pada gagang telepon yang digenggamnya. Suara ibunya yang mengiba seperti itu tentu saja membuat Amar merasa bersalah. Namun, hatinya masih keras menerima perjodohan yang ibunya siapkan sebelumnya.

Amar mendesah keras pada udara kosong di hadapannya. Tatapannya terpaku pada langit-langit kamarnya yang berwarna putih polos, mengingatkannya akan sosok dalam foto yang dikirimkan ibunya setahun yang lalu. Wanita berjilbab putih itu tersenyum anggun, seperti kata ibunya tampak keibuan. Amar tertarik dengan wanita itu, tapi sekali lagi egonya enggan menerima perjodohan ataupun paksaan semacam itu. Ia merasa gagal dan malu di hadapan ibunya sebab tidak mampu mengurus dirinya sendiri. 

"Amar, kamu dengar apa kata Ibu?" suara Ratmi mengusik lamunan Amar yang sempat membayang di pelupuk matanya. Amar mengerjapkan mata dan tersadar telah memikirkan Diana meski hanya sekejap. 

"I, iya, Ibu, Amar dengar," tergagap Amar menjawab, "Amar akan pulang bulan depan." Keputusan spontan itu membuat Amar terkejut. Sekali ini ia membiarkan mulutnya bicara tanpa berpikir panjang.

"Sungguh?" Nada tak percaya Ratmi terdengar bersemangat di telinga Amar. 

"Iya."

"Asyik! Kamu ingin makan apa Amar biar Ibu siapkan ketika kamu pulang nanti. Opor ayam, gado-gado, pecel ...?" sederet makanan kesukaan Amar disebutkan terburu-buru oleh sang ibu. 

"Tidak usah, Bu. Ibu istirahat saja di rumah. Bi Qom masih bekerja di rumah kita kan, Bu?" potong Amar. 

"Baiklah, Ibu tunggu kedatanganmu, Nak. Tenang saja Bi Qom masih menemani Ibu berberes rumah," jawab ibunya antusias.

Percakapan itu pun berakhir dengan kebahagiaan di pihak Ratmi, sedangkan Amar masih terpaku dengan keputusan mendadaknya. Ia ragu bila ibunya tidak merencanakan pertemuan lagi dengan Diana saat ia pulang nanti. Bagaimanapun Amar telah menyerah untuk melarikan diri. Ia mengaku kalah, menurunkan egonya demi sang ibu, satu-satunya yang tersisa dalam hidupnya. 

Ah, Ibu, aku tak sabar pulang untuk menemui bidadari yang kau siapkan untukku. Benak Amar berbisik. Seketika hatinya mengembang karena gembira, ternyata untuk jujur kepada diri sendiri juga perlu waktu lama.

Benar, ia menyukai Diana jauh di dalam lubuk hatinya. Buncah di dadanya selaras dengan detak jantung yang berpacu. Waktu menunggu sebulannya jadi terasa sangat lama. Ia harus menuntaskan pekerjaannya sebelum pulang ke rumah, tekadnya kuat. 

Sebulan kemudian, Amar menjumpai Ratmi duduk di teras rumah mereka dengan wajah murung. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia menyadari kedatangan Amar. Ucapan salam Amar pun terseret angin tanpa balasan. 

"Ibu, ada apa?" Amar menyentuh bahu Ratmi pelan. Sebelumnya ia menduga ibunya akan menyambut dirinya dengan penuh suka cita, namun yang terjadi justru sebaliknya. Ada apa gerangan yang telah mengusik hati ibunya itu? Amar bertanya-tanya dalam hati, ia sedikit kecewa tapi tentu saja ia lebih mengecewakan ibunya sebelum ini. Ratmi mendongakkan wajahnya yang sendu. 

"Amar?" Tangan Ratmi terangkat ke rambut hitam Amar, membelainya. Senyum pahit tersungging di bibirnya. "Kamu pulang, Nak?"

Amar mengangguk menjawab pertanyaan ibunya. "Sayang sekali kamu datang terlambat, Amar, Diana..."

Amar menunggu kelanjutan ucapan Ratmi dengan gugup. Ada apa dengan Diana?

"Ia baru saja bertunangan." Air mata Ratmi jatuh berderai-derai.

Amar terkesiap, terasa godam telah merenggut jantungnya seketika. Sakit. Itu yang dirasakan Amar. Mulutnya terkunci dan pandangannya terlempar kepada sosok yang tengah dibicarakan ibunya. Tubuh Amar menegang seketika ketika dilihatnya wanita itu berjalan anggun menuju tempat Amar dan ibunya berada. 

"Lho, Ibu, kenapa?" Diana tergopoh-gopoh mendekat, bertanya kepada Ratmi yang tengah menangis di sisi Amar. Diana berjongkok di hadapan Ratmi sembari mengelus tangan berkeriput dan berkapal perempuan yang telah dianggapnya sebagai ibu selama setahun ini.

Wajah ayunya penuh tanya kepada Amar, yang ditanya menggaruk tengkuknya dengan canggung. Wanita yang telah membuat hatinya berbunga-bunga selama beberapa kejap telah lenyap digantikan luka. Perasaan kecewanya masih terasa mengambang di sekitarnya.

Nasi telah menjadi bubur. Setahun yang lalu ia melarikan diri, kini bukan salah Diana bila ia tidak berminat kepada Amar yang pengecut.

Ia sudah bertunangan, batin Amar terus-menerus mengulang hal yang sama.

Amar menyesalinya sekarang. Seharusnya Diana menjadi istrinya, jika saja ia tidak kabur. Mungkin Diana juga sudah mengandung anaknya saat ini. Mereka hidup bahagia dengan keluarga kecil yang bersahaja. Khayalnya melambung tinggi dan ketika tersadar denyut luka menganga semakin terasa di hatinya. Semua sudah berakhir. 

Baca Juga: [Cerpen] Menanti Pelukan

Nesi Jumaida Photo Writer Nesi Jumaida

Smile as always

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya