[NOVEL] Between Two Stars: BAB 3

3. ANDROMEDA NOEGRAHA
Jam ketiga, dan perut Ocha melilit parah. Ia memang belum sempat sarapan. Mbak Yun terlalu lama memasak nasi gorengnya. Ocha yang takut terlambat memilih langsung berangkat, tanpa menghiraukan teriakan Mbak Yun yang menyuruhnya sarapan dulu. Bel istirahat kurang setengah jam lagi, tapi perut Ocha sudah berteriak nyaring minta diisi.
Pak Kabul masih asyik menuliskan rumus-rumus di white board. Badan Pak Kabul seratus persen menghadap ke white board sehingga tidak tahu aktivitas yang dilakukan murid-muridnya. Dari Doni yang membuat origami pesawat, Rena yang terkantuk-kantuk lalu mendelik marah saat mendapatkan lemparan pesawat kertas milik Doni, atau Meli yang sedang mengobrol dengan Nico.
Ocha tak melewatkan kesempatan emas itu. Dicoleknya pinggang Ruth, untuk membisikkan tentang darurat lapar yang sedang menerjang lambungnya. Lalu diam-diam Ruth memberi kode. Dengan berjingkat-jingkat, diam-diam dua gadis itu bergerak menuju pintu kelas. Mata Ruth memindai ke seluruh kelas, sambil telunjuk kanannya menempel rapat di bibir. Isyarat untuk teman-temannya agar jangan gaduh.
“Hei … kalian mau ke mana?” Pak Kabul menoleh ke arah pintu. Kedua cewek mendadak menghentikan langkah, seperti pencuri yang ketahuan oleh pemilik rumah. Ocha meringis menahan malu.
“Minta izin ke belakang Pak, perut saya sakit nih,” jawab Ocha sambil memegang perutnya dan memasang tampang memelas.
“Izinkan dong Pak! Nanti kalau sampai boker di kelas, Bapak sendiri yang repot!” teriak Doni yang disambut tawa seluruh isi kelas.
Mata Ocha mendelik ke arah Doni, sebelum akhirnya menatap Pak Kabul sambil tersenyum.
“Hei, bisa diam tidak? Dan Doni, sekali lagi kamu bikin gaduh kelas, Bapak akan laporkan kamu ke guru BK!” Sebetulnya suara Pak Doni tidak sekencang suara Bu Retno guru BK. Namun anak-anak cukup segan juga, mengingat Pak Kabul yang tak pernah main-main dengan ancamannya.
Tawa anak-anak sedikit mereda. Perhatian Pak Kabul kembali tertuju kepada Ocha dan Ruth yang masih menunggu keputusannya.
“Ya sudah sana, kalau sudah selesai cepat kembali ke kelas ya!” Pak Kabul menoleh sebentar ke arah Ocha, sebelum kembali meneruskan menulis rumus-rumus fisika di papan tulis.
“Wah, terima kasih, Pak. Terima kasih.” Ocha membungkuk hormat, sebelum lengannya ditarik oleh Ruth, keluar dari kelas. Mungkin Ruth takut Pak Kabul akan berubah pikiran.
Bergegas, Ruth menarik tangan Ocha ke arah kantin. Kantin sekolahnya memang berada di pojok belakang, bersebelahan dengan deretan gedung kelas XII. Jadi, Ocha merasa tak terlalu bersalah ketika mengatakan ‘ingin ke belakang’ saat berpamitan dengan Pak Kabul.
Untuk mencapai kantin, ia harus melewati lapangan basket yang tampaknya sedang digunakan oleh anak-anak kelas XII. Karena nggak mungkin potong kompas melewati lapangan basket, keduanya terpaksa melewati selasar depan lab IPA.
Sekilas Ocha melayangkan pandang ke arah kakak kelas yang sedang bermain basket di lapangan. Wajah-wajah asing yang belum semua dikenalnya. Dan... ya Tuhan! Ocha melihatnya lagi! Cowok yang kemarin satu taksi dengannya. Ia sedang bermain basket bersama teman-teman sekelasnya. Rasa laparnya tiba-tiba lenyap. Wajah itu tak mungkin dilupakannya setelah peristiwa pulang naik taksi mutar dulu ke Cilandak kemarin. Sekarang, cowok itu justru melambaikan tangan ke arahnya, sambil tersenyum lebar.
“Bentar, bentar, Ruth. Lihat deh ke lapangan! Lo kenal nggak sama cowok itu?” Telunjuk Ocha mengarah ke seorang cowok yang sedang bermain basket di lapangan, lalu menoleh ke arah Ruth.
“Yang mana?” Ruth menyapu pemandangan di lapangan basket dengan matanya.
Saat Ocha menunjuk ke arahnya, cowok itu justru sedang membuat tanda cium jauh untuknya. Menyebalkan sekali.
“Kenal dong. Dia Kak Noe. Lo belum kenal dia Cha?” Ruth mengernyitkan keningnya.
“Nah, cowok itu yang kemarin nyerobot taksi gue, minta dianter duluan dan maksa gue untuk bayarin ongkos taksi. Kita samperin yok, gue udah nggak sabar mau bikin perhitungan!” Ocha menarik paksa lengan sahabatnya, sambil melangkahkan kakinya ke arah lapangan basket.
“Eh jangan, Chaaa!!!” Ruth menahan langkah, hingga tubuh Ocha justru tertarik ke belakang.
Setelahnya, Ruth justru menarik kuat-kuat tangan Ocha menjauhi lapangan, sementara Ocha menarik kuat-kuat tangan Ruth ke arah yang sebaliknya. Dan Ocha kalah tenaga. Perutnya belum diisi.
“Lo kalau mau bunuh diri jangan ngajak-ngajak gue deh! Lo mau mati di tengah lapangan, lalu jadi tontonan gratis anak-anak kelas XII IIS 3?” Ruth melotot gemas ke arah sahabatnya.
Ruth kalau bicara memang suka berlebihan. Bunuh diri? Mati? Orang cuma mau nagih ongkos taksi, juga. Ocha terpaksa menggeleng.
“Nah, makanya lo nurut deh sama gue. Lagian ya, ngadepin Kak Noe itu, kita kudu siap mental. Nah elo, sarapan aja belom? Bagaimana mau ngadepin kakak kelas ganas macam Kak Noe?” Muka Ruth terlihat serius.
“Hah? Kakak kelas ganas?” Ocha melongo.
“Lo belum kenal dia sih. Makanya lo nurut aja apa kata gue!” sungut Ruth.
Ocha mengangguk lemas.
“Terus, gimana dong sama masalah gue? Paling nggak, gue mau ngasih tahu tu cowok, agar jangan seenaknya sendiri, minta traktir ongkos taksi ke cewek! Pakai acara sok kenal lagi?” Telapak tangan Ocha yang terbebas dari genggaman tangan Ruth, terkepal. Sepertinya ia benar-benar marah kepada Noe.
“Kalau lo masih mau nyamperin Kak Noe, okay gue akan anter lo ke kelasnya istirahat nanti. Tapi lo kudu siap mental ya, ngadepin dia. Kak Noe tu kakak kelas paling nyeremin lo tahu? Kalau saran gue sih, lebih baik lo lupain aja deh, masalah lo itu. Lupain dia, dan lanjutin lagi hidup lo, okay?” Ruth melepaskan genggaman tangannya dan melanjutkan langkahnya ke arah kantin.
“Hey ... tunggu! Gue cuma minta elo untuk nganterin gue ke kelas dia, Ruth! Please, jangan ngatur-ngatur gue dong!” Ocha mengejar Ruth dan kembali menggenggam tangan sahabatnya itu.
“Terserah elo deh, yang penting gue udah ngingetin elo! Gue berani jamin, lo nggak bakalan menang kalau berurusan sama Kak Noe. Yang ada lo nanti malah sakit hati dan lama-lama jadi begini!” Telunjuk Ruth membentuk tanda garis miring di keningnya.
Tidak seperti yang sudah-sudah, kali ini Ocha menolak saran Ruth. Ia tetap bersikeras untuk menemui Noe. Belum genap sebulan Ocha pindah sekolah ke SMA Tunas Bangsa. Dan tidak ada acara MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah) untuk murid baru yang telat masuk seperti dirinya.
Jadi untuk urusan pengenalan sekolah, termasuk pengenalan guru galak, kakak kelas ganas, ataupun cowok yang pantes digebet, sembilan puluh delapan persen ia masih bergantung kepada Ruth. Namun sekali ini, yang dua persen-lah ternyata yang berlaku. Ia abai terhadap nasihat Ruth. Dan untuk hal itu, Ocha harus membayar dengan harga yang sangat mahal!
***
Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!
storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co