[CERPEN] Gambar Ajaib Rudi

Gambarnya bagai suratan takdir yang tak terbantahkan

Saban hari, menjelang semburat fajar di kaki langit merentang, lelaki setengah baya yang kulit punggungnya menghitam dan mengerut itu mulai menggambar. Tepat di teras rumah, bercahayakan lentera ia akan duduk bersila di meja duduk kayu yang telah lapuk—kaki-kakinya bolong di sana-sini oleh rayap. Sambil menghadap ke halaman yang sempit, tangan Rudi akan lihai menggambar sesuatu yang bahkan tak terpikirkan olehnya.

Di sepanjang hidupnya, Rudi hanya bertemankan benda-benda mati. Semenjak ibunya mangkat bertahun-tahun silam, tiada lagi yang lebih berarti baginya kecuali kertas gambar dan kuas dan cat warna dan pensil warna itu. Sebab memang hanya benda-benda itulah pemberian terakhir ibunya sebelum TBC membunuhnya. Sementara ia tak pernah tahu keberadaan bapaknya setelah bertahun-tahun silam.

Lelaki itu menghabiskan setiap detik usianya hanya dengan menggambar. Tak ada tempat lain yang lebih lama disinggahinya kecuali teras rumah yang dipenuhi serak kertas-kertas gambar beserta kawanannya. Ia baru akan pergi bila mengantuk atau saat ingin buang hajat. Namun kadang kala bila ia terlampau masyuk menggambar, kencing dan berak dilakukannya di teras rumah. Saban hari, hingga usianya mulai menua, hanya itu yang terus dilakukannya.

Tapi meski hidupnya tampak hampa dan menjemukan, gambar-gambarnya kini selalu dinanti oleh orang banyak. Bukan karena estetika gambar-gambarnya yang serupa karya-karya Basuki Abdullah atau Pablo Picasso, melainkan pada magis-magis yang yang tertuang pada setiap guratannya.

Gambar-gambarnya lebih dari sekadar kartu tarot atau garis tangan yang biasa dipakai cenayang untuk meramalkan nasib seseorang. Gambar-gambarnya selalu bisa memperlihatkan dengan gamblang kenyataan yang kelak akan dihadapi seorang manusia. Gambar-gambarnya adalah suratan takdir dan wanti-wanti bagi siapa saja yang percaya. Seolah melalui tangannyalah Tuhan langsung memberi tahu takdir seseorang.

Orang-orang itu akan datang saban hari dan meminta dibuatkan gambar. Mereka bahkan tak segan berlama-lama menanti giliran, senantiasa berdiri atau berjongkok atau selonjoran di teras rumah sampai matahari kembali tumbang.

Orang-orang itu mulai ramai menjejali rumah Rudi selepas adanya kabar dari seorang polisi yang mengaku mendapatkan promosi jabatan setelah turut mengusut tuntas sebuah konspirasi yang terkuak dari gambar yang diberikannya. Polisi itu mulanya hanya berkisah pada istri dan kerabat dan tetangganya, tetapi lantas kisahnya itu dikisahkan lagi pada orang-orang di warung kopi, empang, pasar hingga warung togel di sudut terminal.

Polisi itu mulanya tak sengaja―atau memang sudah ditakdirkan semesta―terhenti di depan rumah lelaki penggambar itu sebab ban motornya bocor tertusuk kawat. Namun ketika ia akan menuntun motor Supra X keluaran tahun 2003 berwarna hitamnya itu, serta-merta Rudi berteriak memanggilnya sambil berlari menghampiri.

Rudi lantas memberikan sebuah gambar yang dibuatnya entah kapan. Polisi itu tak segera menerimanya, ia memandangi lelaki yang wajahnya betapa semrawut di hadapannya itu terheran-heran. Bahkan polisi itu tak sadar menggaruk-garuk kepalanya yang masih terbungkus helm.

“Ini apa, Pak?” tanya Inspektur Dua Supardi sambil mendelik. Kumisnya yang tebal bagai Pak Raden itu tampak bergetar.

“Gambar,” jawab Rudi cengengesan. Supardi bisa melihat jelas gigi-giginya yang menguning dan tak lagi lengkap itu.

“Lho, iya saya tahu ini gambar. Memangnya saya goblok apa, ndak bisa bedain gambar sama tulisan! Maksud saya ini gambar buat apa dikasih ke saya? Minta nilai ke saya?” Polisi itu mencak-mencak. “Sampeyan jangan macem-macem sama aparat, ya. Sampeyan bisa saya tangkap lho dengan gambar nyeleneh ini. Lho... Lho... Kok kalo dilihat-lihat gambarnya mirip sama Bupati, ya?”

Lelaki itu manggut-manggut. “Ini orang,” ujarnya kemudian sambil menunjuk salah satu gambar seorang lelaki berpeci dan berkemeja batik. Ini juga orang, katanya lagi. Ini uang. Banyak. Ini semen. Ini orang. Ini uang. Banyak. Nguntit. Ini uang. Ini rumah sakit. Nguntit.

“Owalahdalah... sudah, sudah, saya ngerti. Maksudnya ini kasus korupsi toh? Ya, ya. Hahaha,” tawa Mayor Supardi meledak. “Tapi, kok ini sampeyan bisa gambar mukanya mirip Bupati banget toh? Hati-hati lho. Itu kan baru rumor saja. Sampeyan bisa dipenjara kalau asal bikin gambar kayak gini. Ngerti, ndak, sampeyan?”

Rudi menggeleng-geleng sambil cengengesan.

Supardi menghela napas. Ia terpekur sebentar menatap gambar di tangannya sambil sesekali memandang aneh pada lelaki di dekatnya yang kumis dan janggutnya telah berwarna keabu-abuan dan kusut itu. Tapi, polisi itu selalu percaya bahwa tak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Semua sudah ditakdirkan dan punya tujuan, pikirnya, sisanya kembali kepada percaya atau tidaknya manusia yang menerima.

Supardi pun melipat gambar dari lelaki penggambar dan memasukkannya ke saku celana, sebelum kemudian ia lanjut mendorong motornya melewati turunan dan jembatan demi bertemu tukang tambal ban yang berjarak lima ratus meter jauhnya.

Tapi setelahnya, dua bulan berselang, polisi itu mampu membantu menguak kasus korupsi yang sedang diselidiki pihak kepolisian. Bermodalkan gambar dari lelaki tua itu, ia pun lebih memusatkan penyelidikan ke seseorang yang menjabat sebagai Bupati di sana. Hasilnya, pejabat yang dimaksud pun terbukti terlibat kasus penguntitan dana pembangunan rumah sakit pemerintah bernilai miliaran rupiah.

Demikianlah kisah polisi itu sampai kemudian kisahnya tersebar luas bagai terbawa angin yang berembus setiap pagi dan malam. Dan siapa pun yang mendengarnya seketika percaya seolah kabar itu serupa kisah nabi yang mendapatkan wahyu dari Tuhan.

“Rudi lagi gambar apa?” Perempuan berambut ikal itu bertanya begitu duduk di sofa sambil memegangi pipi kanannya. Di depannya, anaknya betapa masyuk menggambar sesuatu entah apa di meja.

Namun bocah itu tak menjawab. Bocah itu tak akan mendengar apalagi menggubris siapa pun selagi merampungkan gambarnya. Selama menggambar, telinga Rudi bagai mendadak tuli. Ia tak dapat mendengar pekik makian di balik pintu.

Dentam barang yang jatuh di kamar. Gelegar kaca yang pecah berserakan di balik dinding. Cetar-ceter sabetan yang disambut erangan. Gedebug pukulan yang disambut rintihan. Atau isak perempuan saban malam. Segala hal yang terjadi di sekitarnya tak disadari Rudi selama ia masyuk menggambar.

Perempuan itu penasaran, sambil terus memegangi pipinya ia pun melongok—berusaha melihat dari balik punggung anaknya. Dan perempuan itu betapa tersekat begitu mendapati ada gambar yang tak semestinya dibuat oleh seorang bocah. Gambar yang terlalu sadis bagi anak berusia tujuh tahun.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Bocah itu menggambar seorang laki-laki tertelungkup di atas kasur dengan gunting yang menancap dalam di lehernya. Darah segar melembak dari lehernya yang terluka, mengalir membasahi baju dan kasur. Wajah lelaki di gambar itu bagai tersiksa. Ia mati dengan mata terbelalak dan lidah terjulur.

“Itu siapa Rudi?” Bocah itu hanya bergeming.

“Rudi, itu siapa?” Bocah itu masih sibuk mewarnai.

“Rudi stop Rudi! Kamu kok gambar serem seperti ini, sih?!”

Perempuan itu lekas menarik lengan anaknya demi menghentikannya menggambar. Lekat-lekat ia menatap mata anaknya yang betapa bulat dan menyejukkan itu. Mata itu bagai mata malaikat yang tak memiliki dosa, pikirnya terpukau.

“Pipi Mama kenapa?” tanya Rudi begitu melihat wajah ibunya. Ah, perempuan itu seketika melepas gamitannya demi menutupi bekas luka di wajahnya. Pipinya masih tampak merah dan lebam.

“Eh... Nggak apa-apa. Ini cuma habis kejedot pintu aja kok, Sayang,” jawabnya tergagap. Ia bahkan masih berusaha tersenyum meski linu berdenyut di sekujur pipi kanannya.

“Pasti sakit ya, Ma?”

“Nggak kok, Rudi. Nggak sakit.” Lagi-lagi perempuan itu berusaha tersenyum. Tapi sejurus kemudian matanya basah oleh resah yang sedari tadi dipendam selepas suaminya minggat. Lama kelamaan rasa itu tak dapat lagi ditahannya. Dadanya mulai terasa sesak. Napasnya tersengal. Ia tahu ada yang akan melembak dari matanya. Sebuah jeritan. Sebuah emosi. Ia tak tahan lagi. Maka didekapnya anak itu erat-erat. Ditenggelamkannya kepala anak itu pada dadanya sampai-sampai bocah itu mampu mendengar detak jantungnya yang kian cepat.

Air matanya mengalir tapi tak terlihat. Tangisnya meraja tapi tak terdengar.

Orang-orang itu memang akan membayar gambar yang dibuat oleh Rudi sebagai imbalan, tapi mereka hanya akan membayar sesuai dengan baik atau buruknya gambar yang didapatkan. Bila petanda yang diberikan bagus, maka mereka tak segan memberikan buku gambar dan cat air atau kuas atau pensil warna baru.

Terkadang pun berbagai makanan dan pakaian. Tetapi kadang kala orang-orang itu tak ragu memberikan segenggam ikan teri atau sepotong roti bila gambar yang diterima menyiratkan sebuah kesialan atau nasib buruk. Seolah mereka benar-benar tak bisa menerima segala keburukan yang akan menimpa.

Tapi, dari segala bentuk kesialan sebuah suratan, orang-orang itu paling sulit menerima gambaran kematian. Apalagi gambar-gambar ajaib lelaki tua itu terbukti mampu menjangkau ajal. Seorang lelaki pernah teredu-sedu di hadapan Rudi setelah mendapati gambar tubuh dan kepalanya terpisah dengan darah yang membanjiri aspal. Seminggu berselang lelaki itu mati dipenggal begal. Seorang perempuan juga seketika merobek-robek gambar yang baru diterimanya dari Rudi. Sebulan berselang tubuh perempuan itu remuk tertimpa dinding bangunan saat gempa mendera.

Sementara itu, Rudi terus menggambar tanpa pernah tahu apa pengaruh gambarnya bagi orang lain. Ia menggambar tanpa peduli akan masa depannya sendiri. Tanpa mengira-ngira kapan malaikat maut menjemputnya. Tanpa pernah memikirkan kapan ia akan berhenti.

“Rudi lagi gambar apa?” tanya ibunya sambil membelai lembut rambut lurus anaknya. Dua hari lalu ia sudah meluapkan kesedihannya dan sore ini ia telah menuntaskannya.

Bocah itu lagi-lagi tak menjawab, ia terlampau masyuk mewarnai gambarnya yang sebentar lagi rampung. Perempuan itu penasaran, sambil menyeka matanya yang basah ia pun mengintip dari balik punggung anaknya yang kini tampak memerah.

Kulit punggungnya bagai kulit bayi yang basah. Kemarin malam punggung bocah itu disiram air panas dari termos oleh bapaknya yang teramat jengkel sebab tak menyahut ketika dipanggil. Bocah itu terlalu masyuk menggambar hingga bapaknya betapa murka dan hilang kesadaran. Bocah itu menjerit dan mengerang hebat ketika air panas membakar kulit punggungnya. Tubuhnya sempat berkelejatan bagai ayam yang disembelih. Tangisnya bahkan tak mereda hingga tengah malam.

Tapi kali ini perempuan itu melihat gambar yang lebih meneduhkan. Gambar seorang perempuan yang mirip dengannya tengah berjalan di tepi pantai sambil bergandengan dengan seorang bocah―yang dikiranya pastilah Rudi. Perempuan itu tersenyum. Lantas menunggu anak itu merampungkan gambarnya sebelum kemudian mengajaknya pergi.

“Kita mau ke mana, Ma?” tanya Rudi sambil merapikan kertas gambar dan pensil warnanya.

“Ke pantai. Rudi mau ke pantai sama Mama, kan?”

“Mau!”

Perempuan itu lantas merapikan segalanya; pakaian hingga serpihan-serpihan luka yang sempat luruh dari dadanya. Mereka pergi meninggalkan segala masa lalunya di sana. Termasuk gambar yang pernah dibuat anaknya dua hari lalu sengaja ditinggalkannya di ruang tengah. Biarlah, pikirnya. Lagi pula ia sengaja meninggalkan gambar itu sebagaimana ia sengaja meninggalkan suaminya di kamar; tertelungkup dengan gunting menancap tepat di leher. ***

Baca Juga: [CERPEN] Sepenggal Cerita di Ujung Senja

Rahardian Shandy Photo Verified Writer Rahardian Shandy

Rutin menulis sejak 2011. Beberapa cerpennya telah dibukukan dan dimuat di media online. Ia juga sudah menulis 4 buah buku non-fiksi bertema bisnis. Sementara buku fiksi pertamanya terbit pada 2016 lalu berjudul Mariana (Indie Book Corner).

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya