[CERPEN] Mengalir

Pasti kau sedang bermasalah lagi dengan kekasihmu

Aku tak pernah heran jika sewaktu-waktu kau tiba-tiba menghubungi. Pukul enam pagi, kau mendadak menelepon. Aku yang semestinya tidur lantaran semalaman begadang langsung sigap mengusap layar sembari kemudian menempelkan ponsel ke telinga kanan. Pasti kau sedang bermasalah lagi dengan kekasihmu.

“Hari ini jalan-jalan yuk,” katamu tanpa mengucapkan salam.
“Ke mana?”

Memang sudah jadi tugasku sebagai tempat sekaligus teman pelarianmu untuk bersiaga jika saat-saat seperti ini terjadi. Aku adalah lelaki yang kau datangi jika masalah menerpa hubungan asmaramu. Lelaki yang mengabdikan diri untuk membahagiakanmu disebabkan oleh perasaanku yang begitu dalam. Walau pada kenyataannya, kau lebih memilih lelaki lain untuk kau sebut sebagai kekasih.

Mengambil keputusan tetap bertahan di sisimu, aku mengalah dengan memosisikan diri sebagai seorang sahabat. Segera saja aku mandi, berpakaian, kemudian bersiap-siap menunggu kedatanganmu. Tak lama waktu berselang, kau datang. Kusambut helm yang kauberikan kepadaku dan langsung mengambil alih kendali motor. Kita mulai misi pelarianmu hari ini.

Biasanya, kau akan mengajakku—atau memaksa lebih tepatnya—berkeliling kota seharian, membeli berlembar-lembar pakaian baru, atau memakan bertangkai-tangkai es krim cokelat kesukaanmu. Namun ada satu tempat favoritmu yang juga merupakan tempat favoritku untuk menenangkan diri dan ke sanalah kita akan pergi hari ini: air terjun. Kita sama-sama merasakan kebahagiaan tersendiri saat menyaksikan guyuran air dari ketinggian. Tempat yang paling tepat untuk melenyapkan kesedihanmu.

Kepalaku masih mengantuk namun tetap kuusahakan fokus membawa motor. Setengah mengawang-awang, kurasakan kau melingkarkan lengan ke tubuhku. Bukan mimpi, dan aku cukup yakin kepalamu sekarang sedang menyandar ke punggungku. Aku paham apa yang sekarang tengah kau lakukan. Hafal benar apa yang selanjutnya terjadi. Tubuhmu terasa sedikit bergetar. Kau menangis tanpa suara di belakang. Kupacu motor lebih cepat, kau semakin mengencangkan dekapan di tubuhku.

Tiba di dekat sebuah desa, kau melepas pelukan. Motor mulai memasuki jalan setapak yang menuju daerah perbukitan. Rute perjalanan selanjutnya tidak memungkinkan untuk membawa motor lebih jauh sehingga kita melanjutkannya dengan berjalan kaki. Untuk keamanan, motor dipasangi gembok di bagian cakram rem. Pada hari-hari biasa, di dekat sini ada warga yang menjadi penjaga parkir dengan upah lima ribu rupiah untuk setiap motor. Mungkin karena ini bukan akhir pekan sehingga tidak ada yang berjaga.

Awalnya aku mengajakmu menggunakan jalur biasa, melewati jalan tanah setapak namun kau meminta untuk lewat jalur sungai. Dibanding jalur tanah yang biasa, ada lebih banyak air terjun yang bisa dinikmati sebelum tiba di spot air terjun utama. Aku pun akhirnya mengikuti keinginanmu dan mulai turun ke sungai.

Aliran air di sungai terlihat begitu jernih menampakkan bebatuan di dasarnya. Tidak terlampau dalam memang. Hanya sejengkal. Kau melangkahkan kakimu di atas bebatuan di dalam air. Aku berjalan di sampingmu menyamakan langkah. Dari sini, dapat kulihat raut wajahmu sedikit lebih cerah dibanding sebelumnya. Dalam diam, kita menyusuri aliran sungai berikut gemericik alirannya.

Ada tiga air terjun kecil yang kita lalui di perjalanan. Saat medan yang kita tempuh semakin menanjak, kugenggam erat tanganmu untuk membantu manakala kau kesulitan melangkah. Sesekali, tampak olehku bibirmu mengulum senyum saat sorot matamu menyapu pemandangan di sekitar.

Bunyi derasnya air terjun, kicauan burung-burung, suara daun, dan ranting-ranting yang dibelai angin; semua ini seolah berhasil mengalihkan sejenak kesedihanmu sebelum kita sampai di tujuan. Membuat aku sendiri sempat lupa apa alasan sebenarnya perjalanan kita kemari.

Sesampainya di tujuan kau mengeluh sakit. Kaki kananmu terasa digigit oleh sesuatu. Ketika kugulung ke atas celanamu, dua ekor pacet seukuran kelingking tengah menempel di betismu. Kau menjerit saking kagetnya melihat kedua makhluk itu yang tampak gemuk setelah mengisap darahmu. Kau hampir saja akan menyingkirkan kedua pacet tersebut dengan ranting sebelum aku menghentikannya.

Geligi tajam dari pacet itu akan membuat luka yang parah jika disingkirkan secara paksa. Segera kuambil pemantik dari tas pinggangku lalu menyulutkannya ke arah salah satu pacet tersebut.

Selang beberapa detik, pacet itu melepaskan gigi-gigi tajamnya dari betismu, begitu pula dengan yang satunya lagi ketika kusulut dengan pemantik setelahnya. Bekas gigitan pacet tadi meninggalkan luka kecil dengan sedikit darah yang masih mengalir.

Usai dari melepaskan pacet tadi, kau dan aku duduk bersebelahan bersandar pada sebuah batu besar menghadap ke arah air terjun. Tanpa suara air terjun dan suara alam lainnya di sekitar, mungkin kita akan terperangkap dalam keheningan. Aku masih diam melihat kau diam. Sengaja membiarkan kau merasakan ketenangan yang kaudapat dari menyaksikan air terjun di hadapan kita. Memberikan waktu bagimu untuk merenungkan semua masalah-masalah yang membebani pikiranmu sebelum kau mencurahkan semuanya kepadaku.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Sementara menunggu kau siap bicara menyampaikan semua keluh kesah, aku kembali diserang kantuk. Salahku juga sebenarnya yang tidak tidur semalaman. Demi menghilangkan rasa kantuk, kupikir ada baiknya aku berenang. Kulepaskan kaus, tas pinggang, dan sendal gunungku. Meletakkannya di tempat yang lebih aman kemudian segera menceburkan diri ke dalam air. Berenang mendekati kucuran air tejun, kurasakan guyuran air menepuk wajah dan bahuku. Serasa dipijat refleksi. Rasa kantukku hilang digantikan kesegaran dari air.

Tanpa kusadari kau ternyata tengah berenang ke arahku. Kusambut tanganmu ketika mendekat sambil tetap menggerakkan kaki di dalam air. Aku tak pernah mengira wajahmu tampak begitu cantik meski polesan make up di sana sebagian telah luntur oleh air. Kutatap matamu dalam-dalam, mengagumi keelokan rupa karunia Tuhan atasmu. Entah siapa yang lebih dahulu menginisiasi, kedua bibir kita saling mengecup bersamaan dengan tubuh yang saling berdekapan. Aku tahu ini sungguh salah sebab kau kekasih orang lain. Tetapi aku tak bisa menahan diri untuk melahap bibirmu yang selama ini memang kuidamkan. Kurasakan hangat tubuhmu menjalar ke tubuhku dalam sejuknya air.

Terus-terusan ditimpa air dari atas membuat wajahku sedikit lebih dingin sehingga dapat kurasakan hangat lain dari wajahmu. Ada aliran air lain. Lebih hangat. Tidak berasal dari atas melainkan dari kedua matamu. Sambil melepas kecupan, kudapati air mata telah melelehi pipimu, sedikit tersamarkan oleh kucuran air terjun.

Kuajak kau keluar dari sungai untuk meredakan tangis.

“Aku udah capek diginiin terus,” katamu memulai cerita dengan nada datar, sudah benar-benar capek kurasa. Kau, untuk yang kesekian kalinya, mendapati pesan-pesan berbalas mesra di ponsel kekasihmu yang berasal dari perempuan lain. Kembali lagi kekasihmu berdalih: hanya teman, cuma bercanda, dia yang mulai duluan kok. Kau memutuskan untuk tak memedulikannya lagi sejak tadi malam. Kau abaikan semua panggilan telepon darinya, tak kaubalas pula semua pesan yang masuk. Kau sudah muak. Namun tak cukup berani untuk mengakhiri apa yang sudah kalian jalani selama ini.

Sering kali aku mengingatkan setiap masalah seperti ini terjadi: satu-satunya kesalahan tak termaafkan dari suatu hubungan adalah perselingkuhan. Kau terlalu bebal untuk mengerti. Terlalu naif untuk menyadari bahwa lelakimu terlalu liar untuk diikat oleh komitmen. Kau bukanlah tempatnya pulang, semata persinggahan sementara dari petualangannya bersama perempuan-perempuan lain. Kau terus mengingkari fakta itu.

Semuak-muaknya kau dengan sikap kekasihmu, aku lebih muak lagi dengan ketidakberdayaanmu yang tetap mempertahankan dirinya. Untuk apa? Untuk terus menerus disakiti? Apa yang kauharapkan dari lelaki yang tak menjadikan kau sebagai satu-satunya perempuan di hatinya? Kalau kupikir lebih cermat lagi, seharusnya aku juga muak pada diriku sendiri yang jadi seperti ini. Mungkin sebenarnya aku yang terlalu bebal. Barangkali aku yang terlalu naif untuk menyadari bahwa kau tak akan mungkin memilihku tak peduli betapa brengseknya kekasihmu.

Kali ini aku memutuskan untuk mendiamkanmu alih-alih terus berceramah panjang lebar tentang sesuatu yang tak pernah kaudengarkan. Mencoba mencairkan suasana, kupikir, kau kembali mendekatkan tubuhmu padaku. Berusaha merengkuh tubuhku ke dalam dekapmu, pelan-pelan kau berusaha mencium bibirku lagi.

“Untuk apa?” tanyaku. Kau menghentikan gerakanmu sesaat. Wajahmu berjarak kurang dari sejengkal dari wajahku. “Gak akan ada habisnya membalas pengkhianatan dengan pengkhianatan. Gak ada bedanya kamu sama dia kalo kita kayak gini,” kataku lagi.

Harusnya aku sesadar ini saat menciummu tadi karena mungkin kau tak akan berpikiran untuk melakukannya lagi. Kau memalingkan wajahmu tapi tak melepas tangan dari tubuhku. Lama kita dalam posisi canggung ini. Aku semestinya juga mengerti, apa yang selama ini kau lakukan bersamaku sama saja dengan yang dilakukan kekasihmu.

Sudah cukup bagiku merendahkan diri dengan pengkhianatan berkedok teman curhat yang kulakukan. Mestinya aku tak semakin menghinakan diri dengan berada di posisi ini. Kugapai bagian belakang kepalamu dengan tangan kananku lalu mendekatkan kembali wajahmu ke wajahku. Kukecup bibir merahmu yang hangat, kau dekap tubuhku yang hangat. Kau balas ciumanku tak kalah hangat.

Sementara itu, tangan kiriku telah berhasil meraih pisau lipat dari tas pinggangku yang tergeletak sejangkauan lenganku. Aku selalu menyiapkan pisau lipat dan barang-barang lainya untuk berjaga-jaga setiap kali masuk ke kawasan hutan seperti ini. Dengan bibir yang masih saling melumat dan tubuh yang menempel erat, kutusukkan pisau lipat tadi ke arah tengkukmu.

Kau sepertinya tak sadar bahwa kini malaikat maut tengah melucuti nyawamu. Bibirmu masih membalas pagutanku tanpa peduli bahwa darahmu mengucur deras lewat tusukan dari pisau lipatku. Sampai akhirnya napasmu lenyap, kau tak pernah sadar darahmu mengalir bagai sungai di tengah ciuman kita.

Hanya aku yang sepenuhnya sadar. Sadar bahwa sampai mati pun, kau tak akan pernah memilihku.

Baca Juga: [CERPEN] Arwah Sahabat

Redyantino Susilo Photo Writer Redyantino Susilo

Ingin jadi penulis agar supaya. Senang mendengarkan musik dan cerita kekasih

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya