[CERPEN-AN] Antara Baik dan Buruk

Apakah kau pernah mengalami hal baik?

Angin berembus, menyapu kulit setiap makhluk di malam indah ini. Orang-orang sibuk ke sana dan ke mari sambil tertawa dengan bahagianya. Lalu, masih tentang orang-orang, mereka bergerombol, sesekali melempar kacang dan bungkus plastik.

Melihat mereka, aku menjadi muak. Kugerakkan kaki ke sebuah kursi di kafe pinggir jalan, memilih tempat yang agak sepi. Setelah memesan kopi, tidak ada kegiatan yang kulakukan selain merenung.

Mengutip judul lagu dari Keane "Everybody Is Changing." Semua orang berubah. Entah menjadi baik atau sialnya menjadi buruk. Aku percaya ada dua perubahan itu, tapi aku tidak percaya perubahan baik berada pada pihakku.

Untukku pun berubah. Tentu saja berubah menjadi lebih buruk. Hal baik apa yang menimpaku? Jawabannya yaitu aku tidak tahu. Apakah ada hal baik yang terjadi dalam hidupku? Kurasa semuanya hitam, kelam, dan buruk. Jika seperti itu, lalu siapa yang akan kusalahkan? Tuhan? Lingkungan? Bukan. Tentu saja diri sendiri yang tiada guna.

Menyalahkan diri yang tidak bisa beradaptasi. Diri ini yang tidak bisa memilih. Diri ini yang tak pernah dihargai. Diri yang hanya bisa mengikuti cerita kehidupan orang lain. Menyalahkan diri sendiri bukanlah hal baru bagiku, ia seperti partner hidup.

"Hei!"

Aku mendongak melihat seorang lelaki bertubuh tegap. Ia duduk tanpa izin di depanku, masih dalam satu meja. Biarlah, lagi pula kafe ini bukan milikku. Ini kafe umum, semua orang boleh duduk. Tiada hak untukku melarang. Eh? Sebentar … sepertinya aku mengenal pemuda ini. Benar, aku mengenalnya, meski ingatanku tentangnya samar-samar, tapi aku ingat. Dia adalah salah satu panitia sebuah acara alumni Sekolah Dasar yang akan segera diadakan. Sebuah acara yang menjadi beban untukku. Kukira mereka tidak akan memberitahuku jika ada acara, ternyata mereka masih ingat dengan diri lemah ini. Jika boleh memilih, aku akan memilih dilupakan oleh mereka. Anggap mereka tak pernah mengenalku, begitu juga sebaliknya dengan senang hati.

Dia memesan kopi, setelah kopinya jadi ia langsung meminumnya dengan hikmat. Pemuda itu tidak memiliki beban, apalagi beban pikiran apakah ia akan ikut acara tersebut atau tidak. Aku tahu dia, dia tidak tertimpa hal buruk.

"Bagaimana rasanya hidup dalam kehidupan yang selalu mendapat kebaikan?" tanyaku tiba-tiba.

Pemuda itu mengerutkan dahi. "Se … senang." 

Aku hanya membalasnya dengan senyum sinis. Jawaban yang sudah kuduga. Orang-orang sepertinya tidak akan tahu susahnya menjadi orang sepertiku.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Hidup dalam kebaikan tentu saja senang, hidup dalam keburukan juga tidak untuk diratapi. Tiap-tiap orang pasti mengalami hal baik dan hal buruk, siapapun itu. Presiden sekalipun, atau Raja dan Ratu sekalipun."

"Kau bisa mengatakan itu karena kau hidup dalam kebaikan."

"Itu yang kau lihat. Pada nyatanya akupun pernah berada pada titik terendah. Terserah percaya atau tidak, semua orang pasti mengalami hal seperti itu. Akan tetapi mereka tidak putus asa, mereka bangkit kembali, dan mereka juga tidak meratapai apalagi menyalahkan diri sendiri."

Aku menatapnya sebentar lalu mendunduk. Kukepalkan tangan sambil berharap air mataku tidak jatuh. "Kau tak tahu takutnya seseorang bertemu dengan orang-orang di masa lalu yang pernah merisak."

"Tunjukkan pada mereka yang merisak, bahwa orang yang mereka risak telah berubah menjadi Ratu."

Aku benar-benar tidak bisa menahan air mata, aku menangis sambil menunduk. Kurasa dia menyadari sesuatu yang telah terjadi padaku.

"Takkan kubiarkan ada perisakkan lagi. Besok, datanglah ke acara itu …," katanya, membuat kepalaku terangkat. Dia tahu aku? Aku pikir dia tidak mengenaliku lantaran sudah sangat lama tidak bertemu.

"… datanglah, bersamaku."

Tak lama setelah mengatakan itu, dia berjalan menjauh, makin jauh, hingga punggungnya tak terlihat lagi. Dia sudah jauh di sana, mataku sudah tak dapat melihatnya lagi saat ini. Namun, rasanya dia masih berada di depanku. Aku seperti melihat dia meminum kopinya dengan hikmat seperti tadi. Kata "Hei" yang ia katakan pertama kali juga masih dapat didengar. Kalimat terakhir darinya tak kalah kuat menari-nari di kedua telingaku.

Banjarnegara, 26 Mei 2019

Baca Juga: [CERPEN-AN] Sepatu untuk Mengantar Pagimu

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya