Diner With Philosophy: Short Stories-BAB 1

Penulis: A. Pradipta

Menu 1 : Appetizer

 

Tak-tak-tak.

Csss. Csss.

Suara sunyi.

Tuuut.

Crrrr.

Lagi-lagi suara sunyi.

Tang-tang-tang.

Tap. Tap.

Trek.

"Terima kasih, Mas Bos."

Srup.

Hah...

 

"Ya? Iya, segar sekali. Jahenya terasa kuat jadi enak di tenggorokan. Apa memang dikasih agak banyakan? ... Ooh, begitu. Iya, makasih lagi ya, Bos. Enak banget pokoknya!"

Dia—yang dari tadi kusebut Bos itu—pun kembali ke "wilayahnya", sebuah meja dapur yang memanjang di sudut belakang warung tenda ini, lalu kembali menjalankan aktivitas. Sesekali ia memotong, sesekali menyalakan kompor, menjerang air, mengelap cangkir motif blirik, lalu mengantarkannya pada seorang pelanggan yang sudah menunggu di meja panjang yang ditata rapi melingkari tiga sudut warung.

Aku menerka ada berapa pelanggan yang datang hari ini. Karena meski malam sudah begini larut, warung ini masih saja didatangi pelanggan—padahal warung ini baru buka lepas senja hingga selesai fajar. Satu-dua datang, lalu satu-dua pergi. Entah mengapa tidak pernah saling berjubel. Seakan datangnya para pelanggan itu sudah diatur sedemikian rupa supaya alurnya pas dan tidak membuat warung sesak.

Di sini selalu tenang sekali. Padahal letaknya tidak jauh-jauh amat dari jalan utama. Hanya belok masuk ke dalam gang sempit di sebelah area pertokoan, lalu kau bisa melihat semburat cahaya lampu teplok di ujung gang itu. Cahaya lampunya berwarna-warni. Hari ini warnanya jingga kemerahan. Nah, lampu itulah penanda keberadaan warung milik Mas Bos ini.

"Iya, Mas Bos? ... Tidak, tidak usah. Setelah ini langsung tidur rencananya. Kalau makan terlalu banyak di jam segini, aku justru tidak bisa tidur. Hehe," kataku menjawab tawarannya sebelum kemudian menyesap lagi segelas teh uwuh yang ia sajikan tadi.

Namanya memang Mas Bos. Maksudku, aku tidak tahu apakah itu bisa digolongkan sebagai nama atau tidak karena mana ada orang bernama aneh begitu. Tapi, aku dan pelanggan-pelanggan lain, tidak pernah tahu mengenai nama aslinya. Toh kami tidak ambil pusing mengenai siapa nama aslinya. Sebab segala makanan dan minuman yang ia sajikan terasa begitu nikmat, jadi nama seaneh itu pun bukan hal yang mengganggu.

Di meja di hadapanku, terhampar berbagai macam makanan yang biasa ada di warung tenda atau angkringan pada umumnya. Ada berbagai jenis gorengan, berbagai jenis kerupuk, berbagai jenis camilan, dan kadang kotak-kotak permen atau manisan. Tapi kami sebagai pelanggan tidak hanya dapat menikmati makanan itu saja. Ada dua menu lagi yang ditawarkan Mas Bos dan warungnya—dan berani taruhan, tidak ada satu pun warung lain di dunia ini yang memiliki menu serupa.

Satu: menu apa pun yang kau inginkan tergantung mood-mu hari ini, tapi dengan catatan; hari ini Mas Bos punya bahan-bahannya. (Menurut penuturan yang bersangkutan, bahan-bahan itu selalu ia stok dari sisa bahan restoran lain yang buka di pagi hari. Belakangan ia berinovasi memasang sebuah papan tulis kecil yang ia tulisi bahan-bahan yang tersedia hari ini dengan kapur warna-warni—dari situ aku tahu kalau tulisannya bagus tapi gambarnya jelek minta ampun.)

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Dan dua: menu berupa sebuah-apa ya menyebutnya-kalau orang bilang semacam "filosofi" di saat kau membutuhkannya. Tapi bagiku, ia tidak pernah sengaja mengutarakan "filosofi" dan semacamnya. Ia hanya ikut duduk lalu mendengarkan cerita kami lalu beberapa kali menimpali. Kadang ia juga memberi saran, sama dengan kami yang terkadang memberinya saran. Kadang ia juga diam saja, sama dengan kami yang terkadang cuma diam menanggapi pembicaraannya.

Pokoknya aku tidak bisa memintamu buat memahami Mas Bos dan warungnya sebagaimana pemahamanku mengenainya. Mungkin kau bisa datang sendiri atau mendengar kisah-kisah mengenai Mas Bos dan warungnya dari pelanggan-pelanggan lain yang sudah pernah mampir kemari.

Srak.

"Ya?"

Srup.

"... Tahu saja kamu, Mas Bos. Ya. Sedang kesal. Aku ingin jadi orang baik, ingin dipandang sebagai orang baik. Kukira dengan bekerja sebaik-baiknya, orang pun akan menilaiku baik. Tapi rupanya..." lalu blablabla.

Di akhir cerita, Mas Bos menepuk pundakku. Tangannya yang padat itu terasa hangat. Senyumnya tersungging, memperlihatkan gigi gingsulnya. Lalu ia berkata pelan. Aku mendengarkannya sembari memperhatikan kacamata bundarnya. Di sana aku bisa melihat pantulan wajahku. Memang benar apa kata dia. Tampak kurus dan kuyu. Dan kalau aku tidak melihat dari pantulan kacamata bundar itu, aku tidak tahu kalau di bawah mataku ada cemong hitam seperti kepunyaan panda. Dan kira-kira begini bunyi perkataannya.

Kukira tidak ada gunanya ingin jadi 'orang baik' —sampai sini aku mendelik karena perkataannya yang jauh di luar kewajaran. Untung dia segera melanjutkan.

Berbuat 'baik' tidak akan menjadikanmu 'orang baik'. Hanya menjadikanmu 'seseorang yang berbuat baik'. Sebenarnya lebih tepatnya, 'baik' itu tidak usah dikasih nama. Mau kau menyebut tindakanmu itu 'baikbaikbaikbaik' seribu kali pun, kalau tidak berbuat 'baik' dalam artian sesungguhnya, maka kata-kata itu akan hilang maknanya.

 

Ia mengakhiri perkataannya dengan memberikanku sebuah permen manis yang ia ambil dari kotak kaca bulat yang dimiringkan di hadapan kami. Katanya kira-kira begini.

Orang-orang di beberapa daerah di Timur Tengah sana memiliki kebiasaan meminum teh pahit panas sembari mengulum sebuah permen. Dengan begitu, teh yang rasanya pahit akan terasa manis begitu sampai di ujung lidah karena permen manis itu meleleh terkena air teh yang panas. Tapi teh di cawan tetap teh pahit, kan? Namun bagi orang yang sudah mengulum permen manis, teh pahit itu akan terasa seperti dikasih gula. Itulah gunanya mindset. Tidak perlu ingin jadi baik lalu diikrarkan seperti pengikraran UUD 45 setiap upacara bendera. Setiap orang sudah punya permen manis dalam diri yang meski akan meleleh dan tak terlihat lalu digantikan yang lainnya, ia adalah penolong dalam menyaring setiap rasa pahit yang akan memasuki tubuh dan pikiran.

Lalu ia memberikanku lebih banyak permen untuk dimakan sembari berjalan pulang. Dan pulanglah aku beberapa menit kemudian setelah meletakkan beberapa lembaran uang di meja-ya, ia tidak pernah mematok harga buat makanan dan minuman yang disajikannya.

Mas Bos mengucapkan terima kasih dari meja kerjanya. Rambut keriting hitamnya yang separuhnya ditutupi kain putih bersih itu bergoyang ditiup angin malam.

Dari pintu masuk warung tenda, aku melihat sosoknya yang berpakaian lurik cokelat-hitam dan bercelemek putih di sekitar pinggang, tersenyum polos seperti bayi yang baru muncul gigi susunya.

Terima kasih sudah datang, ya. Jangan lupa sikat gigi. Mampir lagi kemari.

Katanya dengan suaranya yang berat tapi sejuk, tidak lupa tersenyum lebar hingga sepasang lesung pipit terlihat di kedua sisi pipinya.

***

22-5-2020

12:00 a.m.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: Diner With Philosophy: Short Stories-BAB 2

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya