[NOVEL] Jakartaholic - BAB 2

Penulis : Dita Soedarjo  

2. In a World Where Things Are Moving So Fast

***

Apa yang dialami Mutiara, tidak akan terjadi padaku. Papa dan Mama mempekerjakan banyak orang untuk meringankan beban. Meski orang kepercayaan itu tidak punya hubungan darah dengan keluargaku, keberadaan mereka sudah sangat dekat dengan keluargaku.

Aku sudah lama tidak bertemu Papa. Pekerjaan di kantor membuatku sering kali harus lembur, atau keluar kota dan keluar negeri selama berhari-hari, sehingga sulit untuk pulang ke rumah dan menengok orangtua. Terpaksa aku menyelipkan waktu bertemu, meski hanya satu jam. Bukan hal yang mudah, mengingat jadwal Papa yang sangat padat.

Sejak aku pulang ke Jakarta sekembalinya dari London setelah kuliahku selesai, bisa dihitung berapa kali kami bertemu. Apalagi aku memutuskan untuk tinggal sendiri, semakin sulit untuk bertemu kedua orangtuaku. Papa memberikan hadiah kelulusan berupa unit apartemen di Keraton Residence, dan itulah yang menjadi tempat tinggalku sekarang. Sementara kedua orangtuaku masih tinggal di rumah kami di Menteng.

Alasanku tinggal di apartemen murni karena kepraktisan. Lokasinya yang sangat strategis memudahkanku dalam menyelesaikan pekerjaan, mengingat pekerjaan yang mengharuskanku bertemu banyak orang atau hadir di banyak event dan tidak mengenal waktu yang tetap.

Selain itu, aku ingin lebih mandiri. Sebagai anak satu-satunya, hanya aku tempat Papa dan Mama mencurahkan perhatian. Terlebih setelah kejadian traumatis yang kualami dulu, membuat Papa jadi overprotektif. Kesibukan orang tuaku membuat waktuku bersama mereka jadi sangat minim.

Dahulu, Mama selalu menjadwalkan untuk liburan bersama setidaknya sebulan sekali. Beranjak remaja, liburan bersama semakin berkurang, dan berganti dengan liburan bersama teman-teman. Saat aku tinggal di London, liburan bersama sudah berhenti, diganti dengan kunjungan rutin beberapa bulan sekali.

Sekarang, keadaannya semakin sulit karena aku pun sudah memiliki kesibukanku sendiri.

“Tina.”

Suara berat yang sangat akrab di telingaku membuatku berhenti mengecek akun Instagramku dan berbalik. Aku bangkit berdiri dan memeluk Papa.

 “Kamu baik?”

Aku mengangguk dan kembali duduk di kursiku. Papa membuka jas yang dipakainya dan menyampirkannya di punggung kursi, sebelum dia duduk di kursi itu.

“Kamu sudah pesan makanan?”

“Sudah. Aku juga udah pesenin untuk Papa.”

Papa mengangguk dan melirik jam tangannya. Aku mengerti kesibukannya, apalagi sekarang, ketika dia sibuk kampanye untuk election yang akan berlangsung tahun depan. Walaupun masih lama, tapi Papa sudah mempersiapkan diri dari sekarang.

“Kamu sibuk apa sekarang?”

“Lagi nyiapin edisi spesial, 10th anniversary, jadi lebih hectic dibanding biasanya. Soalnya, kita mau nyetak jumlah halaman double. Setiap hari aku harus interview satu narasumber dan mengecek hasil tulisan writer lainnya.”

Papa mengangguk tanda mengerti. Satu hal lain yang aku syukuri dengan menjadi anaknya adalah, Papa tidak pernah memaksakan kehendak. Papa tidak mempermasalahkan pilihan karierku. Beliau hanya menekankan, yang penting aku bekerja keras dan semaksimal mungkin. Jangan malas, karena Papa paling tidak suka orang pemalas.

Sepanjang hidupku, baru sekali Papa memaksakan kehendaknya. Ketika beliau menyuruhku berhenti sekolah di kelas 3 SD dan menjalani homeschooling.

Menjadi seorang politikus, sebaik apa pun, tidak menutup kemungkinan Papa memiliki musuh di luar sana. Malah, Papa pernah bercanda bahwa musuhnya lebih banyak dibanding teman, karena bisa saja mereka yang sekarang menjadi teman, besok berubah menjadi musuh. Sudah tidak terhitung berapa banyak usaha untuk menjegal Papa, tapi Papa selalu berhasil melewatinya.

Barangkali, musuh Papa berpikir kalau mereka tidak bisa menyentuh Papa, mereka bisa menghancurkan Papa lewat orang lain. Dalam kasus ini adalah aku, anak satu-satunya.

Aku masih ingat hari itu, aku dijemput dari sekolah oleh sopir yang baru bekerja dua bulan di keluargaku. Papa maupun Mama sama sekali tidak menduga kalau sopir itu adalah orang suruhan musuh Papa.

Alih-alih mengantarku pulang, aku malah dibawa ke tempat yang tidak kuketahui. Belakangan aku tahu kalau aku disekap di sebuah vila di daerah Puncak. Sepanjang perjalanan, aku menangis memanggil Mama dan Papa, hingga akhirnya aku terlelap. Saat terbangun, aku ada di sebuah ruangan terkunci. Aku menguping dari balik pintu, dan hanya mendengar suara tawa laki-laki. Aku yang ketakutan kembali menangis, sampai pintu kamar itu dibuka paksa, dan aku melihat sosok sopirku. Aku memintanya mengantarku pulang, tapi dia hanya tertawa.

Sampai saat ini, aku masih ingat ucapannya. “Kamu tidak bisa pulang kalau kami belum menerima uang.”

Aku tidak tahu berapa lama aku berada di kamar itu. Aku terus menangis, sampai akhirnya aku capek menangis.

Hal berikutnya yang aku ingat adalah pintu kamar terbuka dan seorang polisi menyelamatkanku. Aku melihat polisi lain menangkap penculik itu. Selanjutnya, aku dibawa keluar vila dan berlari ke arah Mama. Mama langsung memelukku sambil menangis, membuatku ikut menangis, lega karena tahu diriku selamat dan sudah bertemu lagi dengan orangtuaku.

Aku juga memeluk Papa. Ada yang berbeda dari Papa. Malam itu dia terlihat berantakan dan emosional, padahal selama ini dia dikenal sebagai sosok yang sangat tenang. Baru bertahun-tahun kemudian, setelah aku remaja, dan bertanya soal penculikan itu, Papa menjelaskan kejadian yang sebenarnya.

Lawan politiknya tidak menerima kekalahan sehingga ingin menghancurkan Papa. Setelah semua usahanya gagal, dia pun nekat dan merencanakan penculikan itu. Namun, dia tidak pernah membayar kejahatannya. Hanya kedua penculik yang mendekam di penjara, sementara dia tetap bebas, bahkan tanpa ada catatan kejahatan sedikit pun. Terus melenggang dengan karier politik yang mentereng.

Money talks. Sejak kecil, aku sudah paham bahwa uang punya pengaruh yang sangat besar.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Sebagai tindak lanjut dari kejadian itu, Papa memeriksa semua orang yang bekerja di keluarga kami. Beliau tidak ingin kecolongan lagi. Mama juga jadi lebih protektif, dan sikapnya ini cukup memperkeruh hubungan kami ketika aku remaja. Aku merasa sikap Mama seperti mencekik, karena aku jadi tidak punya ruang.

Sejak kelas 3 SD itu, aku terpaksa homeschooling. Berat rasanya untuk keluar dari sekolah dan berpisah dengan teman-teman. Namun, aku tidak punya pilihan lain.

Sampai sekarang, kejadian itu masih berbekas. Membuatku jauh lebih waspada saat bertemu orang baru dan tidak langsung percaya kepada orang asing atau orang yang baru kukenal.

“Jangan lupa istirahat, nanti kamu sakit.”

Ucapan Papa mengembalikanku ke masa sekarang. Aku tertawa kecil menanggapinya.

“Papa yang harusnya istirahat. Itu kantong mata jelas banget, lho, Pa.”

Papa ikut tertawa. Dia mengusap keningnya, dan selama sedetik, dia lupa memakai topeng yang selama ini dipakainya. Sehingga, aku bisa melihat apa yang sebenarnya dia rasakan.

Lelah.

Namun, hanya sejenak, karena detik setelahnya, Papa kembali tersenyum dan menunjukkan ekspresi tidak apa-apa.

Bersamaan dengan itu, makanan pesanan kami sampai.

“Ayo makan, sambil kamu cerita. Sudah lama kita enggak makan seperti ini.”

Aku kembali melanjutkan cerita soal pertemuanku dengan Celine. Papa hanya tertawa maklum ketika aku tahu aku membeli mobil baru kemarin.

“Aku, kan, belajar dari Papa.” Aku membela diri. “Ingat enggak waktu aku ikut Papa kunjungan ke Palangkaraya. Mobil yang Papa sewa mogok, jadi Papa beli mobil baru. Udah gitu, mobilnya ditinggal di DPC di sana, buat kendaraan operasional.”

Tawa Papa meledak. Aku ikut merasa lega melihat Papa tampak santai, meski hanya sebentar.

Waktu satu jam memang sangat singkat. Masih banyak yang ingin kuceritakan kepada Papa, tapi beliau sudah harus pergi. Debby sudah meneleponnya, mengingatkannya untuk jadwal selanjutnya.

“Kalau kamu tidak sibuk, kamu bisa ikut Papa dan Mama ke Lombok weekend ini. Papa ada kunjungan kerja ke sana, kamu bisa liburan. Ajak teman-temanmu kalau kamu mau.”

Aku mengangguk. “Nanti aku hubungi Debby.”

Papa bangkit berdiri dan memasang kembali jas. “Papa pergi dulu.”

Sebelum pergi, Papa menyempatkan diri untuk mengecup keningku—sebuah kebiasaan yang tidak pernah dilupakannya.

“Oh ya, Tina. Kapan terakhir bertemu Mama? Jangan lupa ketemu Mama, oke?”

Aku mengangguk, sekaligus tersadarkan bahwa sudah lama tidak bertemu Mama. Beberapa kali Mama menghubungiku, mengajakku bertemu atau menemaninya ke salah satu acara sosialnya. Namun, jadwalnya tidak pernah pas.

Aku melirik agenda di ponsel. Ada waktu untuk sekadar lunch dengan mama. Tidak perlu berpikir panjang, aku mengirimkan pesan, mengajak Mama untuk bertemu besok.

“Minta Debby untuk mengatur jadwal ketemu Mama,” sambung Papa.

It’s okay, aku bisa sendiri. Kebetulan besok ada sedikit lowong pas lunch time, jadi aku ajak Mama lunch.” Aku menjawab.

“Ya sudah. Hati-hati di jalan. Kembali ke kantor?”

Aku menggeleng. “Ada acara Fendi di Plaza Indonesia. Aku harus ke situ.”

Setelah menyuruhku untuk berhati-hati sekali lagi, Papa akhirnya benar-benar pergi, meninggalkanku sendirian menghabiskan makan siang sebelum beranjak ke acara selanjutnya.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook : Storial
Instagram : storialco
Twitter : StorialCo
Youtube : Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Jakartaholic - BAB 1

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya