[NOVEL] Kupu-Kupu dalam Perut-BAB 3

Penulis: Resawidi

Kisah-Kisah yang Alpa

 

Aku tidak peduli lagi apakah @gambardikit sudah membuka DM dariku atau belum. Ucapan-ucapan selamat di akun Facebook tidak lagi kubalas. Genap dua minggu aku menghabiskan waktu luang di rumah sakit, sepulang kerja dan sepanjang hari pada Sabtu dan Minggu. Sejak malam itu, Regan tidak pernah membuka mata. Tante Arin, mamanya Regan, sama sekali tidak menyalahkan kami atas kecelakaan ini karena menemukan selembar surat pamit di kamar Regan.Yang dilakukan Tante Arin pada pertemuan pertama hanya memelukku erat-erat dan menumpahkan semua ketakutannya lewat air mata.

Meski begitu, aku dan Pilar merasa tetap memiliki beban moral. Karena kecelakaan ini, Regan gagal memenuhi panggilan wawancara kedua dari perusahaan yang diharapkan Regan, tiga hari setelah malam nahas itu. Peristiwa yang ada unsur kaminya itu juga telah membuat hidup Tante Arin lebih menyedihkan setelah ditinggal mati suaminya, dua setengah bulan lalu.

"Ini yang namanya selalu ada hikmah di balik musibah." Baru keesokan paginya Tante Arin bicara. Dengan mata sembap yang diusahakan tetap membuka lebar, ia berkata sambil melempar harapan kepadaku. "Sudah lama sekali Tante mau ketemu. Akhirnya bisa juga walaupun harus dalam situasi begini."

Menit-menit berikutnya, Tante Arin berubah jadi orator ulung. Bukannya aku tidak senang akhirnya Tante Arin bisa berhenti menangis, tapi kami semua sedang berduka sementara yang disampaikannya hanya pujian-pujian kepadaku sampai aku bingung bagaimana harus menanggapi. Pilar di sebelahku juga kelihatan mengelus tengkuk melulu.

"Regan pasti senang banget ketika bangun nanti. Mungkin ini jalan Tuhan untuk membuat kalian bersama lagi." Dari sepanjang omongan Tante Arin, kurasa ini adalah yang paling melantur. Aku bisa menerima begitu saja ketika Tante Arin bilang Regan sudah lama menyukaiku dan masih selalu mengingat banyak kenangan kami, tapi bicara seolah aku ditakdirkan untuk Regan dan mengalpakan kehadiran Pilar, aku tidak bisa. Sejak kali pertama kami bertemu di rumah sakit, aku jelas-jelas mengenalkan Pilar sebagai tunangan. Berduka bukan berarti bebas menjadi egois dan kekanakan begini. Tante Arin bahkan lebih tua dari kami, seharusnya tahu kapan kalimat-kalimatnya pantas diucapkan.

Aku hampir memutus pembicaraan Tante Arin demi melakukan protes kalau Pilar tidak segera mengelus bahuku. "Sabar," ucap Pilar lewat gerakan mulut.

Setelah itu, aku sempat mogok mengunjungi Regan. Bukan tidak tahu diri. Aku juga khawatir. Tidurku tidak pernah nyenyak. Nama Regan bahkan selalu kusebut lebih dulu daripada namaku sendiri dalam setiap doaku belakangan ini. 

Beruntung, pasanganku adalah Pilar, yang hatinya bisa seluas samudera. Ia mau mengesampingkan perasaannya dan dengan sabar mencekoki aku pengertian-pengertian sehingga aksi mogokku hanya bertahan dua kali. Aku kembali menjenguk, tapi kesadaran Regan masih tidak juga kembali.

Lalu, dengan begitu saja, aku menjadi teman cerita Tante Arin. Aku menjadi pendengar yang berusaha memaklumi pembicaraan. Kalau aku tidak ingat Pilar selalu berpesan bahwa Tante Arin sedang tidak stabil karena duka-duka yang diterimanya, aku pasti sudah mencak-mencak dan mengulang aksi mogok. 

"Kirana, kamu sudah makan?" tanya Tante Arin sepulang dari kantin. Senyum yang ia lemparkan jelas sekali dipaksakan. Meski bukan seorang Ibu, aku bisa merasakan hancurnya perasaan Tante Arin ketika seorang dokter muda mengabarinya bahwa pasien dengan luka seperti Regan seharusnya sudah bangun dari koma setelah dua hari. Artinya, peluang Regan untuk kembali sadar sangat kecil. Kejam. Namun, toh kenyataan tidak mau peduli.

"Nanti aja, Tan." Hari ini, aku tidak berselera makan. Sepotong roti dari Arsan, adiknya Regan, hanya secuil kumakan.

Tante Arin menghampiriku di sofa. Duduk dengan mata fokus ke arah bangsal. Wajahnya lesu. 

"Tante bisa apa kalau Regannya nggak mau bangun?" Senyum yang ia coba lemparkan saat mengatakannya sama sekali tidak membuatku percaya kalau hatinya sudah seikhlas perkataannya barusan.

Jadi, aku hanya mengangguk. "Pilar ke mana, Tante?" tanyaku mengalihkan suasana.

Sayangnya, Tante Arin tidak ingin meninggalkan duka. Ia menjawab, "Masih teleponan di kantin. Tante balik duluan, soalnya mau lihat Regan lebih sering, selagi bisa," dengan ekspresi putus asa yang semakin parah. 

Itu membuatku sesak dan serbasalah. Bagaimanapun, kebiruan ini ada salah satunya karena aku. Tante Arin cerita kalau Regan mendadak mengundurkan diri sebagai tenaga honorer di bagian Analis Bantuan Hukum karena ingin kembali mengejar mimpinya jadi tukang gambar, supaya kalau suatu hari bertemu denganku lagi, ia bisa jadi kebanggaanku. Ia memulai hidup baru yang sayangnya tidak segera meraih kesuksesan dan malah membuatnya kehilangan banyak hal, termasuk papanya.

Suasana menjadi hening karena responsku kembali hanya dalam bentuk anggukan. Tante Arin sudah sibuk menatap tubuh yang dipasangi alat-alat medis di bangsal sana. Sementara aku mulai dipanggil-panggil oleh masa lalu.

Sepuluh tahun silam adalah kali pertama aku dan Regan mengobrol, meski sebelumnya aku sudah sering mendengar namanya disebut-sebut beberapa teman. Gambar-gambarnya di mading dan empat piala besar yang berhasil ia bawa untuk sekolah membuat Regan cukup terkenal, terutama di kalangan angkatanku. 

"Regan," katanya memperkenalkan diri. Seragam putihnya mencuat dari celana, ada noda bola sepak tercetak di bagian bawah. Senyumnya lebar dan menampakan deretan gigi.

"Kirana." Jabatan tangan kami hanya berlangsung beberapa detik, tapi mampu merekatkan hubungan kami hingga satu setengah tahun lamanya.

Bu Dayu, guru kesenian, mempertemukan kami di ruangannya seolah itu adalah hari pertama kami masuk sekolah. Ia memberi tahu kami bahwa kami akan menjadi tim perwakilan lomba komik antar sekolah sepulau Jawa. Menurutku, Regan bisa saja maju sendirian, mengingat ia sudah biasa membuat komik untuk mading sekolah. Namun, Bu Dayu bilang, saat lihat tulisanku di blog, ia yakin Regan akan menjadi semakin hebat kalau berkolaborasi denganku.

Aku jelas menerima tawaran itu. Selain jadi suatu kebanggaan, kala itu, aku merasa terlalu senang mengetahui ada guru yang memperhatikan hobiku di dunia maya sehingga dalam hati aku berjanji akan memenuhi apa saja perintah Bu Dayu.

Aku ingat, Regan segera menghampiriku begitu bel pulang berbunyi untuk berdiskusi. Awalnya biasa. Selayaknya tim yang hendak menciptakan sesuatu, berbagi imajinasi, membicarakan tujuan-tujuan, menambal kekosongan, sampai akhirnya kami bisa saling tertawa. Aku senang punya tim yang menyenangkan seperti Regan. Ia tidak banyak menuntut dan cekatan mengikuti alur.

"Kalau saja Regan tahu apa yang akan dia dapat, dia pasti mau membuka mata." Tante Arin kembali bicara sendirian, mengucapkan kalimat yang sudah sering diulangnya. Senyumnya kelihatan lebih baik sekarang.

Aku tidak merespons apa-apa, berusaha memenuhi pesan Pilar untuk memahami bahwa yang dibutuhkan oleh kesedihan hanya telinga yang mendengar dan hati yang mau memaklumi. Jadi, aku kembali memenuhi panggilan masa lalu dengan mengingat cerita Tante Arin pada hari lainnya.

Kata Tante Arin, Regan langsung menyukaiku sejak hari pertama Masa Orientasi Sekolah, hanya karena ia memergokiku sedang memberi makanan kepada nenek tua yang kelelahan memungut sampah tidak jauh dari sekolah. Kemudian, Regan mulai mencari tahu banyak hal tentangku tanpa pernah kuketahui. 

Oleh karena itu pula, Regan mengajukan namaku untuk menggantikan anak-anak ekskul mading menjadi tim lomba komiknya, sama sekali bukan karena Bu Dayu yang benar-benar memperhatikan blogku. Meski ragu, Bu Dayu mau juga setuju dan mencoret tiga anak ekskul mading dalam daftar, setelah berkali-kali Regan membujuk dan bilang kalau tim yang terlalu banyak hanya akan memperpanjang proses karena menyatukan banyak kepala menjadi satu ide tidak mudah, apalagi dia menjanjikan piala untuk sekolah.

"Mimpi terbesar Regan selama ini hanya menghidupkan cerita-cerita kamu dengan ilustrasi yang dia buat. Dia mau menghidupkan segala hal lewat visual bareng kamu, Kirana."

Bibirku melengkung mendengar ucapan Tante Arin barusan. 

Jam berikutnya pada hari itu, setelah Tante Arin membongkar satu rahasia, terbongkarlah rahasia lainnya. Persis seperti cerita Tante Arin, aku ingat bisingnya sorak-sorai penonton begitu tim sekolah mencetak gol. Regan yang mengundangku menonton pertandingan futsal hari Sabtu, sekalian janjian mau menghabiskan voucher makan hasil menang lomba komik sepulang itu.

Regan dan tim yang dikepalainya menjadi pemenang. Aku ikut bersukacita, menyambutnya dengan sebotol air mineral yang kubawa dari rumah.

"Makasih," katanya sambil tersenyum. Lalu, kami pergi sambil disoraki anak-anak futsal. "Hati-hati, Ki, Regan modus!" Arya, salah satu anggota tim menyeletuk.

"Berani modusin, gue jitak dia." Aku menyahut disertai tawa.

Kami, aku dan Regan, jadi seperti babi karena menandaskan banyak sekali makanan. Mencintai gratisan adalah jiwa remaja kami. Kemudian, hari itu kami habiskan sampai lupa waktu. Bicara tentang banyak hal, berdiskusi soal ini dan itu, berdebat, hingga aku sadar betapa gadungannya aku sebagai anak IPA. Yang bisa menjawab semua pertanyaan eksakta, tapi tidak pernah punya mimpi ke arah sana.

"Kalau nggak lihat rapor lo, nggak ada yang tahu lo anak IPA." Cengiran Regan meledekku. Aku tertawa, lepas sambil manggut-manggut setuju.

"Jadi, deal ya, kita lepas identitas setelah jam sekolah?"

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Yap! Berubah jadi power ranger peraih mimpi."

Aku terbahak. Regan juga, padahal dia sendiri yang bicara ngaco. Kami terkoneksi. Saling sambung. Dengan begitu saja, aku mulai menyukai kebersamaan kami.

Senyumku terkembang karena mengingatnya. Kukira hari itu Regan telah menyadarkan aku soal tujuan hidup. Bersama Regan, aku membangun mimpi-mimpi dan mencoba menggapainya. Kami menjadi tim yang saling mendukung. Aku menulis sementara Regan menggambar. Melewati waktu-waktu melelahkan, jatuh, juga kemenangan. Perlahan rasaku berkembang. Regan dan obrolan-obrolan menyenangkannya selalu membuatku ingin menghentikan waktu.

Aku bangkit dan mendekat ke bangsal. Kupandang lekat-lekat wajah tirus yang kusam itu. Bertemu Regan, aku merasa wajib bersyukur meski tempo hari Tante Arin bilang justru Regan yang merasa berutang budi. Regan pernah cerita ke Tante Arin, karena aku, Regan jadi tahu tujuan hidupnya. Aku membuat Regan kokoh pada impiannya.

Tanganku sedikit gemetar sewaktu menyentuh pipi Regan. Heran, mengapa laki-laki penuh semangat ini kuat terpejam berlama-lama. 

"Terima kasih," ucapku pelan, nyaris tidak terdengar. Untuk semua hal baik yang pernah ia usahakan demi aku.

Kisah lainnya yang alpa dariku diceritakan Tante Arin pada hari ketujuh sejak kecelakaan. Buah mangga yang sedang kukupas kulitnya, licin di tangan. Sementara Tante Arin sibuk mengganti-ganti saluran televisi di kamar inap, satu jilid komik di rak pertama nakas diberikan kepadaku. Aku tersenyum sebentar, mengingat komik komersial pertama dan terakhir buatan kami yang terbit ketika duduk di kelas dua belas semester pertama. Tipis dan harganya dijual standar.

"Regan patah hati." Tante Arin memulai ceritanya tempo hari. "Minggu pertama komik kalian dipasarkan, kamu nggak bisa diajak berkeliling toko buku."

Aku membalas dengan senyuman canggung. Waktu itu, sore-sore, Regan meneleponku. Aku sedang di rumah, bersantai sambil menonton Doraemon di laptop. Suara renyahnya mengundangku untuk jalan ke toko-toko buku. Ia mau melihat langsung buku kami di sana, mengambil beberapa gambar, lalu memamerkannya ke Facebook.

"Gramedia, yuk! Lihat komik kita sambil malam mingguan."

"Nggak bisa, Re. Gue udah ada janji mau main sama Teo." Tolakanku kali itu hanya bohongan.

"Anak basket?" Regan terdengar ragu. Dia tahu aku dan Teo teman satu kelas, tapi kami tidak pernah punya hubungan di uar urusan sekolah.

"Iya. Nggak enak kalau batal tiba-tiba." Bukannya aku tidak mau. Seperti yang sudah kuceritakan sebelumnya, bersama Regan adalah apa yang selalu kusuka dulu.

"Oh." Regan terdengar kecewa. Aku juga. Untuk kali pertama, aku berbohong pada Regan. Aku tidak janjian dengan Teo meski benar Teo mengajakku malam mingguan. Aku hanya sedang merasa bersalah besar-besaran karena sebelumnya, Fisca, sahabat Regan, menghampiriku di kantin. Perempuan cantik yang terkenal karena suara merdunya itu mengaku kepadaku kalau dia sudah lama menyukai Regan. Dengan sangat hati-hati, dia bilang kalau kedekatanku dengan Regan sudah merenggangkan kebersamaan mereka.

Jatuh cinta mungkin membuatku menjadi sangat perasa sehingga aku segera menuding diriku sendiri waktu itu. Benar juga, Fisca dan Regan sudah dekat sebelum aku dan Regan saling kenal. Rumah mereka juga tetanggaan. Selentingan-selentingan yang kudengar dulu, Fisca dan Regan pernah punya hubungan lebih dari sekadar sahabatan.

"Lain kali, ya." Aku pernah menyukai guru lesku sendiri ketika duduk di bangku SMP dan harus memupuskan harapan karena Kak Tama menikah, tapi baru dengan Regan aku merasa patah hati.

Suara pintu yang dibuka menyadarkanku dari lamunan. Matahari sore menyambut ruangan, menelusup masuk bersama Pilar yang baru saja kembali setelah hampir dua jam pergi. Di sebelahnya, berdiri Arsan.

Mereka berjalan menghampiri kami sementara aku otomatis mundur beberapa langkah. Tante Arin menghambur ke arah Arsan, memeluknya, begitu mereka tidak lagi berjarak. Kulihat tubuh Tante Arin berguncang dan isakan samar-samar terdengar. 

"Regan nggak punya banyak peluang," adu Tante Arin di antara isakannya. Arsan yang mencoba tetap tegar hanya menyahutinya dengan anggukan berat dan tangan yang terus-terusan mengusap punggung Tante Arin. 

Pilar berdiri di sebelahku. Tidak bicara, tapi tangannya merangkul lenganku. Lewat usapannya, aku tahu Pilar sedang menguatkanku. Sampai akhirnya, datang seorang dokter dan suster yang hendak mengecek keadaan Regan. 

Arsan enggan mendekat. Matanya yang merah berusaha tetap memandangi tubuh Regan dari jauh. Suara mesin pendeteksi yang tersambung dengan tubuh stagnan Regan tidak membuat suasana lebih baik meski jadi tanda Regan masih ada.

Aku mulai menggigiti kuku. Kakiku kurang tegas menopang tubuh karena jari-jariku bergerak resah. Ketika kulirik, bahu Arsan mulai melorot.

"Bangun, man!" bisikan Arsan terdengar goyang. Laki-laki yang mengidolakan rapper Wiz khalifah itu jauh dari identitasnya yang periang. Ingin sekali aku memberinya kekuatan, tapi aku sendiri tidak cukup mampu menata hati.

Ketika Tante Arin kembali memeluknya, Arsan memaksakan diri untuk bicara dengan jelas. "It will be okay, Mom," katanya meninggalkan kata 'yeah' yang selalu ia gunakan untuk menutup kalimat.

"Dokter muda tadi pagi salah kan, Dok? Regan pasti sembuh, kan?" Tante Arin akhirnya bicara. Ia melepas pelukannya dan berusaha mendekat pada dokter.

Hatiku sesak melihat tatapan penuh harap Tante Arin. Air mataku jatuh menetes. Perlahan kemudian menjadi deras.

Aku tidak mendengar yang Dokter katakan karena sibuk berdoa dalam hati. Aku hanya melihat samar-samar, tertutup genangan air di mata, Arsan berusaha menjauhkan Tante Arin dari bangsal. Tubuh gemuknya agak sulit ditarik meski akhirnya menurut juga. Lalu, dokter dan suster mulai bekerja lagi.

"Bangun, Re. Mimpi kamu belum ada setengah jalan. Kamu harus bertanggung jawab." Selesai berdoa, kalimat itu terucap begitu saja. Sangat pelan, sampai aku bisa memastikan hanya aku saja yang mendengar.

Si kurus di atas bangsal sana tetap kokoh pada gayanya dua minggu belakangan. Matanya tidak pura-pura menutup. Tangan yang biasanya lincah di atas kertas kini hanya berdiam di atas perut, ditempeli alat-alat medis, entah mau sampai kapan. Kakinya tidak kalah payah. Kalau bukan karena pernah bersama, aku tidak yakin ia adalah pencetak gol andalan sekolah.

Setelah dokter menjelaskan hasil pemeriksaan secara singkat pada Tante Arin, yang tidak membawa kabar berarti, aku mengambil langkah maju. Entah untuk apa. Beruntung, tidak ada yang mencegah. Hatiku semakin sesak karena aku tidak mengizinkan isakanku berbunyi. Kepalanku mengeras dan bergetar di sebelah kaki.

Kuharap ada kegaduhan dari dering jam weker di kamar atau ada seseorang menepuk bahuku atau apa saja agar aku segera terbangun. Bertemu Regan di kemudian hari mungkin pernah jadi hal paling kuinginkan, tapi dalam keadaan seperti ini, aku rasa lebih baik hanya ada dalam mimpiku saja.

Tiba-tiba, aku merasa mulai berhalusinasi, bisa melihat sesuatu yang kuyakin tidak nyata. Aku segera menarik napas dalam-dalam agar bisa stabil. Namun, penglihatanku tidak berubah. Gerakan itu pelan, sangat pelan dan nyaris samar. Aku mengambil satu langkah maju lagi dan, "Tunggu dokter!" seruku.

Kurasakan perhatian orang-orang beralih kepadaku. Dokter dan suster urung meninggalkan ruangan. Dengan terbata, aku bertanya, "Apa tangan Regan benar bergerak?"

Aku perlu kepastian, apakah aku benar-benar ingin berada di dunia mimpi saja atau bagaimana.

Nyatanya, setelah kerutan di dahi yang kulihat dari dokter, ada senyum yang mengembang di sana. Regan akhirnya bosan memejamkan mata.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Kupu-Kupu dalam Perut-BAB 2

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya