[NOVEL] Earthshine - BAB 3

Penulis : Suarcani

Pak Alvin masuk ke ruang dosen. Seakan tahu kalau aku akan datang, dia pun menunggu di mejanya dengan wajah datar. Aku berdiri di hadapannya, menyengir sambil garuk-garuk leher. Dia mengangkat alis, pura-pura heran.

Aku semakin salah tingkah, akhirnya berkata, "Maaf, Pak."

Pak Alvin menghela napas panjang. Mimik yang sedari dipasang datar berubah kecewa. Aku jadi tidak enak, akhirnya duduk di hadapannya sambil menunduk.

"Apa sih yang sedang kamu lamunkan, Lan?" tanyanya.

Aku menghindari matanya sambil menggumam. Pilihan yang salah, karena sekarang kancing kemeja teratasnya malah jadi fokusku. Spontan, bayangan tentang otot di balik pakaian itu menggoda untuk diolah.

"Bulan Dwi Gita!"

Aku tersentak, spontan menyahut, "Lagi mikirin cara mutusin pacar, Pak."

Dia mengernyit. "Kenapa kamu ingin putus sama Fajar?"

"Bosan."

"Makanya jangan pacaran kalau cepat bosan!"

Aku tertawa hambar. "Udah telanjur sih, Pak."

Pak Alvin berdecak. "Fokus dong, Lan. Kamu lagi di kelas. Tidak lama, tidak sampai satu per delapan puluh umurmu, abaikan sajalah dulu urusan pribadimu!"

Satu per delapan puluh dari umurku itu berapa sih?

"Maaf karena saya sudah mengusir kamu dari kelas. Tapi kalau saya tidak lakukan, teman-teman kamu akan menganggap saya pilih kasih. Mentang-mentang kamu pintar, seenaknya saja bisa melamun di kelas."

"Kalau saya memang pintar, harusnya saya yang duduk di kursi Bapak sekarang," sahutku manyun.

"Kamu tidak akan bisa duduk di kursi saya kalau kamu nggak punya attitude yang baik sebagai mahasiswa, Lan," sahutnya, membuatku semakin merana.

"Pak, tolong, Pak. Jangan diperpanjang lagi!" pintaku sambil menangkupkan tangan di dada. "Hukum saja saya, apa pun saya terima. Tapi jangan diomeli lagi. Please!"

Dia menggeleng. "Saya wajib menegur kalau kamu salah, Lan. Apalagi, saya tuh Pembimbing Akademik kamu, adalah tanggung jawab saya untuk memastikan kamu bisa melewati perkuliahan ini sampai kamu lulus."

Omongan Pak Alvin bikin aku menghela napas. Kadang, fakta tentang dia yang jadi dosen Pembimbing Akademik membuatku bangga. Aku bisa sering-sering nempel ke dia, nanya-nanya banyak hal dengan kedok bimbingan. Namun di lain pihak, kayak sekarang, dia jadi merasa bertanggung jawab lebih terhadap urusan akademikku. Parahnya, itu juga termasuk attitude-ku di kelas.

"Kamu ngerti kan maksud saya, Lan?" cecarnya karena sedari tadi aku diam saja.

Aku manggut-manggut.

"Selesaikan masalahmu dengan Fajar baik-baik, jangan sampai ganggu konsentrasi belajarmu!"

Kesalahpahaman yang tidak disengaja itu bikin aku nyengir. Agak-agak geli juga sih karena dia mikir alasan di balik lamunan itu adalah Fajar. Usilku pun kumat.

"Jadi ceritanya, PA itu sekarang kepanjangannya Penasihat Asmara ya, Pak? Bukan Pembimbing Akademik lagi?"

Tampak Pak Alvin mulai berubah, tetapi dia masih sabar. "Kamu itu, mau saja jitak?"

"Eh, memangnya hukuman fisik diperbolehkan dalam SOP bimbingan akademik?" tanyaku sambil pura-pura mengaduk-aduk ransel untuk mencari berkas bersangkutan.

"Tidak ada, tetapi itu lebih mending daripada saya mengirim kamu ke dosen konseling," jawab Pak Alvin.

Aku kembali tegak, memberi dia cengiran lebar.

"Atau tidak memvalidasi KRS kamu semester depan. Kamu pilih yang mana?"

"Damai, Pak. Peace. Saya berhenti bercanda deh kalau begitu," ujarku sambil mengacungkan telunjuk dan jari tengah.

Pak Alvin geleng-geleng. "Lan, Lan, saya benar-benar heran sama kamu. Kamu tuh pintar, tapi juga bandel. Kok ada ya otak yang kayak gitu?"

Ucapan itu terdengar seperti pujian di telingaku, aku pun jadi nyengir.

"Tapi tolong, kamu lihat situasi. Kalau sedang di kelas, mohon otak bebalmu itu sedikit dikurangi. Tidak hanya tadi, satu semester belakangan ini saya lihat kamu itu sering sekali melamun di kelas. Saya sampai tanya ke dosen-dosen lain lho tentang kamu. Tapi ternyata kamu baik-baik saja di kelas lain. Salah kalau saya mikir kamu itu sentimen sama saya?"

Aku menggeleng, sama sekali tidak enak karena membuat Pak Alvin mulai salah paham.

"Atau, mungkin kelas saya terasa membosankan? Penjelasan saya tidak mampu kamu mengerti?"

Gawat, kesalahpahaman Pak Alvin semakin membesar. Sekali ini aku benar-benar panik. "Nggak, Pak. Sumpah, saya nggak sentimen sama Bapak. Nggak ada masalah juga dengan cara mengajar Bapak. Masalahnya itu ada di saya, saya hanya kehilangan konsentrasi, itu saja. Bapak jangan salah sangka dulu. Saya hanya ...."

Mataku tiba-tiba hinggap di kancing sialan itu. Suaraku pun lanjut di kepala. Saya hanya penasaran dengan otot-otot di balik kemeja Bapak.

"Kamu hanya apa?"

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Aku menunduk, berusaha mengalihkan fokus dari kancing teratas kemejanya. Sial, nggak pernah aku sebegitu tertariknya dengan kancing baju. "Nggak apa-apa, Pak. Saya salah, saya kurang konsentrasi. Itu saja," sahutku.

Hening. Pak Alvin tidak mengatakan apa-apa. Diamnya itu bikin aku gelisah. Penasaran, aku pun mengintip.

"Pak, please. Saya ngaku salah. Jangan diperpanjang lagi!" Pintaku saat melihatnya termenung. Duh, apa iya melamun di kelas itu benar-benar kesalahan fatal hingga bikin dia serius kayak gitu?

Dia menghela napas. Ketegangan di wajahnya mulai mengendur. Sebagai gantinya, yang aku lihat sekarang malah ekspresi kecewa. Aku jadi nggak enak hati karenanya.

"Serius, Pak. Saya minta maaf. Saya kurang ajar di kelas Bapak, saya tidak memperhatikan kuliah Bapak, saya membuat Bapak tersinggung. Itu salah saya dan tolong jangan lagi diperpanjang, apalagi sampai tidak memvalidasi KRS saya. Sebagai gantinya, saya bersedia bantu Bapak untuk penelitian. Apa pun itu, nyebar kuesioner kek, input data, tukang fotokopi, saya kerjakan, ikhlas saya."

"Saya lebih suka kalau kamu lebih menghargai saya saat di kelas sih, Lan," jawabnya.

Ekspresi Pak Alvin barusan benar-benar seperti orang yang kecewa berat, bahkan hampir putus asa.

Aku kehabisan kata, sama sekali nggak tahu harus bicara apa.

Pak Alvin menghela napas panjang. Derit kursi terdengar saat tubuhnya tegak. Tatapannya lurus, bikin aku tegang setengah mati.

"Tapi sudahlah, tidak apa-apa. Kamu boleh keluar. Saya tidak akan memperpanjang urusan ini. Saya hanya berharap kamu mengerti alasan tindakan saya tadi," kata Pak Alvin sambil berusaha untuk tersenyum.

Giliran aku yang kecewa. Senyumnya palsu, aku tahu itu dan nggak rela kalau semuanya hanya diselesaikan dengan cara fake begitu. "Saya nggak akan keluar kalau Bapak nggak sungguh-sungguh maafin saya," sahutku kukuh.

"Saya sudah maafin kamu, Lan."

Aku menggeleng. "Nggak, Bapak belum maafin saya. Wajah Bapak nggak bisa bohong."

Kepala Pak Alvin miring, tatapannya lurus padaku. "Lalu, wajah yang bagaimana yang kamu anggap jujur?"

Rautnya datar, tetapi entah kenapa aku merasa disindir. "Nggak tahu, tapi saya tahu masih ada yang mengganjal di hati Bapak!" sahutku tegas.

Dia mengangkat bahu, lalu memindahkan buku ke sudut meja sebagai distraksi. "Tidak apa-apa, Lan. Kamu boleh pergi. Masih ada kuliah kan hari ini?"

Aku diam, perasaanku belum tenang. Masih ada yang mengganjal di hati. Entahlah apa, yang jelas, dosenku ini sepertinya merahasiakan sesuatu.

"Kamu melamun lagi?" tegur Pak Alvin.

Aku menggeleng. "Nggak, Pak. Saya lagi mikir apa kesalahan saya sebegitu berat hingga bikin Bapak marah begini ke saya?"

Giliran raut Pak Alvin yang berubah. Barangkali dia juga merasa bersalah karena bikin aku tidak nyaman begini. "Saya tidak marah sama kamu, sama sekali tidak marah. Saya hanya sedikit kecewa. Kamu biasanya paling aktif di kelas, semangat kamu berpengaruh ke yang lain dan bikin kelas jadi lebih atraktif. Sekarang kamu pun lain-lain, saya jadi mikir, ini karena cara ngajar saya membosankan atau bagaimana."

Pengakuan itu bikin cengiranku seketika melebar. Ya ampun, Pak Alvin ini ternyata orangnya sensitif. Aku nggak bisa nahan rasa geli sekaligus iba. "Nggak, Pak. Sumpah, sayanya yang emang sedang tidak konsentrasi."

Dia tampak masih kurang percaya, tetapi cukup bijak untuk tidak mendesak. Dia hanya tersenyum kecil dan mengangguk. Syukur, karena kalau dia masih saja ragu, aku nggak tahu harus meyakinkannya dengan cara gimana lagi.

"So, urusan bantu-bantu penelitian itu gimana? Jadi?" tanyaku penuh harap.

Pak Alvin menggeleng, "Tidak usah, Lan, nanti kuliah kamu yang lain terganggu."

Aku kecewa. Padahal aku mengharap banget bisa dapat kerjaan dari dia. Yah, modus sih sebenarnya, cuma kapan lagi bisa kerja sambil flirting sama dosen idola sekampus?

"Emangnya Bapak pernah lihat kalau kuliah saya terganggu karena sesuatu?" tanyaku. Sudah jadi pengetahuan umum kalau grafik IPku selalu naik, IPK tertinggi di antara satu angkatan. Tidak pernah bermasalah dengan hal akademis, aku juga pernah juara saat mewakili kampus untuk lomba-lomba akuntansi. So, nggak salah kan kalau aku sedikit sombong?

Kepercayaan diriku membuat Pak Alvin geleng-geleng. Ketegangan mulai mengendur. "Iya, saya tahu kemampuan kamu kok," sahutnya dengan raut kalah.

"So, gimana? Saya boleh ikut bantu?" Senyumku melebar, mengharap. "Sekalian saya belajar, hitung-hitung latihan skripsi nanti."

Alasanku yang terakhir tampaknya mengena, karena keraguan di wajah Pak Alvin sirna. Sebaliknya, berganti dengan semangat.

"Hmm... betul juga sih, tapi..." dia menimbang. "Bagaimana kalau nanti kamu saya kasih honor aja?"

Zaman sekarang, siapa sih yang nolak duit? Aku butuh, jadi nggak perlu sok jadi relawan. "Boleh-boleh."

"Oke, tunggu saja kabar dari saya!"

Aku mengacungkan jempol, lalu pamitan. Sebelum pergi, mataku sempat-sempatnya flirting lagi ke kancing teratas kemejanya dan....

Please, Lan, setop. Kamu nggak kapok-kapok apa tadi diusir dari kelas gara-gara mikirin kancing baju?

*

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook : Storial
Instagram : storialco
Twitter : StorialCo
Youtube : Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Earthshine - BAB 2

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya