[NOVEL] Juragan-BAB 4

Penulis: Heri Widianto

Bab 4 : Pitakon

 

Begitu kegiatan mengisap rokok kelobot selesai, Cokro kembali ke dalam rumah melalui lorong memanjang dengan penerangan remang berasal dari celah-celah kecil pada gebyok. Cokro berjalan pelan, sembari sedikit membungkuk dan menunduk, saat akan melalui lukisan terbesar yang dipajangnya di sepanjang dinding selasar, setelah melalui satu sentong yang sengaja dikosongkan. Langkah kaki Cokro akhirnya terhenti, saat memandangi lukisan perempuan cantik dengan kebaya hijau, kereta kencana yang terlihat samar dengan kuda yang terlihat gagah, sementara selendang dan rambutnya seperti diterpa angin. Lukisan tersebut seperti sedang mengawasinya. Atau, mengawasi seluruh penghuni rumah gebyok miliknya, saat melintas.

Belum juga ketenangan merambati hati, suara derit dari dalam kamar kosong terdengar oleh Cokro. Meski pelan, dia tahu ada yang sedang berulah di dalam sana dan dengan sangat hati-hati, Cokro mendekatkan telinganya. Mempertajam pendengarannya. Lalu, secara perlahan-lahan membungkuk dan mengintip dari lubang kunci yang menganga.

Cokro hampir saja berteriak dan menampik tepukan di pundaknya, sewaktu berkedip dan bola matanya mengintip, memeriksa keadaan kamar kosong yang tak boleh sembarangan dibuka, kecuali di hari-hari tertentu atau saat melakukan ritual cok bakal [1].

Jantung Cokro masih berdetak tak keruan, begitu mengetahui sosok yang berdiri di belakangnya dan menautkan alisnya. "Kalau Bapak tiba-tiba mati berdiri bagaimana?"

"Maaf, Pak," balas Danu, merasa bersalah karena memilih tak memanggil dari jauh saat Cokro akan mengintip, daripada menepuk pundaknya. "Dicari sama Mbok Minah. Orangnya mau tanya, Bapak nanti jadi ke Bude Sulastri apa nggak? Terus, kata Mbok Minah lagi, sekalian suruh tanya langsung ke Bapak, soalnya Mbok Minah lagi sibuk di dapur siapkan sarapan buat di ladang. Kata Mbok Minah, Bapak ada di belakang sendirian, makanya saya tadi langsung ke sini, terus lihat Bapak ngintip. Memangnya ada apa di dalam, Pak?"

Danu hampir saja ikut melongok dan mengintip dari lubang pintu, kalau saja Cokro tak menahan lajunya.

"Apa sudah selesai urusanmu di balai?" tanya Cokro, menggiring Danu agar menjauhi kamar kosong.

"Sudah, Pak."

Kelegaan terlihat jelas di wajah keduanya. Cokro tak perlu lagi menjelaskan kegiatan mengintip kepada Danu, sementara Danu lega karena Cokro tak lagi membahas pertengkaran mereka sebelumnya. Malahan, menanyakannya.

Perasaan tersebut mampu menenangkan hati Danu sebentar, ketika dia mengekor Cokro ke arah dapur. Danu merasakan adanya kejanggalan di kamar kosong yang pernah dimasukinya dulu, hanya sekali, sewaktu dia kecil dan memori menakutkan tersebut masih berkelindan di dalam kepalanya, lalu memerintahkan kepadanya untuk tidak lagi masuk, apalagi saat bayangan hitam legam mampu menenggelamkan kesadarannya. Tetapi, perasaan takut dan juga rasa ingin tahu masih sama besar dan sama kuatnya, apalagi saat berjalan menjauh bersama Cokro. Derit halus sesuatu dari dalam kamar terdengar jelas oleh Danu dan berhasil membetot rasa penasarannya sampai ke ubun-ubun, ketika nyala merah dari lubang kunci terlihat olehnya sekilas. Lalu, menghilang.

#

Di dapur, Minah telah selesai menyiapkan makanan dalam satu tas pandan yang sudah dibungkus secara terpisah dalam daun pisang yang sudah dijemur terlebih dulu di bawah terik matahari agar tidak robek saat ditusuk dengan lidi. Selanjutnya, tugas untuk mengantar ke ladang tembakau menjadi tanggung jawab Danu atau Cokro, setelah memeriksa berapa buruh yang datang setiap harinya. Danu tahu, dia sedikit telat hari ini. Seharusnya, pukul tujuh lebih lima belas menit dia sudah tiba di rumah, tetapi karena ada pertanyaan dari anak-anak asuhannya, makanya Danu berusaha secepat mungkin mengayuh sepeda pancalnya agar sampai rumah secepatnya.

"Sekalian antar Bapak ke Sulastri, ya," kata Cokro dari dalam rumah, setelah berganti dengan pakaian yang lebih layak untuk bertamu ke rumah orang, meski warnanya tetap sama. Hitam dengan garis-garis cokelat dan celana kain longgar.

"Iya, Pak. Saya ikut ke Bude Sulastri juga?"

"Iya, kalau kamu nggak repot, Dan."

Danu menggeleng.

Senyuman Minah dan Danu terasa kompak, begitu Cokro melangkahkan kakinya keluar menuju halaman depan rumah dan menunggu Danu di sebelah sepeda pancalnya yang juga masih terparkir di situ.

Begitu Cokro melihat Danu kewalahan membawa satu tas pandan berisi sarapan untuk buruhnya di ladang, Cokro dengan hati-hati menawarkan bantuan kepada Danu untuk membawakan air putih yang ada dalam jeriken, bukannya kendi seperti biasa, karena Minah yakin beban Danu untuk membonceng Cokro sudah lebih dari cukup untuk mengetes keseimbangannya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Saat Cokro dan Danu telah raib dari pandangan, Wakidi yang bertugas menjadi tukang kebun dan juga tukang memperbaiki perkakas, mendekati Minah yang masih tersenyum lebar.

Mendadak, ada kerisauan di wajah Minah, begitu Wakidi berjalan secara tergesa-gesa dan berniat berbisik kepadanya.

"Opo?"

#

Sepanjang perjalanan, suara kayuhan sepeda pancal milik Danu terdengar berirama, menemani Cokro dan Danu yang sedang berusaha untuk menenangkan pikiran masing-masing. Mengenai dilema dan juga tanggung jawab. Mereka baru berbicara kembali, saat Danu selesai membagikan sarapan kepada buruh tani dan menunggu di satu tempat cukup teduh, dipayungi pohon jamblang di kiri dan kanan jalan.

"Panenan kita pasti bagus, ya, Dan," Cokro seperti sedang memandang ke kejauhan. "Bapak ingat waktu kecil dulu, Bapak suka sekali lihat sawah yang hijau. Persis begini. Kalau saja Yung [2] dan Pak masih ada, pasti mereka senang lihat ini juga."

"Mbah Lanang [3] sama Mbah Wedok [4], Pak?" tanya Danu sekelebat, tanpa memandang ke arah Cokro.

Cokro mengangguk pelan.

Danu sempat menengok dan memperhatikan raut wajah Cokro yang terlihat sedang bersedih.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah kehidupannya yang sudah berumur delapan belas tahun, cerita mengenai Cokro yang mengagumi almarhum ibu dan bapaknya dan hanya dikenal Danu dari cerita-cerita sekilas Minah, tak sebanding dengan cerita mengenai mengelola tembakau yang digeluti Cokro selama puluhan tahun dan setiap hari tak pernah absen menguliahinya dengan berbagai macam pengetahuan, mulai dari pembibitan sampai panen, atau ajakan berkunjung ke punden yang ada di satu undakan tepat di bawah pohon kepuh yang ada di kaki gunung Wilis, tetapi Cokro tak pernah menyenggol masa kecilnya, apalagi tempat Kakek-Neneknya dulu tinggal. Danu tak banyak mengetahui sejarah mengenai Bapaknya sendiri, selain dia terlahir di dusun kecil di daerah Nganjuk dan dibesarkan oleh orangtuanya yang bekerja sebagai buruh tani. Makanya, Danu langsung menajamkan pendengarannya, saat Cokro mulai menebar sejarah masa lalunya sendiri, tanpa diminta.

"Mbahmu dulu selalu bilang ke Bapak, kalau nanti sudah punya sawah sendiri, tandur [5] itu diibaratkan sama dengan punya anak. Harus disayang, tapi juga kadang harus dikerasi. Biar menghasilkan sesuatu yang baik ke depannya. Sama seperti hidup, semuanya juga butuh usaha buat jadi yang terbaik, Dan."

"Lanjutan ceritanya yang tadi apa, Pak?" tanya Danu dengan mata berbinar, saat ditempa cahaya matahari pagi.

Penyesalan jelas terlihat di wajah Danu, begitu sadar tak ada balasan dari Cokro. Dia hanya melanjutkan memandang jauh ke ladang tembakaunya yang sebentar lagi siap panen.

Saat Danu akan memancing kembali agar Cokro mau bercerita, Mulyono tengah mendekat dan berhasil mengajak mengobrol Cokro lebih dulu. Detik berikutnya, mereka bergegas menuju ke tengah ladang dan Cokro memerintahkan kepada Danu untuk tetap duduk di tempatnya, sembari menunggu sarapan selesai dan segera pergi ke rumah Sulastri yang terbilang cukup jauh letaknya karena mereka harus menyeberang getek [6] untuk sampai ke kampung sebelah atau memilih mengayuh sepeda pancal sampai satu jam lamanya dengan memutari sungai.

"Kapan-kapan, Bapak ceritakan semuanya sama kamu, Dan. Masa kecil Bapak yang juga menyenangkan, sampai Bapak ...," Cokro memotong sendiri kalimatnya, sebelum akhirnya pergi bersama Mulyono.

 

[1] sesaji
[2] ibu
[3] kakek
[4] nenek
[5] menanam
[6] rakit

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Juragan-PROLOG

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya