[NOVEL] Just You and Me-BAB 5

Penulis: Titi Sanaria

Lima

 

FERDYAN

Arif, salah seorang staf marketing yang ikut meeting bersama gue di kantor klien mengalami kecelakaan dan dibawa ke klinik terdekat. Kami memang nggak kembali ke kantor bersama-sama karena dia membawa kendaraan sendiri. Gue juga nggak langsung balik ke kantor karena mampir untuk makan siang di mal. Telepon dari Arif membuat gue meninggalkan makanan yang baru saja gue pesan. Dia memang bilang sudah ada anggota keluarga yang datang menjemputnya, tetapi gue memutuskan ikut mampir. Bagaimanapun, dia staf gue. Gue toh akan melewati klinik itu juga saat kembali ke kantor. 

Gue baru sampai di tempat parkir klinik ketika melihat seorang perempuan dikerubuti empat orang lelaki kekar. Sama sekali bukan perbandingan seimbang. Gue paling benci laki-laki yang menggunakan otot untuk mengintimidasi perempuan. Laki-laki bermental banci. Apa sih yang ada dalam pikiran mereka? Kalau mau sok jago atau merasa beneran jago, mereka bisa ikut pertandingan tinju, gulat, atau sekalian MMA. Legal, dan lawannya sepadan.

Gue mendekat ke arah orang-orang yang mengepung perempuan itu. Tunggu dulu, sepertinya gue kenal perempuan yang tampak ketakutan itu. Tidak salah lagi. Dia perempuan yang sama dengan yang tadi bertemu gue di hotel. Dia bahkan masih memakai pakaian yang sama. Gue bisa melihatnya meskipun ditutupi oleh jas putih. Astaga, apakah dia melakukan pekerjaannya di sini, siang hari kayak gini? Dan, orang macam apa yang memesan penari striptease di klinik? Memakai jas dokter lagi! Dunia pasti sudah semakin tua dan gila.

Sebenarnya gue nggak mau mencampuri urusan orang lain tapi gue tahu kalau para debt collector itu nggak akan melepaskan perempuan itu tanpa membayar utang. Gue juga tahu kalau memberi uang sebanyak dua ratus juta kepada orang asing sangat nggak masuk akal, --bahkan untuk ukuran gue-- tapi ekspresi ketakutan perempuan itu  memang nggak memberi gue banyak pilihan dalam waktu singkat. Entah mengapa gue ikut lega saat melihatnya menarik napas panjang setelah para lelaki sangar itu pergi.

Gue meninggalkan perempuan yang terduduk dengan posisi jongkok itu dan masuk dalam klinik, menemui Arif. Seperti katanya di telepon, lukanya memang nggak terlalu parah. Ketika keluar lagi, gue melihat perempuan itu masih berada dalam posisi sama. Dia mengangkat kepala ketika kami mendekat, menuju mobil keluarga Arif yang diparkir di dekat situ.

"Terima kasih, Dok," Arif mengangguk dan tersenyum pada perempuan yang juga lantas menarik sudut bibirnya membalas itu.

Gue hampir tertawa. Kepala Arif ini pasti terbentur cukup parah sehingga dia nggak bisa membedakan antara dokter sungguhan dan dokter gadungan.

Gue kembali ke dekat perempuan itu setelah mobil yang membawa Arif dan keluarganya sudah menjauh. Sebenarnya gue nggak harus menegurnya lagi, tetapi gue merasa harus tetap melakukannya.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya gue. Posisinya jelas nggak nyaman. Kakinya pasti kram setelah menekuk sekian lama.

 "Saya baik-baik saja." Dia berdiri. Seperti dugaan gue, dia pasti kram karena segera meringis dan berjingkat-jingkat. "Saya akan membayar utang saya ke kamu."

"Nggak perlu." Seperti dia sanggup saja. "Anggap saja saya tadi beramal."

"Kalau mau beramal, kamu harus melakukannya di panti asuhan." Dia menatap gue tajam. "Saya bilang kalau saya akan membayarmu. Tidak dalam waktu dekat ini tapi saya tetap akan membayar utang saya."

Gue bersedekap. Untuk ukuran penari striptease, dia cukup percaya diri bisa membayar utang dua ratus juta. Kenapa nggak mengucapkan terima kasih saja supaya urusannya langsung beres? "Memangnya berapa penghasilan kamu menari di tempat seperti ini dengan kostum kayak gitu?" Gue tahu jika itu terdengar kasar. Tetapi dia juga nggak terlihat sopan untuk ukuran seorang yang baru saja dikasih uang dua ratus juta untuk membayar utang. Seperti gue bilang tadi, seharusnya dia berterima kasih, bukannya malah ribut soal bayar-membayar.

Perempuan itu menatap jas putihnya lalu mendesah. Pandangannya sudah dialihkan ke jalan raya. "Saya akan tetap membayarmu. Kasih saja nomor rekeningmu dan pergi dari sini!"

Kali ini gue nggak bisa menahan senyum sinis. "Bagaimana caranya? Dengan mencari pinjaman pada rentenir lain?"

"Apa pun caranya nggak penting untuk kamu, kan?" Dia menjawab tanpa menatap gue. "Saya nggak suka punya utang."

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Itu kedengarannya menggelikan diucapkan seseorang yang baru saja dikejar-kejar penagih utang. "Apa yang kamu lakukan dengan orang-orang tadi kalau kamu memang nggak suka punya utang?"

Perempuan itu terdiam. Ucapan gue jelas terdengar masuk akal di telinganya. Dia lantas mendesah lagi.

"Lupakan soal utang itu." Gue beranjak menuju mobil gue. "Cukup jangan bikin utang yang baru lagi. Kamu beruntung bertemu saya hari ini. Dan nggak setiap hari juga saya sinting kayak gini dan membayar utang orang asing."

Perempuan itu bergerak cepat. Tangannya merentang di depan gue. "Nomor rekening kamu. Saya pasti bayar!"

Gue akan terlambat sampai di kantor kalau melayani perempuan ini. Gue kemudian membuka ponsel untuk mencari nomor rekening gue dan menuliskannya pada secarik kertas yang gue temukan di mobil. "Kamu beneran nggak perlu membayarnya." Gue mengulang kata-kata itu ketika menyerahkan kertas itu padanya.

"Saya mungkin harus mencicil, tapi tetap akan membayarnya." Dan dia berbalik meninggalkan gue begitu saja.

Gue baru tersadar jika perempuan itu pergi tanpa mengucapkan terima kasih. Bukan berarti gue ingin mendengar ucapan terima kasihnya sih. Hanya saja, dalam keadaan normal, seseorang harus mengucapkan terima kasih pada orang yang menolongnya, kan? Dasar orang aneh! Gue menggelengkan kepala dan buru-buru masuk ke mobil.

Gue rasa bukan dia saja yang aneh. Gue juga nggak kalah gilanya karena sudah menghamburkan uang sebanyak itu untuk orang asing. Tindakan impulsif yang mungkin nggak ada gunanya. Mungkin saja terbebas dari utang yang sekarang malah membuat perempuan itu merasa bebas untuk membuat utang baru. Tapi sudahlah, itu bukan urusan gue. Toh gue nggak akan bertemu dengan dia lagi.

***

KEYRA

UTANG Yanti sudah lunas. Itu berarti aku sudah bisa pulang ke kontrakan. Aku perlu mandi dan mengganti pakaianku yang lengket.

Dalam perjalanan pulang aku teringat laki-laki sombong yang memberi pinjaman uang tadi. Menyebalkan. Mentang-mentang kaya, dia pikir dapat menilai orang seenaknya seperti itu.

Aku tidak mencoba meluruskan anggapannya tentang pekerjaanku. Toh aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Aku hanya perlu mentransfer ke nomor rekening yang diberikannya untuk mencicil utang Yanti.

Dompet yang kusimpan dalam tas yang kulempar saja di atas tempat tidur sepulang kerja--dan syukurnya malah jatuh ke kolong sehingga tidak ditemukan debt collector-- kutemukan utuh. Syukurlah. Aku tidak perlu pusing memikirkan biaya makan dan transportasi lagi. Hanya ponselku yang raib. Pasti diambil para penagih utang itu.

Aku tidak bisa menghubungi Yanti. Seandainya saja dia pulang, kami pasti sudah bisa tertawa lega. Tidak perlu khawatir lagi setiap mendengar ketukan di pintu depan.

Aku membeli nasi goreng di depan gang setelah mandi. Setelah itu langsung masuk dalam selimut. Rumah tampak berantakan diobrak-abrik, tetapi aku tidak punya sisa tenaga untuk merapikannya. Nanti saja. Sekarang aku hanya butuh tidur yang lama dan nyenyak.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Just You and Me-BAB 1

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya