[NOVEL] Pasar Setan Gunung Arjuno - BAB 3

Penulis: Ari Keling

Kereta Jayabaya terus melaju membelah pekatnya malam dan sesekali berhenti di beberapa stasiun untuk menaikturunkan penumpang. Kereta yang berangkat dari Stasiun Pasar Senen pukul 13.00 dan dijadwalkan tiba di Stasiun Gubeng pukul 00.35 WIB ini terasa lebih nyaman meski di gerbong kelas ekonomi. Itu yang Badri, Jaya, dan Rafli rasakan jika dibandingkan dengan Kereta Gaya Baru Malam Selatan. Salah satunya, di Kereta Jayabaya jarak kursi yang berhadapan lebih luas dibanding Kereta Gaya Baru Malam Selatan. Satu kursi Jayabaya untuk dua orang. Jadi empat orang duduk berhadapan dengan seat 2-2. Sementara Kereta Gaya Baru Malam Selatan satu kursi diisi tiga orang, sehingga enam orang duduk berhadapan dengan seat 3-3. Selain itu, waktu tempuh Kereta Jayabaya lebih cepat sekitar 4 jam dibanding Kereta Gaya Baru Malam Selatan. Itu perbedaan yang paling terasa. Memang bisa dimaklumi. Meski sama-sama di gerbong ekonomi, harga tiket Kereta Jayabaya lebih mahal dibanding gerbong ekonomi Kereta Gaya Baru Malam Selatan.

Belum lama ini Rafli selesai salat isya. Dia berwudu di toilet, lalu melaksanakan salat di kursi. Setelah itu dia, Badri, dan Jaya makan malam dengan makanan yang dibelinya pada petugas kereta yang menawarkan makanan menggunakan troli dari gerbong ke gerbong. Sekarang ketiganya sedang bercakap-cakap ringan sambil menikmati kopi panas.

Karena mendengar percakapan Rafli, Jaya, dan Badri soal pendakian, perempuan paruh baya yang duduk di sebelah Jaya menyapa mereka.

"Mas, kalian mau mendaki, ya?"

"Iya, Bu," sahut Jaya.

"Maaf ya, Bu, kalo kami ganggu. Mungkin Ibu mau tidur malah keberisikan." Rafli tersenyum sambil mengangguk pelan.

"Oh ... ndak. Wong dari tadi saya sudah tidur kok. Kebanyakan tidur malah capek, toh," timpal perempuan itu disudahi dengan tertawa pelan.

"Ibu turun di mana?" kali ini Badri bertanya.

"Saya di Gubeng, Mas," jawab perempuan itu. "Sampean?" dia balik bertanya.

"Sama, Bu," jawab Badri.

"Mau mendaki gunung mana, toh?"

"Gunung Arjuno, Bu," kali ini Jaya yang menjawab.

"Ohh ... Arjuno." Perempuan itu mengangguk-angguk pelan. "Kenapa ndak ke Malang saja? Bukannya lebih dekat dari sana?"

"Kami jemput teman dulu, Bu, di Surabaya," jawab Badri disudahi dengan senyuman.

"Ohh ... begitu." Perempuan itu mengangguk paham. "Sudah tahu belum mitos-mitosnya?" tanyanya kemudian.

"Sudah tahu beberapa, Bu," jawab Jaya.

"Dulu Bapak saya pernah cerita. Nah, cerita bapak saya ini dari cerita bapaknya gitu, Mas. Ya ... bisa dibilang cerita turun-temurun." Perempuan itu berhenti sejenak.

Sementara itu, Badri, Jaya, dan Rafli jadi antusias ingin mendengar penuturan perempuan tersebut. Pasalnya, mungkin ada mitos atau kisah-kisah tentang Gunung Arjuno yang belum mereka tahu.

"Konon ya, di Gunung Arjuno itu ada bekas peninggalan Kerajaan Majapahit dan Singosari, Mas. Kalau sampean lihat peninggalan-peninggalan semacam arca, patung, candi, bangunan-bangunan, atau bahkan hanya sebuah batu, sebaiknya jangan diapa-apakan," tutur perempuan itu.

"Maksudnya jangan disentuh gitu ya, Bu?"

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Kalau hanya disentuh mungkin boleh, Mas," kata perempuan itu menjawab pertanyaan Jaya. "Yang ndak boleh itu kalau dirusak atau ada bagian-bagian peninggalan yang sampean bawa pulang. Itu sebaiknya jangan," lanjutnya menjelaskan.

"Iya, Bu." Jaya manggut-manggut. Sementara Badri dan Rafli tetap diam mendengar dengan saksama.

"Seingat saya, peninggalan petilasan juga banyak. Tapi saya ndak ingat semuanya. Yang saya masih ingat itu Petilasan Eyang Abiyasa atau Abiyoso, Petilasan Eyang Sakri, dan Petilasan Eyang Semar. Tapi ... letaknya saya ndak tahu di mana." Perempuan itu terkekeh.

"Menarik, Bu." Jaya ikut tertawa kecil.

"Selain itu ada lagi gak, Bu?" kali ini Rafli bertanya. Rupanya mendengar Petilasan Eyang Semar membuatnya semakin penasaran. Apalagi Eyang Semar adalah salah satu tokoh pewayangan, dan dia ingat dengan salah satu mimpinya yang didatangi makhluk besar seperti tokoh pewayangan.

"Ada, Mas," sahut perempuan itu. "Waktu saya masih kecil, bapak saya juga pernah cerita ini. Jadi, dulu tuh ya. Konon loh ini. Arjuna yang tokoh pewayangan itu bertapa. Nah, tempat pertapaannya di gunung di Jawa Timur, Mas. Saat bertapa itu Arjuna dapat kekuatan yang sangat besar, terus tubuh Arjuna mengeluarkan cahaya. Saking besarnya kekuatan Arjuna, bumi sampai berguncang. Kalau sekarang disebut gempa gitu, Mas. Sampai-sampai di siang bolong ada petir menggelegar. Lalu lahar ke luar dari Kawah Candradimuka. Kemudian hujan turun deras sekali sampai tanah Jawa ini banjir, Mas. Ndak kebayangan, toh, waktu itu seperti apa kejadiannya. Pasti seram sekali. Bahkan, gunung tempat tertapaan Arjuna sampai naik ke langit." Perempuan itu diam sejenak dengan kepala menggeleng-geleng pelan.

"Terus, Bu?" kejar Jaya yang semakin ingin tahu.

"Kabar kacaunya bumi sampai ke kayangan. Lantas para dewa mengutus salah satu dari mereka ke bumi karena khawatir dunia semakin kacau gitu, Mas. Turunlah Batara Ismaya atau yang lebih kita kenal itu namanya Eyang Semar. Dengan kesaktiannya, Eyang Semar membangunkan Arjuna dari pertapaan, lalu memotong gunung tempat pertapaan Arjuna itu. Eyang Semar menasihati Arjuna agar ndak meneruskan pertapaan. Setelah itu dunia atau bumi ini kembali tenteram, Mas. Makanya sekarang gunung tempat pertapaan Arjuna itu dikenal atau disebut dengan nama Gunung Arjuna atau Gunung Arjuno," tutur perempuan itu.

"Saya pernah dengar kisah ini, Bu, tapi gak sedetail yang tadi Ibu ceritakan," ungkap Jaya.

"Oh iya, katanya ... bekas potongan puncak gunung yang dipotong sama Eyang Semar itu sekarang disebut Gunung Wukir," tambah perempuan itu menuntaskan ceritanya.

"Saya baru dengar tuh Gunung Wukir," kata Badri.

"Benar ndaknya kisah itu saya ndak tahu ya, Mas. Tapi itu kisah turun-temurun diceritakan. Kalau orang tua atau orang dulu, sih, banyak yang percaya. Kalau seperti sampean mungkin ndak." Perempuan itu terkekeh geli sampai tubuhnya berguncang-guncang.

"Percaya, Bu," sahut Jaya yang kemudian ikut terkekeh.

"Gunung Arjuno itu sakral, Mas," kata perempuan itu lagi. "Tempat keramat gitulah. Jadi sampean jangan lupa berdoa sebelum mendaki. Jangan bicara sembarang. Harus sopan, dan ikuti peraturan daerah setempat, Mas. Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung," sambungnya memberi pesan.

"Iya, Bu, makasih," sahut Jaya. Sedangkan Badri hanya mengangguk paham sambil tersenyum.

Sementara itu, Rafli yang sejak tadi menyimak cerita perempuan tersebut membuat perasaannya kembali tidak enak. Dia teringat dengan mimpinya yang didatangi makhluk besar pewayangan. Dia heran, kenapa semua mimpi-mimpi itu masih teringat jelas dalam benaknya? Kenapa mimpi-mimpi buruk yang biasanya masuk ke ingatan jangka pendek, tapi kini malah masuk ke ingatan jangka panjang?

Jangan-jangan tokoh pewayangan itu adalah Arjuna atau Eyang Semar yang memperingatkanku agar gak mendaki Gunung Arjuno? Rafli membatin dengan perasaan yang sungguh khawatir.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
Youtube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Pasar Setan Gunung Arjuno - BAB 4

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya