[NOVEL] Pasar Setan Gunung Arjuno - BAB 4

Penulis: Ari Keling

Rafli dan Jaya menghampiri Badri yang duduk di bangku yang terletak tak jauh dari musala. Keduanya melihat Badri sedang berbicara dengan seseorang melalui ponsel. Sementara itu, para penumpang kereta yang satu jurusan dengan mereka berangsur-angsur ke luar dari area stasiun. Ada yang yang menuju pintu atau Stasiun Gubeng Lama, dan ada pula yang menyeberangi rel menuju pintu atau Stasiun Gubeng Baru.

"Kita keluar ke Gubeng Lama atau Gubeng Baru, nih?" tanya Jaka setelah berada di dekat Badri yang baru saja mengakhiri pembicaraan.

"Gubeng Lama," jawab Badri seraya berdiri.

"Si Arul udah nyampe, belum?"

"Belum, Jay," jawab Badri sambil menaruh kembali ponselnya ke dalam tas kecil yang berada di pinggangnya.

"Lah, kirain dia udah nungguin kita."

"Gue pikir juga gitu, Jay," sahut Badri cepat. "Tadi dia nelepon gue, katanya masih di jalan. Mungkin sekitar satu jam lagi baru nyampe. Lagian biarlah santai aja. Kita juga, 'kan, yang minta bantuan dia buat beliin logistik," sambungnya menjelaskan.

"Terus kita mau nunggu di mana?"

"Di luar aja, yuk, sambil makan. Gue laper, nih." Badri mengelus perutnya.

"Ayo deh." Jaya meraih tas ranselnya diikuti oleh Rafli. Tas yang biasa para pendaki sebut 'tas keril atau carrier' itu memiliki kapasitas 70-80 liter. Sama seperti milik Rafli dan Badri.

Lantas ketiganya melangkah ke luar area stasiun. Mereka berbelok ke kiri menyusuri trotoar dengan keramik berwarna oranye. Pagar yang terbuat dari besi sebagai pembatas jalan raya dengan trotoar juga berwarna sama. Sementara di sisi lebih ke kiri dekat bangunan stasiun yang bercat putih, ada barisan pohon dan bangku-bangku.

"Kita makan di situ aja, yuk," ajak Badri sambil menunjuk sebuah warung makan bertuliskan WARUNG SEDERHANA.

Jaya dan Rafli menyetujui ajakan Badri.

Warung itu masih cukup ramai untuk ukuran di waktu tengah malam. Didominasi anak muda. Lantainya dari keramik putih polos. Tembok atasnya dicat hijau muda, sementara di bawahnya dilapisi keramik putih seperti di lantai. Meja dan bangku yang terbuat dari kayu tertata rapi.

Mereka bertiga memesan nasi rawon, soto ayam, nasi goreng, teh manis hangat, dan kopi hitam. Sambil menunggu kedatangan Arul, mereka menikmati hidangan itu dengan sesekali bercakap-cakap hal ringan.

Sekitar jam setengah dua dini hari akhirnya Arul tiba di warung itu. Lelaki berusia 27 tahun dengan tubuh kurus itu langsung menghampiri Badri. "Maaf ya, aku telat," katanya dengan perasaan tak enak hati.

"Gak apa-apa, Rul. Santai aja. Lagian kami bisa istirahat dan makan dulu," sahut Badri, lalu dia mengenalkan Arul pada Jaya dan Rafli.

"Oh ya, tadi aku sudah beli air dua puluh botol ukuran satu setengah liter. Jadi kalian gak perlu beli air lagi. Logistik lainnya juga sudah ada di mobil," tutur Arul. Lelaki berkulit sawo matang ini duduk di sebelah Badri. Dia mengucir rambut lurus panjangnya menggunakan karet gelang.

"Makasih ya." Badri tersenyum.

"Iya, santai sajalah." Arul terkekeh.

Badri menyodorkan sejumlah uang kepada Arul untuk mengganti biaya belanja perbekalan.

"Lu ngopi dulu aja kali, Bro. Gak jauh banget, 'kan, jarak dari sini ke Cangar?" Jaya menyulut sebatang rokok.

"Iya, rehat dulu aja, Mas," kata Rafli menambahkan.

"Mungkin makan waktu dua jam," jelas Arul, lalu dia memesan kopi hitam.

"Berarti kita gak terlalu terburu-buru ya, Mas?"

"Enggak, Mas Raf. Nanti di mobil kalian bisa tidur lagi. Seperti yang sudah aku ceritakan sama Badri, kita bisa banget mendaki sesuai rencana. Enaknya, sih, sampai di pos pendaftarannya pas sudah terang gitu, Mas. Jadi sekalian jalan. Soalnya, jarak pos dengan titik pendakian itu lumayan jauh." Arul menyulut sebatang rokok keretek.

"Mas Arul atur ajalah gimana baiknya," sahut Jaya setelah mengembuskan asap rokok.

"Iya, kami percaya sama Mas Arul yang udah pernah mendaki Arjuno lewat Jalur Cangar."

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Siap, Mas Rafli." Arul tersenyum.

Setelah itu Arul mengajak Pak Margo untuk makan. Dia juga mengenalkan sopir itu kepada Badri, Jaya, dan Rafli. Mereka bercakap-cakap seputar pendakian dengan sesekali terselip canda tawa. Resah yang sejak tadi dirasakan Rafli berangsur-angsur menghilang karena obrolan yang menyenangkan itu. Arul tampak cakap dalam bercerita tentang pengalaman pendakiannya, sehingga Rafli, Badri, dan Jaya merasa menemukan orang yang tepat untuk mengantar mereka dalam pendakian kali ini.

Sampai kemudian waktu menjelang jam tiga pagi, mereka memutuskan melanjutkan perjalanan menuju Cangar. Di dalam mini bus itu Arul duduk di depan sebelah kiri Pak Margo. Sementara Jaya, Rafli, dan Badri duduk di tengah. Tas ransel mereka ditaruh di belakang.

Dalam perjalanan mereka masih mengobrol, tapi kemudian satu per satu mulai terlelap. Hanya Rafli dan Pak Margo yang masih terjaga. Sebenarnya Rafli ingin sekali tidur. Lumayan sekitar dua jam bisa beristirahat sebelum pendakian, tapi entah kenapa kali ini dia merasa sulit tidur. Dia yang duduk di antara Jaya dan Badri akhirnya memperhatikan keadaan di dalam mobil.

Rafli melihat gantungan di dekat kaca spion tengah berbentuk wayang. Di bawah bentuk itu ada tulisan SUGENG RAWUH. Tiba-tiba perasaannya menjadi tidak enak lagi. Dia jadi kembali mengingat mimpinya karena melihat bentuk wayang yang menyerupai entah tokoh pewayangan siapa. Lantas dia melihat ke Pak Margo yang terus berkonsentrasi dalam mengemudi.

"Pak Margo, sugeng rawuh itu artinya apa, Pak?" tanya Rafli pada pria berkulit sawo matang dan berbadan tambun itu.

"Itu artinya ... selamat datang, Mas," jawab Pak Margo dengan pandangan yang tetap tertuju ke depan.

"Ohh ... itu." Rafli mengangguk.

"Lihat gantungan wayang itu, yo?" Pak Margo menunjuk gantungan itu.

"Iya, Pak."

"Wayang itu boneka tiruan yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu, Mas. Biasanya digunakan untuk pertunjukan tokoh drama yang dimainkan oleh dalang. Nah, itu bentuknya Arjuno, Mas. Kalau itu kecil karena buat gantungan mobil saja, Mas. Aksesori gitu," Pak Margo menjelaskan dengan logat Jawa yang khas.

Arjuno ...? Sugeng Rawuh ...? Selamat datang ...? batin Rafli bertanya. "Sama seperti nama gunung ya, Pak?" tandasnya kemudian.

"Terbalik, Mas. Justru gunung itu yang namanya seperti tokoh pewayangan Arjuno," jawab Pak Margo menerangkan.

"Eh ... iya, Pak." Rafli jadi kikuk.

"Sugeng rawuh ya, Mas," ucap Pak Margo seraya menoleh ke belakang disudahi dengan seringai yang tampak menakutkan di mata Rafli.

"I-iya ... iya, Pak," sahut Rafli dengan dada berdebar-debar.

"Sugeng rawuh, Masss ...," kata Pak Margo lagi yang kali ini dengan suara serak. Dia kembali menyeringai lebar. Deretan giginya yang kuning sampai terlihat. Kedua matanya yang memerah dan agak basah itu seperti mengancam.

Rafli berusaha tersenyum sambil mengangguk.

"Sugeng rawuhhhh ...," tandas Pak Margo dengan suara yang makin serak dan lebih menghunjam gendang telinga Rafli.

"Pak ... Pak, lihat ke depan, Pak," kata Rafli yang khawatir terjadi kecelakaan.

Pak Margo malah terkekeh.

"Pakkk, tolong lihat ke depan, Pak!" seru Rafli yang ketakutan karena mobil mulai oleng.

Pak Margo tetap saja menoleh dengan pandangan ke arah Rafli. Seringai lebar dan tatapan matanya masih saja mengintimidasi Rafli. Sementara itu, mobil melaju tidak stabil. Sampai akhirnya meluncur ke sisi kiri jalan dan menabrak sebuah pohon.

Rafli berteriak sambil menutup mukanya, "Aaaaa ...!"

Tiba-tiba saja Rafli terbangun dari tidurnya. Dia mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Dia menelan ludahnya yang pahit karena tenggorokannya terasa kering. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Dia mengembuskan napas lega. Dilihatnya Pak Margo masih mengemudikan mobil dengan konsentrasi yang tinggi. Sampai kemudian pandangannya tertuju pada gantungan wayang. Sugeng rawuh, batinnya berucap.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
Youtube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Pasar Setan Gunung Arjuno - BAB 5

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya