[NOVEL] Sabria: Bab 3

Penulis: Citra Novy  

[Kabar Buruk]

 

“Gila apa?” Areta tampak marah sesaat setelah Sabria menceritakan telepon terakhir dari Kelvin kemarin. “Ngajak ketemu? Buat jelasin? Apa lagi? Udah jelas dia selingkuh kok.”

“Mungkin dia pikir gue masih mau.” Sabria menaruh Teh Botol yang baru saja disedot habis ke tengah meja kantin. Ia mengedarkan tatapannya sejenak, menatap suasana lengang kantin pada sore hari, tanpa celotehan berisik dan gelak tawa kumpulan mahasiswa seperti biasanya.

“Iya, dan lo pasti nggak mau kan?” tanya Hana.

Sabria kembali memusatkan pandangan pada dua temannya. “Ya, nggak tahu juga.”

“Sadar, Bi. Sekarang dia calon laki orang.” Areta kelihatan tidak terima mendengar jawaban bimbang itu. “Perlu gue ingetin sejauh apa dia mengkhianati lo?”

“Iya, iya.” Sabria mencebik, melirik jam di pergelangan tangan, lalu mengecek layar ponsel untuk ke sekian kali. Pukul lima sore ia masih terdampar di kantin fakultas bersama Areta dan Hana, menunggu dosen pembimbing skripsinya sejak siang. “Nggak usah bahas Kelvin lagi deh, ini Pak Jihad apa nggak niat ngasih kabar ke gue?”

Dua temannya baru saja mendapatkan catatan revisian baru setelah melakukan bimbingan singkat di gedung fakultas. Walaupun wajah keduanya kelihatan muak melihat catatan dan coretan di tumpukan kertas yang dijepit rapi oleh paper clip hitam itu, setidaknya mereka sudah menemukan kepastian.

Hana meringis. “Coba tanya Rei lagi deh.”

“Mending lo makan dulu deh, dari siang bukannya lo belum makan, ya?” Areta menatap Sabria, terlihat sedikit iba.

“Orang patah hati mana inget makan sih, Ta?” Hana ikut menatap Sabria, tak kalah iba. “Kelopak mata bengkak, muka pucet, lemes banget lagi. Beneran patah hati ternyata lo, Bi?”

Layar ponsel Sabria menyala, bergetar singkat menyampaikan satu pesan masuk. Pesan itu datang dari Rei, teman laki-laki sekelasnya yang harus mengambil mata kuliah Persamaan Diferensial ke semester bawah karena nilainya tidak mencukupi.

 

Rei : Masih di kampus, Bi? Gue baru kelar kelas Pak Jihad nih. Tadi gue lihat dia ke arah ruang dosen. Entah mampir dulu ke sana atau langsung balik. Met ngejar, ye.

 

“Mau bimbingan aja mesti ngejar-ngejar gini,” keluh Sabria seraya meraih tumpukan kertas skripsi sementara tas dan ponselnya ditinggalkan begitu saja di meja. “Bawain tas sama HP gue ke kosan lo ya, Ta. Tolong charge sekalian,” teriak Sabria sembari menjauhi meja kantin.

“Kalau gitu, gue sama Hana duluan, ya?!” balas Areta.

Sabria berbalik hanya untuk mengangguk. Lalu berjalan cepat melewati koridor belakang gedung fakultas untuk menahan Pak Jihad di ruang dosen. Langkahnya yang terayun cepat tertahan di samping dinding ruang administrasi fakultas, tiba-tiba kakinya lemas sekali. Sesaat ia memegangi keningnya yang berkeringat dingin.

Ya ampun, Bi. Beberapa langkah lagi nyampe ruang dosen. Kuat, dong!

Entah Kelvin yang terlalu berengsek atau Sabria yang terlalu bodoh, kenapa patah hatinya kali ini sampai membuatnya enggan makan dan susah tidur? Padahal untuk mengerjakan tugas akhir menjengkelkan seperti skripsi ini perlu cukup energi dan istirahat.

Pintu ruang-ruang di lantai bawah yang sebagian sudah tertutup, juga lubang-lubang ventilasi di atas pintu yang tampak gelap, menunjukkan di dalamnya tidak ada lagi aktivitas. Namun, kaca di pintu ruangan dosen itu tampak masih menyala. Untuk sesaat yang pendek ia merasa lega, masih ada harapan Pak Jihad ada di dalam.

Papan kecil penunjuk ruangan bertuliskan 'Ruang Dosen' di atas pintu itu akhirnya bisa dicapai, Sabria membungkuk sejenak. Daun pintu yang terbuka membuatnya mengangkat wajah, rambutnya yang yang seharian dibiarkan tergerai menutupi wajah, disibak oleh tangannya dengan segera. “Sore, Pak.”

Di hadapannya kini berdiri seorang dosen muda, Jian, dosen yang mengajar mata kuliah Kalkulus I di semester awal perkuliahan. Entah ia masih mengenal Sabria atau tidak. “Sore, sore.”

Tubuh Jian yang mungkin tingginya melebihi seratus delapan puluh sentimeter itu membuat Sabria sedikit mendongak. “Pak, maaf. Saya mau tanya. Bapak lihat Pak Jihad nggak di dalam?”

Sesaat, pria itu melirik ke belakang, ke arah pintu ruangan yang masih setengah terbuka. “Nggak. Dari tadi saya sendiri. Semua dosen sudah pulang sepertinya.”

“Hah?!” Pekikan kencang campur lelah itu membuat Jian berjengit, tampak sedikit terkejut.

“Ada keperluan apa?” tanya pria itu.

Sabria memegangi kening, kepalanya mendadak berat. Sesaat menunduk, untuk menjawab pertanyaan sesederhana itu ia kesulitan, karena sekarang telinganya berdenging, pandangannya kabur. Tangan kurusnya tidak lagi menopang tumpukan kertas skripsi yang jatuh ke lantai. Ia merasa tubuhnya terperenyak, keningnya menyusul membentur lantai, pandangannya berubah gelap.

***

Jian masih mencoba menghubungi Mala, salah satu staf di BAAK (Biro Akademik Administrasi dan Kemahasiswaan), sementara gadis yang tadi menemuinya di depan pintu ruang dosen masih ditangani oleh bagian poliklinik, masih tidak sadarkan diri.

Tidak ada informasi yang bisa ia dapatkan dari gadis itu, selain nama dan nomor induk yang tertera di halaman paling depan kertas skripsinya. Sabria, mahasiswi Jurusan Statistika. Hanya itu.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Ada ya, mahasiswi yang ke mana-mana nggak bawa tas dan ponsel?” gerutu Jian sembari kembali menghubungi Mala karena panggilan pertamanya diabaikan.

“Pak, gimana?” tanya salah satu petugas poliklinik, sesaat melihat jam yang menggantung di dinding.

Sekarang memang sudah melewati batas jam kerja poliklinik, seharusnya mereka sudah menutup poliklinik dan pulang. Namun, Jian masih belum menemukan ide, mau dibawa ke mana gadis itu jika tidak dibiarkan berbaring di sana?

“Tunggu, tunggu!” Jian menghadapkan telapak tangannya seraya berbalik, sapaan lembut Mala di seberang sana seperti membukakan pintu jalan keluar. “Halo, Bu Mala?”

“Iya, Pak? Tumben banget Pak Jian nelepon saya? Saya bahkan mikir kalau selama ini Pak Jian nggak nyimpen nomor HP saya, lho. Ya ampun jadi—”

“Saya tanya nomor Bu Mala ke Pak Randi tadi.” Jian memotong suara antusias di seberang sana.

“Oh.”

“Gini. Saya mau minta tolong—”

“Buat Pak Jian apa aja saya tolongin.” Lalu terdengar cekikikan yang khas di seberang sana.

“Oke.” Jian meringis sebentar. “Boleh saya minta tolong untuk cek data salah satu mahasiswi jurusan Statistika? Namanya Sabria Asha, dengan nomor induk—”

“Pak?”

“Ya?”

“Saya lagi cuti. Hehe.” Masih dengan suara lembut yang sama. “Besok saya masuk kok. Besok aja gimana? Pak Jian temuin saya aja, saya cariin apa pun yang Pak Jian butuhin.”

Ruang ide di kepalanya berubah gelap. “Saya butuh sekarang.” Tanpa sadar, Jian menjambak pelan rambutnya. “Sekarang banget, Bu Mala.”

“Ih, ya nggak bisa atuh. Lagi jauh dari rumah.”

“Pak, gimana?” Suara salah satu petugas poliklinik di belakangnya terdengar lagi.

Jian kembali menghadapkan tangan. Setelah mengucapkan terima kasih pada Mala, ia segera mengakhiri sambungan telepon. “Belum sadar juga?” tanya Jian seraya menghampiri ranjang yang tengah ditiduri Sabria.

“Sebentar lagi mungkin, Pak. Kayaknya cuma kelelahan sama telat makan, tapi sudah kami tangani.”

“Jadi, saya harus gimana sekarang?” tanya Jian, tapi semua petugas poliklinik malah saling tatap, mengangkat bahu, dengan raut wajah bingung yang bisa Jian mengerti.

Jadi, apa yang Jian lakukan selanjutnya?

Jian kembali memasukkan gadis itu ke mobilnya, mendudukkannya di jok samping pengemudi setelah mengatur sandarannya agar sedikit berbaring. Pesan dari petugas poliklinik tadi, jika dalam waktu beberapa menit gadis itu belum kunjung sadarkan diri, sebaiknya segera dibawa ke rumah sakit.

Oke, karena sekarang sudah melewati beberapa menit dan gadis itu masih belum juga sadar, sebaiknya Jian membawanya ke sebuah rumah sakit terdekat.

Namun, sebuah pesan dari Kemal membuatnya tiba-tiba harus segera memutar arah. Ia memilih untuk menuju ke apartemen yang waktu tempuhnya tidak lebih dari sepuluh menit dari tempatnya sekarang, dibandingkan menuju rumah sakit yang bisa menghabiskan waktu setengah jam tanpa macet, tapi jalan di Jakarta yang mana yang tidak macet? Belum lagi urusan administrasi dan prosedur lain yang harus dipenuhi.

 

Kemal : Gue lagi jalan sama anak bini di PI, terus lihat Frea mau masuk ke I-ta Suki. Sama cowok.

 

Jian pernah memikirkan hal itu, kemungkinan itu. Frea dekat dengan pria lain, yang bisa jadi lebih baik dari Jian, sehingga membuatnya selalu terlihat ragu jika membahas tentang kelanjutan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Namun, membayangkannya saja ternyata lebih baik dibandingkan hal itu benar-benar terjadi.

Jian mencoba menenangkan diri, berkata pada dirinya bahwa semua akan baik-baik saja, semua tidak benar, tapi kepalan tangannya sudah memukul kemudi lebih dulu. Umpatan pelan terdengar selanjutnya.

Sesaat ia melirik gadis yang masih terkulai di sampingnya. “Oke, Sabria. Terima kasih sudah banyak merepotkan ya,” gumamnya. Kali ini, ia akan membiarkan gadis itu berbaring di apartemennya sementara ia menyusul Frea, membuktikan informasi dari Kemal.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Sabria: Bab 4

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya