[NOVEL] Wife Wannabe: Bab 5 

Penulis: Ririn Ayu

Patient

 

Nila menekan tombol remote untuk menyalakan audio speaker di ruangannya. Matanya masih pedih. Hari ini, Minggu pagi yang patut digunakan untuk bermalasan. Tidak lama setelahnya, suara penyanyi pria berputar dan menampilkan suara merdunya di udara. Nila berguling dan memeluk guling, tersenyum getir saat mengingat kejadian semalam. Nila mendesah, mungkinkah memang dia dan Gie akan berpisah tanpa emosi apa pun. Mungkinkah semua kenangan itu pudar begitu saja?

“Ah, tidak, tidak, Gie enggak akan ninggalin aku. Kami tidak akan putus, hubungan kami tidak sedangkal itu. Gie cinta sama aku.”

Nila meremas remote-nya dan memindah saluran radio. Kali ini suara wanita yang terdengar di sana. Nila terdiam. Mendengarkan bait demi bait yang didendangkan oleh penyanyi itu. Mungkinkah Gie tidak mencintainya. Apakah hati Gie tidak sakit saat melihatnya menangis? Apakah Gie sekejam itu? Rasanya tidak.

Gadis itu berguling lagi dan memindah saluran. Heran, kenapa pagi hari ini lagu-lagu yang diputar tidak ada yang menarik. Semuanya menyebalkan. Lalu saat saluran yang baru menampilkan lagu-lagu barat, Nila mulai mendengarkan. Mencoba untuk tidak menggerutu saat radio DJ memberikan pengantar untuk lagu berikutnya.

“Ya kan, kamu enggak ada di sisiku saat aku membutuhkanmu, Gie. Ah, Mas Charlie kamu tahu perasaanku,” gumamnya.

Akhirnya dia menemukan lagu yang tepat, mungkin ini ibaratnya soundtrack of the day. Salty day, mungkin istilah itu lebih tepat. Namun, lirik selanjutnya membuat Nila gemas sendiri.

Your man apanya?” Nila kembali menggerutu, melirik belasan pesan yang dikirimkan Gie. Semua tidak ada yang dibuka, biarlah Gie tenggelam dalam arena chatting. Siapa suruh dia berkelakuan semacam itu semalam?

Nila mendesah lagi kala suara Charlie Puth seolah menyambut dari ujung sana.

“Ya, kamu buang-buang waktuku, Gie. Kesempatan mengubah pikiran apanya?” Nila meremas tepian bantal lebih erat kali ini. “Kalian para pria mengesalkan! Kebanyakan PHP lalu mengumbar alasan! Janji kosong! Janji palsu!” katanya sambil menekan tombol power di remote kuat-kuat. Untun suara itu segera menghilang sebelum Nila menghadiahkan tendangan. Gadis itu dengan uring-uringan berjalan keluar dan mengabaikan selimut yang tergeletak sembarangan di atas tempat tidur. Ia benar-benar kesal sekarang.

Nila bergerak turun ke lantai bawah dan berjalan langsung menuju dapur. Hari Minggu begini memang lebih enak untuk bermalasan. Tidak ada harum masakan yang memenuhi ruangan, Nila mengerutkan kening. Mamanya tampak sibuk mencuci perkakas di wastafel.

“Mama, enggak masak?” tanyanya sambil menarik gelas dari tatakan untuk mengisinya dengan air putih.

Wanita paruh baya itu menoleh lalu menunjuk tudung saji di atas meja. “Masakan semalam masih ada, Mama tadi hanya memanaskan saja.”

Masakan semalam?

Nila membuka tudung saji, gadis itu mendesah kala menemukan makanan di sana. Semua makanan yang susah payah dimasak oleh mamanya kemarin saat dia dengan penuh semangat mengatakan kalau Gie akan datang malam itu. Sedikit memberikan petunjuk kalau pemuda itu mungkin akan datang bersama keluarganya. Mamanya dengan penuh semangat belanja ke pasar dan memasak untuk serombongan tamu istimewa. Namun, siapa sangka yang datang hanya Gie bersama satu kotak martabak telur. Tanpa rombongan bahkan tanpa satu pun kabar gembira.

Iya, dia tahu Gie bukan Nabi yang bisa mengabarkan kabar gembira pada umatnya. Jemari Nila yang semula memegang tepian tudung saji melepasnya hingga benda itu terjatuh ke permukaan meja. Gadis itu lalu menatap wahah mamanya yang masih sibuk dengan cucian perkakas. Mendadak, dia menyesali keegoisan serta kebodohannya. Mamanya masih sibuk dengan segala urusan yang bisa dihindari kalau saja dia kemarin tidak banyak omong besar. Bodohnya lagi, dia malah sibuk marah-marah di kamar sementara orang lain kini menanggung akibatnya. Nila bergerak mendekati mamanya, merangkul wanita itu dari belakang.

“Lho, kamu ngapain?”

Nila mengeratkan pelukan di tubuhnya lalu menyapukan pipi di punggung wanita itu. “Maafkan, Nila, Ma,” gumamnya pelan.

“Minta maaf kenapa? Kamu tidak ada salah sama Mama,” kekehnya pelan.

“Besok lagi Nila enggak akan sembarangan mengabarkan apa pun jadi Mama enggak perlu repot.”

“Bukan salah, Nila. Kita jadinya enggak perlu masak buat sarapan kan.”

“Tapikan harusnya tidak serepot ini kalau saja Nila tahu bakalan begini.”

Wanita itu menepuk lengan Nila lalu terdengar menarik napas. “Kadang manusia memang lebih banyak berprasangka tanpa mau mencerna dulu kebenarannya. Tapi, anak Mama tidak sedih, kan?”

Nila menggeleng lalu menarik napas pelan. Bahkan di saat seperti ini, mamanya masih bisa bersikap bijak. Kalau dibandingkan dengan dirinya, rasanya sungguh memalukan. Memang terkadang realitas mengkhianati ekspektasi, akan tetapi dalam kasusnya tidak ada realitas yang khianat, hanya dia yang terlalu banyak berharap. Berharap banyak pada laki-laki seperti Gie.

“Katanya mau nikah, mau punya suami, kalau manja begitu gimana nikahnya? Emangnya ada yang mau?” Wanita itu kembali tertawa pelan.

“Ah, Mama!” Nila melepaskan pelukan saat wajahnya mulai memanas. Kali ini gadis itu bergerak ke samping mamanya dan mulai membantu menata piring bersih yang telah dicuci ke tatakan.

“Nah, gitu dong. Ketimbang ngerangkul Mama kayak anak bayi, mendingan bantu nyuci piring.”

“Iya, Ma.” Nila tersenyum sekarang saat mamanya dengan sengaja menyenggolkan bahu padanya.

“Gimana Gie, Nil?”

Nila menunduk dan terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Memangnya apalagi yang akan dikatakannya sekarang.

“Masih belum ada kabar?”

“Ada tadi, dia kirim chat,” sahut Nila.

“Terus?”

“Entahlah, Ma. Nila enggak tahu lagi,” tukasnya jujur.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Jangan begitu, kamu boleh meminta kepastian pada Gie, boleh marah kalau dia membuatmu kesal. Tapi, memaksakan kehendak sama orang lain itu enggak baik. Mungkin ada banyak alasan kenapa Gie bersikap begitu. Cobalah berpikir lebih terbuka!”

“Apalagi alasan selain memang dia pengecut?”

“Nah, jawaban kamu seperti ini juga artinya kamu belum berpikiran terbuka dan menerima pendapat orang lain, Sayang.”

“Tapi, Gie membuang terlalu banyak waktu, mau sampai kapan?”

“Kalau begitu, kenapa kau tidak mencari lelaki lain yang mau menuruti kemauanmu agar waktumu tidak banyak terbuang?”

“Nila maunya Gie, Ma.”

“Maka Nila bisa menunggu.”

“Apa susahnya sih melamar Nila, dia kan sudah kerja, kami juga sudah dekat begitu lama. nunggu apalagi sih?”

“Dalamnya laut bisa diukur dalam hati siapa yang tahu. Gie mungkin memiliki banyak masalah, banyak alasan untuk semua itu—”

“Alasan apa?” Nila memotong cepat sebelum mamanya selesai berbicara.

“Banyak. Contohnya saja, menikahi orang lain tidak mudah, Nil. Dia harus mengurus seorang wanita yang semula bukan siapa-siapa, memberi nafkah dan tentu saja harus mengayomi wanita itu. Jelas itu bukan hal mudah, apalagi untuk lelaki yang memang pada dasarnya tidak terlalu suka terikat pada suatu hubungan.”

“Nila juga sebagai wanita juga susah harus mengurusi banyak hal. Istilahnya dibeli dengan satu uang mahar terus jadi budak seumur hidup.”

“Kalau begitu Gie bukan budak?”

“Apa?”

“Kalau konsep menikah itu siapa memperbudak siapa maka selamanya tidak akan titik temu. Gie juga budak kalau konsepnya memenuhi kewajiban di rumah itu budak. Pria akan bekerja keras, membanting tulang untuk wanita yang awalnya bukan siapa-siapa, semata-mata karena merasa bahwa wanita itu adalah tulang rusuknya yang hilang. Dia lebih memilih untuk mengurus istrinya, menyandingnya di lengan kala malam tiba melebihi ibunya. Bukankah itu sama saja dengan memperbudak dirinya untuk wanita yang bukan siapa-siapa? Kenapa dia mau repot-repot, bukankah lebih baik mengurus ibunya?”

“Tapikan, wanita rela mengandung anak-anak pria yang dicintainya, itu sama beratnya, Ma. Masih harus mengurus urusan rumah tangga juga. Itu sebanding dengan mencari nafkah.”

“Mama tanya sama kamu,” katanya sambil menatap putrinya. “Apa kamu menganggap kalau melahirkan anak Gie kelak itu beban?”

Nila menggeleng cepat. Tentu dia akan senang hati kalau memang harus melahirkan anak dari seseorang yang dicintainya.

“Jadi itu bukan budak kalau setara? Kan Nila mau melahirkan anak-anak Gie kelak.”

Nila terdiam. Sekak mat. Mamanya memang pintar membungkam mulut bawelnya.

“Kalau aku mau kenapa Gie masih saja menolak?” kilahnya masih mencoba membangun argumen, enggak mengaku kalah.

 “Bersabarlah sedikit, Sayang. Pria pasti akan menunggu saat paling baik untuk melamar seorang gadis.”

“Sampai kapan? Masa Nila harus selalu menunggu.”

“Sampai waktunya. Wanita memang tidak lazim melamar terlebih dahulu, tapi wanita bisa memilih untuk tetap tinggal atau pergi. Pria dibekali hal untuk menentukan waktu, sedangkan wanita berhak untuk menentukan pilihan, bukankah itu adil?”

Nila mengangguk, mulai memahami makna kata-kata mamanya. Wanita memang kodratnya hanya bisa menunggu. Sialnya menunggu tanpa bisa memaksakan.

“Iya, Ma,” katanya akhirnya.

“Bagaimana kalau kamu minta maaf pada Gie.”

“Ma!” Nila nyaris memekik.

“Kalau itu berat, bersikaplah biasa saja, tetapi jangan diulangi!”

“Iya, Ma.” Bibir Nila mengembang membentuk senyuman.

Dia akan minta maaf pada Gie besok soal sikap-sikapnya yang keterlaluan. Nila berjanji pada diri sendiri kalau dia tidak akan memaksa Gie lagi dan menunggu waktu yang tepat dengan lebih sabar.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Wife Wannabe: Bab 1

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya