[NOVEL] Painting Flowers-BAB 2

Penulis : Nureesh Vhalega

Sebuah Promosi

 

Pria itu masih mengenakan kaus putih polos di dalam kemeja, jadi Laisa pun tidak panik. Dia terima uluran kemeja bernoda darah dari pria itu, lalu kembali membuka suara.

"Gue balikin setelah dicuci ya," ucap Laisa tenang. "Lo dari perusahaan apa? Ruang kantor lo sebelah mana?"

Gavin memasukkan satu tangan ke saku celana, kemudian menjawab, "Thumb A Ride. Ruangan gue lewat pintu di samping lift."

Laisa mengangguk-angguk. "Lo baru pindah ke sini?"

"Minggu lalu," sahut Gavin. "Baru pindah ke lantai ini lebih tepatnya. Sebelumnya di lantai 21."

"Thumb A Ride itu bergerak di bidang apa?" tanya Laisa.

Alis Gavin mencuat naik. "You never heard about it?"

Laisa mengangkat bahu. "Namanya nggak asing, mungkin pernah dengar. Tapi gue nggak tahu itu perusahaan apa."

Bibir Gavin sudah terbuka, siap menjawab ketika dering ponsel terdengar. Dia segera mengeluarkan ponsel dari saku celana, mengerutkan kening saat melihat layar, lalu kembali menatap Laisa.

"See you later, Laisa."

Tanpa menunggu jawaban, pria itu berjalan keluar dari kamar mandi VIP. Laisa tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Gavin, tapi sepertinya itu panggilan penting menilik nadanya yang serius.

Omong-omong soal panggilan penting....

"Crap!"

Laisa bergegas kembali ke ruang kantor, membawa serta kompresan dan kemeja milik Gavin. Dengan panik dia meraih ponsel yang tadi dia letakkan begitu saja di atas meja. Meski tahu kecil kemungkinan orang yang dia hubungi masih berada di ujung sambungan, tetap saja terbersit sedikit rasa kecewa karena telepon sudah terputus. Apalagi ketika tidak dia lihat pesan yang menyusul kepergian mendadaknya, tidak ada pertanyaan tentang apa yang terjadi atau di mana dirinya berada.

Mendesah, Laisa menjatuhkan tubuhnya ke depan laptop yang kini layarnya sudah menghitam. Pada layar itu, samar-samar pantulan wajahnya terlihat. Lamat-lamat dia pandangi wajahnya, berusaha mencari jejak gadis dengan senyum ceria yang dulu selalu dilihatnya. Sekarang, hanya ada seraut wajah pucat dan lelah dengan rambut kusut masai.

Baru kini Laisa sadari, dia merindukan pantulan wajahnya sendiri.

Wajah ketika dia tidak terlihat seperti mayat yang berusaha hidup.

***

Matahari bahkan belum terbit ketika Laisa mendengar teriakan yang bersahutan dari dalam rumahnya.

"Apa kamu bilang?!"

"Kalau mau jadi selingkuhan, lakuin yang benar, Ma! Sekalian Mama minta rumah mewah supaya kita keluar dari tempat kumuh ini!"

"Jaga mulut kamu, Sabrina! Jangan kurang ajar!"

Tawa tanpa humor dilepaskan oleh adik Laisa sebelum menjawab, "Mama nggak ngajarin aku apa pun, selain cara buat godain suami orang."

Plak!

Karena suara itu, Laisa segera meloncat turun dari tempat tidur. Selama sesaat dunianya terasa berputar, disusul serangan sakit pada kepalanya. Gadis itu baru sampai rumah menjelang pukul tiga, mengapa orang-orang di rumahnya tidak memberi dia kesempatan untuk beristirahat sebentar saja?

"Oh, sekarang Mama juga ngajarin aku cara nampar orang. Thanks, Ma!"

Laisa menahan tangan mamanya yang hampir terayun lagi, kemudian menarik adiknya menjauh. Yang ditarik terang memberontak, kembali mengeluarkan teriakan meski kini diiringi air mata.

"Aku malu! Aku malu punya Mama kegatelan yang suka ngehancurin rumah tangga orang!"

Setelah berkata begitu, Sabrina berderap masuk ke kamarnya yang berada di sisi dapur, membanting pintu dalam prosesnya.

Laisa memegangi pelipis yang terasa makin berdenyut, lalu duduk di kursi meja makan. Ada tiga kursi yang mengelilingi meja itu, tapi tidak ada yang serupa. Jika dilihat lebih jelas, seluruh barang di dalam rumah kontrakan itu tidak ada yang mengikuti tema. Semua dibeli Laisa secara random dan berkala dengan alasan murah.

Papanya meninggal karena kanker tiga tahun lalu, ketika Sabrina berada di tahun terakhir masa putih biru. Mereka melakukan segala yang bisa dilakukan untuk pengobatan Papa, tapi semua berakhir sia-sia. Papa tetap pergi, meninggalkan tiga perempuan dalam keluarganya untuk hidup sendiri. Beruntung hanya harta benda mereka yang tandas, tidak sampai menimbulkan utang. Meski begitu, Laisa tetap harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Uang pensiunan milik Papa hanya cukup untuk membayar sewa rumah, itu pun seringnya dirampas oleh Mama untuk pergi ke salon atau kafe bersama teman arisannya.

"Apa lagi masalahnya sekarang, Ma?" tanya Laisa lemah. Dia bahkan tidak memiliki tenaga tersisa untuk marah. Sudah terlalu lelah.

Belakangan ini, Sabrina dan Mama semakin sering bertengkar. Kadang meributkan makanan, uang jatah bulanan, dan banyak lainnya. Tapi baru kali ini Sabrina bertindak sejauh itu; mengucapkan kata-kata buruk yang tidak sopan. Selama ini, adik Laisa memang pendek sumbu, tapi tidak sampai bersikap begitu. Dalam banyak hal, Sabrina berusaha membantu Laisa. Paling hanya masalah keuangan yang belum bisa diatasi gadis itu, tapi perihal sekolah dan lainnya sudah bisa Laisa percayakan seluruhnya pada Sabrina.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Mamanya mengibaskan rambut, kemudian berlalu tanpa menjawab pertanyaan Laisa. Laisa pun tidak berusaha mengorek penjelasan, sebab perdebatan yang didengarnya tadi sudah cukup menjelaskan. Laisa tidak tahu harus melakukan apa. Dunia seakan berlomba-lomba menambah bebannya, padahal dia merasa sudah mengerahkan segenap daya dan upaya. Apa lagi yang harus dilakukannya untuk keluarga mereka?

Pa, batin Laisa dengan kedua tangan menutup wajah. Seharusnya Papa masih di sini. Seharusnya Papa nggak ngebiarin aku nanggung ini seorang diri....

***

"La, lo sudah review desain buat GDN[1] belum?"

Pertanyaan Ricky, head of design dari Jalan-jalan.com, menyapa Laisa.

"Ky, gue bahkan belum duduk," kata Laisa seraya meletakkan tasnya di meja yang berada di tengah ruangan, menghadap pintu masuk. "Memang kapan lo kirim desainnya ke gue?"

"Sekitar sepuluh menit yang lalu," jawab Ricky dengan cengiran lebar.

Laisa memutar mata, lalu membuka laptop dan langsung mengecek surel yang baru dikirimkan rekannya itu. Informasi yang akan mereka sebarkan tentang diskon di akhir bulan tampak menarik dengan paduan warna biru dan kuning-warna yang juga dipakai oleh logo perusahaan mereka-tapi Laisa mengerutkan kening.

"Ini warna font-nya kurang stand out, kalau selintas lihat doang kayaknya ngeblur, Ky," kata Laisa.

Ricky menelengkan kepala, ikut memerhatikan desainnya. "Tapi ini cukup menurut gue. Memang mau lo kasih warna apa biar benderang? Merah?"

"Mbak Sandrine ke mana deh?" tanya Laisa kemudian, menyebut chief marketing officer mereka. Setiap kali muncul perbedaan pendapat antara dirinya dan tim desain, atasannya itu selalu dicari. "Lo sudah minta ACC dia?"

"Mbak Sandrine cuti seminggu, La. Lo lupa?" sahut Ricky.

Laisa hampir berdecak kalau saja tidak ingat bahwa hari masih pagi, tidak baik diisi dengan hawa negatif. Akhirnya, Laisa memutuskan untuk berkompromi, berusaha menyampaikan idenya tanpa menyinggung perasaan orang lain. Setelah bekerja di Jalan-jalan.com selama tiga tahun dan menjadi satu di antara segelintir orang yang paling lama bekerja di sana, Laisa belajar untuk lebih sabar meskipun tenggat pekerjaannya ekstra cepat.

Bekerja di bidang startup sangat berbeda dari pekerjaan lain yang pernah Laisa lakukan. Sebelumnya, dia pernah menjadi supervisor di supermarket dan customer service sebuah bank swasta. Semua pekerjaan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, tapi sejauh ini Laisa baru merasa betah di Jalan-jalan.com, mengerjakan materi promo dan iklan.

Meski sedikit berbeda dari jurusan yang dipilihnya selama kuliah-Jurnalistik-tak sekali pun Laisa menyesal. Mungkin karena dia bergabung dengan Jalan-jalan.com sejak perusahaan itu baru memiliki lima pegawai, terus berkembang hingga kini memiliki beberapa tim di kantor bahkan kota berbeda, loyalitas Laisa pun tumbuh seiring berjalannya waktu. Jalan-jalan.com seakan sudah menjadi udara yang dihirupnya.

"Laisa, lagi sibuk nggak?" Pertanyaan dari Pak Toby, CEO Jalan-jalan.com menyela diskusi Laisa dan Ricky. "Ada yang perlu saya bicarakan."

Ricky kembali menatap Laisa dan berkata, "Gue revisi dulu, nanti lo cek lagi ya."

Mengangguk, Laisa pun bangkit berdiri dan menghampiri Pak Toby. Mereka masuk ke ruangan khusus para chief yang dipisahkan pintu kaca dengan ruangan Laisa dan kawan-kawan.

"Ada apa, Pak?" tanya Laisa. Kepalanya sudah sibuk menyusun jawaban seputar campaign diskon, karena memang hanya itu program besar mereka dalam bulan ini, tapi bukan itu yang dibicarakan Pak Toby.

Beliau justru menawarkan kenaikan jabatan dan gaji.

Laisa tidak peduli pada jabatan, toh dia yakin beban kerjanya akan sama saja. Orang-orang yang bekerja di startup memang harus tahan banting dan bisa mengerjakan segala hal yang diperlukan, meski berada di luar jabatannya. Laisa sudah mempelajari itu selama tiga tahun bekerja di sana. Tapi kenaikan gaji itu persoalan lain.

"Karena kinerja kamu sangat bagus dan Sandrine sangat merekomendasikan kamu," jelas Pak Toby. "Sebenarnya Sandrine berniat menjadikan kamu CMO baru, tapi saya merasa masih banyak yang harus kamu pelajari sebelum menempati jabatan itu. Jadi sekarang saya menawarkan ini sebagai gantinya. Bagaimana?"

"Saya setuju, Pak," jawab Laisa langsung dengan senyum lebar. Penambahan gaji itu akan sangat membantunya untuk membayar uang kuliah Sabrina tahun depan. "Tapi tadi Bapak bilang Mbak Sandrine merekomendasikan saya sebagai CMO, lalu Mbak Sandrine bagaimana?"

Pak Toby menarik napas, wajahnya terlihat muram. "Sandrine akan resign dalam waktu dekat."

Terkejut, Laisa nyaris saja memekikkan tanya, "Kenapa?!"

Untung sebelum Laisa benar-benar melakukannya, Pak Toby melanjutkan, "Nggak perlu khawatir. Saya sudah dapat CMO baru. Transisi ini pun akan berlangsung selama beberapa bulan, jadi tolong rahasiakan dulu dari yang lain. Saya nggak mau fokus tim terpecah, apalagi revenue kita sedang meningkat dengan signifikan."

Perlahan, Laisa mengangguk. Dia pun kembali ke mejanya dan termenung. Meski belum tahu alasan Mbak Sandrine mengundurkan diri, Laisa bisa menebak. Bukan cuma sekali Mbak Sandrine mengeluh tidak bisa meluangkan waktu untuk anaknya yang baru berusia tiga tahun. Walau belum punya anak, Laisa bisa sedikit memahaminya. Dia pun dulu merasa selalu ingin bersama Sabrina. Perbedaan sepuluh tahun di antara mereka membuat Laisa menyayangi adiknya dan sangat ingin melindunginya. Sejak dulu, memang Laisa yang lebih berperan dalam mengurusi Sabrina, sebab mamanya tak pernah absen dari kesibukan di luar.

Laisa menghela napas panjang. Rasa gembira karena kenaikan gajinya dibayangi awan mendung. Akan kehilangan salah satu rekan kerja yang sangat dikaguminya tidak mudah. Belum lagi proses adaptasi yang harus dilakukannya dengan pengganti Mbak Sandrine, siapa pun orang itu nanti.

Bahagia dan sedih itu memang datangnya satu paket.

***

[1] Google Display Network

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook : Storial
Instagram : storialco
Twitter : StorialCo
Youtube : Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Painting Flowers-BAB 1

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya