[NOVEL] Shelter: BAB 3

Penulis: MosaicRile

3. Life Savior

 

PADA akhirnya Kanya setuju menangani Elaine sebagai pasien. Di tengah kesibukannya memenuhi jadwal syuting dan mengatur jadwal pribadinya yang makin sempit, Hezkiel menyempatkan diri pulang ke apartemen. Ia belum benar-benar menyapa Elaine karena wanita itu lebih sering melakukan terapi jalan bersama Kanya. Elaine butuh dua minggu beradaptasi melakukan kegiatan sehari-hari dengan bantuan suster.

Hezkiel melihat Kanya mengintip keberadaannya dari celah pintu. Ia memutar tubuh, menunggu Kanya menghampiri. Hezkiel pergi ke dapur, meletakkan secangkir gelas kosong untuk diisi kopi dari coffee pod machine praktis miliknya.

“Mau?” tanya Hezkiel, ia lebih dulu menawarkan sebelum Kanya sempat menyapanya.

“Biasanya lo nginep di lokasi syuting. Bela-belain banget pulang ke apartemen malam begini?”

Hezkiel minum dari cangkirnya, ia memang butuh kafein akhir-akhir ini. Sebelum menjawab, ia sempat melirik jam digital di dinding ruang makan. “First, thank you karena lo kayaknya berubah jadi orang yang paling pengin Elaine cepat sembuh. Terapi malam-malam, Kanya?”

Kanya memutar bola mata. “Gue nungguin lo balik.”

“Kenapa nggak telepon aja?”

Kanya merebut cangkir, meneguk isinya tanpa izin.

Please, gue baru bikin,” gerutu Hezkiel. Ia mengeluarkan cangkir dari kabinet, membuat mesinnya bekerja sekali lagi. Sesudahnya ia duduk di mini bar bersebelahan dengan Kanya.

“Gue cuma punya waktu malam, Hez. Belakangan ini gue bantu jaga siang, besok ada jadwal operasi dan gue nggak yakin bisa mampir,” jelas Kanya.

Hezkiel baru saja lebih memperhatikan wanita di sampingnya. Kanya masih menyematkan name tag pada kemeja hijau muda di dada kiri. Ia sudah sering membaca tulisan ‘Dr. Kanya Judith Sp.BS’ saat bertemu wanita itu di beberapa kesempatan.

Rambut Kanya panjang sebahu diikat satu ke belakang, wajah itu masih cerah meski tampaknya tidak tidur seharian. Beberapa waktu ketika Hezkiel mengamati cukup intens, ia suka saat poni Kanya memanjang sehingga wanita itu tidak menyisakan sehelai rambut pun di dahi. Kedua alis yang proporsional terlihat cantik di sana saat dibingkai dengan pensil alis.

Kala pandangannya turun dan bertemu pada bola mata hitam Kanya, Hezkiel memutuskan kontak di antara mereka. Ia meneguk kembali kopi hangat. “So, how is the progress?

As you can see, dia udah bisa jalan sendiri, dan gue juga nggak perlu sering-sering datang buat ngecek keadaannya. Nggak ada penyakit terkait neurologis yang membahayakan. Tes lainnya juga aman. Secara fisik, keadaannya baik,” terang Kanya. “Lo udah ngobrol sama dia?”

Hezkiel menggeleng singkat. “Cuma sempet kenalan ulang. A bit weird anyway. Kenapa dia bisa sampai lupa sama namanya sendiri?”

Kanya mengangkat bahu. “It won’t take a long time to gain her memories back. Selama dia bisa catch up segala yang tertinggal, lama-kelamaan dia mungkin ingat siapa dirinya. Kecuali dia terus-terusan memblokir pikirannya.”

“Kedengarannya peristiwa lima bulan lalu berdampak parah buat Elaine,” gumam Hezkiel.

Correct. Amnesia disosiatif. Biasanya ini terjadi karena ada kerusakan bersifat parsial, let’s say dalam kasus Elaine, dia mengalami trauma dan menutup ingatan. Harus ada pemicu yang ngebuat Elaine ingat kembali kenangan-kenangan itu,” jelas Kanya.

Hezkiel menyambut tatapan Kanya yang diarahkan padanya. Ada sedikit pandangan cemas di sana. “Kenapa?”

Kanya menoleh ke arah lain, melipat tangan di atas meja bar. Jemari itu memutar cangkir yang telah kosong. “Nggak apa-apa.”

“Oke.” Hezkiel mengangguk. “Jadi, apa saran lo setelah ini?”

“Saul udah ada kabar?” tanya Kanya.

"Belum. Kami ketemu tapi lebih banyak ngobrol urusan kerjaan. Gue bakal ke Berlin dalam waktu dekat. Takutnya bakal dragging terlalu lama.” Hezkiel menghela napas.

“Nggak ada lagi yang bisa gue lakuin buat perkembangan Elaine, Hez. Saran terakhir, kita bawa dia ke psikiater. Gue punya kenalan,” tawar Kanya.

It would be better. Mungkin habis ini gue perlu bicara sama Elaine,” putus Hezkiel. “Kenalan lo bisa dipercaya?”

Kanya memutar bola mata. “Simpan aja Elaine di kulkas, biar nggak ada yang tahu.”

Hezkiel tergelak. “Kenapa mesti kulkas, sih?”

Kanya mengangkat bahu. Membawa cangkir miliknya yang kosong, mencuci, meletakkannya kembali di mesin pengering. Wanita itu melangkah ringan dan membuka isi kulkas. “Hez, granola snack yang gue simpen di sini nggak lo makan? Expired, tahu!”

“Lo nyimpennya kapan? Jelas-jelas gue di New York kemarin, balik sini ya expired-lah. Lo nggak pulang rumah emangnya?”

“Nggak, bokap-nyokap gue lagi mood swing banget, bentar-bentar berantem. Perabot rumah pada pecah, pusing gue,” jawab Kanya, memutar tubuh sembari membuang camilan kedaluwarsa ke dalam tong sampah. “Masih ada satu kamar tidur kosong di sini, kan? Nginep gratis boleh, dong?”

“Nggak,” jawab Hezkiel langsung.

Kanya tertawa. “Gue cabut dulu, ya?”

Hezkiel bangkit berdiri. Ia mengambil jas putih milik Kanya yang diletakkan pada kepala sofa, mengantar Kanya keluar dari apartemennya. “Drive safe, and thank you for your help.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Keep it for yourself, Hez. I only accept dinner as a payment. See you kapan-kapan,” jawab Kanya. “Bawain oleh-oleh dari Berlin.”

Hezkiel memandang punggung Kanya dari belakang, sempat memperhatikan wanita itu berjalan sambil memasukkan sebelah tangan ke saku celana flare hitam. Ia menutup pintu saat Kanya hilang dari pandangan. Hezkiel mengembuskan napas, matanya memandang pintu kamar yang tertutup, tempat Elaine beristirahat.

Tangannya berada di gagang, hendak mendorong ke bawah tetapi ragu. Cukup lama Hezkiel termenung, memikirkan beragam topik untuk menghindari rasa canggung. Kala ia memutuskan melangkah masuk, Hezkiel terkejut Elaine berdiri tepat di belakang pintu.

“E-Elaine?” sapanya gugup.

Elaine menunduk. Hezkiel mengamati kedua telapak tangan itu bersatu, jari-jemari tampak mengait gelisah. Saat ia mengangkat wajah, beberapa helai rambut jatuh menutupi wajah cantik wanita itu, Hezkiel tidak berpikir panjang saat menyelipkannya ke belakang telinga Elaine. Kemudian, mereka bersitatap.

Tangan Hezkiel berhenti di udara ketika Elaine mundur selangkah. “Sorry,” ucap Hezkiel. “L-lo m-mau keluar? Haus? Lapar?” tanyanya cepat.

Elaine menggeleng, tubuh itu berbalik membelakangi Hezkiel. “Hezkiel Nataliz, kan?”

Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang saat Elaine menyebut nama lengkapnya. Wanita itu melangkah pelan ke arah jendela yang tak tertutup tirai, memperlihatkan suasana malam di luar sana. Ia mendekat, melangkah keluar ke arah balkon. Elaine berdiri dengan tangan memegang handrail, Hezkiel sulit menebak ekspresi wajah itu.

Thank you, for saving my life,” ujar Elaine tanpa memandangnya.

“Yeah, thank God you’re good,” balas Hezkiel. “Gue denger, lo nggak ingat apa-apa. Maksud gue, just take your time, nggak perlu memaksakan diri.”

Elaine tersenyum tipis. “For how long?”

Ia menunduk, mengarahkan pandang ke lantai bawah. Balkon apartemennya menghadap jalan. “Lo butuh bantuan?”

“Kamu sudah membantu terlalu banyak.”

“Gue nggak keberatan, Ela,” jawab Hezkiel ringan.

Elaine menoleh, bertemu pandang pada iris Hezkiel. “Ela? Dokter Kanya memanggilku dengan nama Elaine. Kalau kamu memanggilku Ela, itu berarti kita dekat?”

Hezkiel sekarang tahu mengapa sedari tadi Elaine menunduk. Sorot mata itu tersesat, ke mana pun arah pandang Elaine, ia tahu wanita itu sedang mencari kebenaran. Ia sedikit memiringkan tubuh. “Lo mau dipanggil apa?”

“Aku punya nama lengkap?”

“Elaine Daniswara.” Hezkiel mengamati respon wanita itu, tetapi raut wajah Elaine tidak berubah. Ia mengangguk paham. “Nggak kepikiran nyari Daniswara di Google?”

Elaine tertawa kecil tanpa suara, kemudian ada gelengan samar tertangkap olehnya. “Saul. Dia bilang aku kecelakaan dan koma, lalu kalian menemukanku sekarat di pinggir pantai. Katanya aku korban pembunuhan, dan ada namaku di tempat pemakaman umum. Aku tidak punya keberanian bertanya pada internet tentang apa yang terjadi padaku, Hezkiel.”

Hezkiel terkejut. Ia tidak menyangka Saul akan memberitahu informasi yang seharusnya akan dibuka perlahan-lahan jika Elaine sudah siap. Tangannya mengepal, meredam kekesalannya pada Saul di depan Elaine rupanya tidak mudah.

“Kenapa jadi kamu yang terkejut?” tanya Elaine. “Jangan khawatir, aku memang memaksa Saul untuk bilang kebenarannya. Sayang sekali, aku tidak ingat kejadian itu.”

Ia menarik napas panjang. “It’s better for me to say sorry in advance. Gue emang berencana buat nyelidikin apa yang terjadi dulu, sementara itu, keberadaan dan identitas lo, kami tutup rapat-rapat. Mungkin kedengarannya berlebihan, tapi ....”

Hezkiel tidak meneruskan kalimatnya. Ia menunduk sejenak, memandang kedua kaki yang beralas sandal rumah. Mungkin lima bulan bukan waktu yang lama untuk melupakan peristiwa bagaimana ia menemukan Elaine, bagaimana darah wanita itu membekas di baju, serta betapa remuk hatinya kala mengira Elaine telah meninggal.

I don’t want to see you in danger.”

Elaine mengerjapkan mata. Ada desah berat terselip di sana. “Begitu, ya?” gumam wanita itu. “Kupikir, apa pun yang terjadi padaku lima bulan lalu pasti peristiwa buruk. Itu sebabnya aku tidak bisa mengingat lagi, kan?”

Hezkiel membiarkan jeda merambat di antara mereka. Ia tidak tega melihat wanita di hadapannya terperangkap dalam ketidaktahuan. “Kanya bilang lo trauma. Kami sempat ngobrol di dapur tadi tentang psikiater kenalan Kanya. Lo mau coba?”

Elaine memiringkan wajah, balas menatap Hezkiel. “Kenapa kamu mau menolongku?”

Hezkiel memutar tubuh, menatap ke arah lain. Ia menyimpan bibir ke dalam, berpikir jawaban apa yang sebaiknya ia katakan. Atau, lebih baik ia tidak menjawab.

“Aku tidak mau berutang terlalu banyak. Kamu menyelamatkan nyawaku, merawatku begitu lama, aku tidak tahu bagaimana harus membalasmu,” tambah Elaine.

“Gue—maksudnya—aku, nggak minta balasan apa pun. Aku nggak ingin memaksa, tapi jauh lebih baik kalau ingatanmu kembali. Setidaknya, begitu aku dan Saul menemukan sesuatu yang mencurigakan, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan,” ujar Hezkiel. Ia berdeham usai mengubah cara bicaranya.

“Itu tidak menjawab pertanyaanku sebelumnya—”

Hezkiel menarik tubuh wanita itu ke dalam pelukan erat. Ia memejamkan mata ketika tak mendapati Elaine melanjutkan kalimat. “I’ve missed you for so long, Elaine,” bisiknya. “Apa itu menjawab tanda tanya di kepalamu?”

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Shelter: BAB 2

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya