[CERPEN] Cerita Cinta untuk Cucuku

Kelak kau akan menemukan cinta sejati juga, Cu...

Hari hampir petang. Aku berjalan mengekor ibuku yang menggendong adikku di punggungnya sambil menenteng rantang nasi kosong. Sementara aku sendiri menggendong beberapa bilah kayu bakar di punggungku dengan selendang gendong yang sudah tak terpakai. Bapak masih di belakang berbincang dengan Pak RT yang baru saja berpapasan dengan kami. Ya, kami sedang perjalanan pulang dari sawah dan mencari kayu bakar untuk memasak.

Tak sengaja mataku melihat sosok gadis yang aku kenal duduk di bawah pohon mangga dekat lapangan sepak bola di kampung. Aku menghampiri gadis yang sedang menunduk memegangi kakinya itu.

“Bu, sebentar ya,” pamitku pada ibuku.

Aku mendekat. Betul. Dia ternyata Wati, teman sekolahku. Rupanya gadis itu sedang mengoles lengannya yang terluka entah apa sebabnya menggunakan lidah buaya.

“Wati, kamu ngapain?”

Gadis itu menoleh kaget. Ia masih memakai seragam sekolah. Ah, pasti gadis itu belum pulang.

“Eh, kamu ternyata.”

Aku mengangguk, kemudian ikut duduk di sebelahnya. Masih membawa kayu bakar di gendongan. “Kamu belum pulang?”

Gadis itu menggeleng. Aku mengamatinya dengan seksama. Pipi gadis itu lebam kebiruan, tangan kanannya memerah seperti habis digebuk pegangan sapu. Matanya membengkak dan ada 2 plester menempel di betis kaki kanannya. Astaga, gadis ini habis berkelahi atau apa?

“Aku malas pulang, Tri. Rasanya malah nggak ingin pulang saja,” jawabnya lemah.

Aku memandangnya penuh selidik. “Kamu ... habis berkelahi ya? Makanya kamu takut pulang?” tuduhku asal.

Gadis itu menatapku kesal. Tatapan matanya tidak berbinar-binar seperti biasanya ketika aku berbincang dengannya di sekolah. “Enak saja! Memangnya aku preman?”

Aku terkekeh. “Aku mau menunggu sampai magrib Tri, lalu ke masjid sampai isya tiba. Baru aku akan pulang setelah sholat isya, dan surau sudah akan segera dikunci,” lanjutnya.

Aku geleng-geleng kepala tak habis pikir. Gadis macam apa pulang malam-malam. Aku yang laki-laki saja dimarahi ibuku kalau pulang melebihi azan magrib. Katanya, kalau anak-anak seperti kami masih bermain di luar rumah waktu magrib, maka bisa-bisa kami diculik wewe gombel. Aku bergidik merinding membayangkannya. Si Wati justru malah berani pulang malam. Memang ibunya tidak mencarinya apa?

“Tri, ayo pulang!” Aku baru saja akan bertanya lagi ke Wati ketika Bapak memanggilku dari jauh.

*

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Malam harinya, aku dan keluargaku makan malam lebih terlambat dari biasanya. Aku yang membawa kayu bakar untuk memasak tadi mampir menghampiri Wati dulu, jadi ibu baru memasak setelah aku pulang. Sudah kuduga, ibuku tak henti-hentinya mengomel.

“Sudah lah, Bu. Makan enak-enak gini sambil ngomel kan jadi nggak enak.” Bapak berusaha menenangkan.

“Dengar-dengar dari tetangga, Si Wati temannya Tri itu tiap hari dipukuli ibunya, Pak. Ibu kok jadi kasihan. Bapak cobalah laporkan ke Pak RT, Pak,” cerita ibu mengalihkan pembicaraan.

Aku tak jadi melahap nasi dan sambal di tanganku yang sedetik lagi mendarat di mulutku. “Wati dipukuli ibunya, Bu?” tanyaku memastikan.

Kemudian ibu menceritakan bahwa setiap hari Wati dipukuli ibunya karena ibunya stres banyak hutang. Itu sebabnya Wati sering pulang malam ketika ibunya sudah tidur, supaya gadis itu tidak diamuk. Lalu esok harinya, Wati akan bangun pagi-pagi sekali, membersihkan rumah, memasak, dan mencuci baju sebelum berangkat sekolah. Jelas supaya ibunya tidak makin mengamuk. Ibuku mendengarnya dari tetangga yang merumpi di pasar pagi-pagi.

*

Keesokan harinya, pada sore hari aku menghampiri Wati lagi. Bahkan hampir setiap sore aku menemuinya di bawah pohon mangga itu. Rasanya tidak tenang melihat gadis itu sedih dan terluka. Aku selalu menghiburnya dengan candaan yang kadang lucu kadang tidak. Meski begitu, Wati tampak bahagia dengan kehadiranku.

Aku menggoreskan  uang koin sisa uang sakuku di batang pohon mangga. “Wati jelek,” tulisku pada batang pohon.

“Tri lebih jelek,” tulis Wati membalas tulisanku. Ah, tulisan dia bagus sekali. Seperti orangnya, cantik.

Hingga beberapa hari kemudian, kami memiliki mainan baru. Saling mengejek dengan menulis di batang pohon mangga dekat lapangan sepak bola kampung. Sampai aku iseng menulis dengan tulisan paling jelek agar Wati tidak bisa membacanya. “Wati jelek, Tri suka Wati.” Gadis itu marah-marah karena penasaran dan aku tidak mau menjawabnya.

**

“Jadi, kakek dan nenek dulu sebelum menikah bertemu di pohon mangga itu lagi?”

“Betul, kakek dan nenek dipertemukan oleh pohon mangga itu. Dan akhirnya, nenekmu tahu isi pesan dari tulisan kakek yang jelek sekali.”

Aku membenarkan kacamataku yang miring. “Kakek sangat mencintai nenekmu. Cinta kita akan selalu ada di hati kakek. Kamu harus jadi wanita kuat seperti nenekmu, ya!”

Aku membelai rambut cucuku. Kami berjalan beriringan meninggalkan tempat pemakaman. Ah, di masa depan kelak kau akan menemukan cinta sejati juga, Cu.

***

Baca Juga: [Cerpen] Lukisan Musim Kemarau

Vera Ditias Photo Writer Vera Ditias

Penggemar gula jawa

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya