[CERPEN] Kita, Pantai, dan Cinta

Perasaan yang terpendam, lama-lama akan meluber keluar

Gadis itu masih belum jemu melekatkan pandangannya ke batas-batas horizon. Lagit, sedikit awan, ombak yang menepi dan beranjak, perahu-perahu cadik, biru. Begitu sabar ia duduk bersila, menopang dagu dan menonton camar-camar yang hinggap dan terbang di layar nelayan tanpa permisi.

Dua orang anak menenteng ember dan cetakan pasir di tepi pantai yang basah, diabaikannya. Pak tua yang dengan sopan  menawarkan air kelapa muda, ia acuhkan. Perempuan itu begitu acuh dan tak menganggap penting segala yang terjadi di dekitarnya kala itu.

Lumrahnya, orang yang mengalami gejala iu adalah mereka yang duduk di selasar rumah sakit, sementara orang terkasihnya terbaring di ruangan khusus. Mereka akan begitu gelisah menunggu sang dokter keluar dan mengabarkan kondisi orang itu. Begitu cemas sampai tak peduli ada petugas wanita yang kewalahan membereskan berkasnya ang berjatuhan. Waktu yang begitu mencekamnya.

Pun dengan gadis itu, bukan karena orang terdekatnya tengah dihinggapi musibah mengancam nyawa, tapi ada yang ditunggunya di batas horizon itu. Akan ada kapal yang pulang, membawa orang yang dinantinya sejak lama. Begiu cemas masa ini. Begitu lama matahari bergerak. Tengah ia bayangkan, tak lama lagi lautan biru akan berubah merah muda. rasanya yang asin akan mengharum dan memanis. Bebatuan karang itu, tak ubahnya karangan bunga selamat datang.

Setelah semua itu, adakah yang akan mengganggu fokusnya?

**

Di dalam panggung yang penuh dengan pemeran dan naskah-naskah takdir bernama kehidupan, banyak bagian-bagian penting yang akan memengaruhi hidup seseorang. Entah itu soal arah hidup, tempat bersandar kala lelah, atau sekedar kawan untuk menikmati waktu, atau bahkan seseorang itu sudah menjadi kehidupan itu sendiri.

Bagi Senja, Surya adalah seseorang itu. Jika bukan karena ia diahirkan dari seorang ibu atau dibesarkan dengan nafkah seorang ayah, sudah barang  tentu lelaki itu orang nomor satu dalam hidupnya. Dari masa ia menyukai boneka barbie dan istana pasir sampai ia usia beranjak dewasa sekarang ini, Surya, lelaki sederhana itu sudah menjadi kawan dalam hal apa pun.

Begitu pula dengan Surya, ketika Tuhan menakdirkan ia tidak diberikan seorang adik, Senja adalah orang yang akan setia mendengarkan ceritanya saat dimarahi ibu. Persis seperti seorang adik. Banyak waktu yang mereka habiskan bersama. Dari pagi sampa sore. Sampai orang-orang akan bertanya heran jika sehari saja mereka tak bersama. Sahabat memang orang yang paling banyak merampas waktu kita. Dan itu menyenangkan.

“Seperti semut dan gula.”

Begitu kata Senja, saat mereka berbincang tentang arti sahabat.

“Seperti laut dan perahu,” Surya menambahkan.

“Siapa yang laut, siapa yang perahu?”

Senja, gadis berlesung pipi itu bertanya jahil.

“Kamu perahu, aku lautnya.”

Gadis itu tak memalingkan wajah, tetap menghadap Surya. Menunggu kalimat selanjutnya. “karena kemanapun kamu melangkah, selalu saja tak pergi dari duniaku.”

“Dan lautnya?”

“Aku akan terus memberikan jalan terbaik saaat kamu melangkah, seperti laut yang bahagia melihat perahunya di permukaan, tak sudi mengirimkan gelombang.”

Senja terkekeh-kekeh.

Dulu, kala usianya menginjak 7 tahun, untuk pertama kalinya ia dibolehkan keluar rumah tanpa ditemani ibunya. Dan tentu saja, tempat pertama yang ditujunya adalah pantai. Begitu kagum ia melihat genangan air maha luas itu. Tak berujung. Mulutnya menganga. Ombak yang berdebur keras begitu mempesonanya.

Sementara itu, sepelempar batu dari kakinya berpijak, seorang anak lelaki bertelanjang dada, yang badannya penuh pasir, tengah asyik meremah-remah pasir-pasir itu dengan tangan mungilnya. Gadis yang penuh dengan rasa penasaran itu mengamati lama. Dilihatnya anak lelaki itu menggali, mencetak, hingga menghancurkannya lagi. Lantas mengulangi hal yag sama berkali-kali.

Senja mendekat, “Boleh ikutan?”

Dia hanya tersenyum, lantas memberikan sekop kecil pada senja dan menyuruhnya menggali.

“Kamu siapa?” Anak itu bertanya dengan nada perahabatan.

“Senja.”  Dia hanya diam memerhatikan senja yang menggali semangat. “Kalau kamu siapa?” Senja memutar kepala menghadap anak itu.

“Namaku Surya.”

Itulah awal dari hubungan ersahabatan yang mereka jalani.

Saban sore, mereka sealu menghabiskan waktu di pantai ini. Ada banyak hal yang mereka lakukan. Mencari bulu babi, memanah ikan, atau menangkap kumbang saat air sedang surut, mengubur badan sambil berjemur, dan tentu saja, hal yang palig senja suka adalah menaiki cadik.

 “Apa menurutmu kekuasaan ratu pantai selatan meliputi pantai ini?”

Seperti biasa, gadis yang hobi melukis itu bertanya hal yang aneh.

“Ratu pantai selatan itu mitos, Bung!”

“Bagaimana jika mitos itu benar adanya?”

“Tapi itu hanya mitos.”

“Seandainya ada?”

“Salahkan kata seandainya milik kamu itu.”

“Tapi jika ada?”

Surya menghela nafas, “Para ikan di laut kita adalah makhluk merdeka, mereka punya hak penuh untuk bernaung di jala nelayan atau di mulut ikan hiu. Dan barangkali, martabat mereka akn turun jika harus tunduk pada makhluk tak jelas jenis, entah manusia, entah jin.”

Lagi, Senja terkekeh-kekeh.

Keduanya telah menjadi pantai sebagai penjara yang mengasyikkan. Terkadang, sembari menemani surya membantu ayahnya memperbaki jala, Senja bercerita betapa tidak menyenangkannya menjadi ketua OSIS. Ia terus menggerutu tentang murid-murid yang susah diatur saat ada acara sekolah, banyaknya rapat dewan guru yang tentu saja ia yang harus mengurus segalanya, sampai-sampai persoalan teman dekatnya yang iri karena kalah dalam kontestasi politik dalam ruang lingkup sekolah.

“Suruh siapa jadi ketua?”

Senja meninju perut Surya.

Sementara Surya tidak banyak mengeluh dengan kehidupan sekolahnya. Lelaki itu sudah sangat bersyukur bias sekolah, di saat banyaknya anak nelayan yang justru terlalu sibuk membantu ayah mereka di tengah lautan berhari-hari lamanya. Terkadang harus berminggu-minggu.

Anak-anak nelayan lain banyak yang menganggap pendidikan tak penting sama sekali. Bagi mereka, kehidupan itu adanya di sana, di tengah laut yang banyak hidup ikan tuna, bukan di ruang kelas yang penuh aturan. Ada ikan, ada kehidupan. Beruntung sekali ia punya orangtua yang keluar dari jerat paham kuno.

Begitulah, Senja dan Surya harus sekolah di tempat yang berbeda. Perbedaan ekonmi merupakan alasannya. Senja yang dari kecil hidup cukup, punya pilihan untuk menempuh pendidikan di manapun, jenjang apapun. Ayahnya sebagai pemilik pabrik perahu, bahkan menawarinya sekolah di ibukota. Namun Senja menolak.

Sementara Surya, dengan lapang dada ia menerima disekolahkan di tempat biasa. Sekolah swasta yang muridnya hanya seperempat dari sekolah senja. Meski begitu, ia tetap menjadi anak yang gemilang. Surya yang sangat pandai dalam mata pelajaran bahasa indonesia, menjadi guru bahasa senja. Namun senja yang angat suka seni rupa tak dapat berbuat banyak untuk mengajari Surya cara menggambar karena anak itu tak suka kuas dan cat air.

“Tulisan lebih bisa mengabadikan tempat dan kejadian,” begitu katanya. Namun senja tak setuju. Dia mebantah, “kita bisa tahu perjuangan hidup seorang petani eropa dari lukisan potato eaters. Nyatanya, lukisan bukan hanya mengabadikan kenangan, tapi juga perjuangan.”

Surya tersenyum. Jika ia membantah, maka akan ada bantahan lain. Begitu seterusnya. bantah-membantah, sampai menghabiskan banyak waktu. Gadis itu tak pernah mau mengalah. Jikalau pun ia kalah bicara, ujung-ujungnya tonjokan akan melayang ke perutnya.  Itu tak mengapa, ia senang dengan itu.

Jika tak ada pekerjaan yang harus dilakukan Surya sebaga anak berbakti dari seorang  nelayan sederhana, ia biasanya meminjam cadik ayahnya untuk berlayar ke tepian lautan. Sekedar bermain-main, bersama senja tentu saja.

Momen inilah yang sangat dinanti-nanti gadis ceria itu. Karena di atas permukaan air yang tenang itu, ia merasakan seakan alam mampu bicara padanya. Ayunan gelombang pelan itu menggoyang-goyang pelan cadik mereka. Sementara terik matahari yang menghujam ke permukaan air tampak berkilauan.

“Diffuse reflection!” Surya berseru.

Senja mengeleng.

“Itu specular reflection.” 

Kini surya yang menggeleng kepala.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Sebagian cahaya memantul di permukaan. Sebagian lagi menerobos ke dasar terumbu karang. Jika ia menyelam, sudah barang tentu dapat dia temui anemone, kima , bintang laut, bulu babi, teripang, kuda laut. Barang kali, setiap malam jum’at mereka pun melakukan kenduri.

Sementara Surya mendayung, Senja mengobok-obok permukaan air. Dulu, saat ayahnya mengajak Senja pertama kali naik cadik, ia melakukan hal yang sama. Sembari iseng meminum sedikit airnya. Asin. Ayahnya langsung marah saat itu. Hingga kini ia masih suka melakukan hal yang sama. Hanya saja, ia tak tahu apakah Surya akan marah atau tidak jika ia meminum air laut itu. Kenapa tidak mencari tahu?

“Hei…”

Surya mengangkat dayung, berposisi seperti seorang guru yang siap memukul bokong muridnya yang nakal. Padahal, belum juga setetes air asih itu masuk mulut.

“Jika kamu minum air laut, sama saja dengan merebut hak para ikan.”

Senja terkekeh. Lagi.

“Apa maksudnya hak para ikan?”

“Tuhan menciptakan alam semesta dengan adil. Setiap makhluk punya dunia yang tidak bisa dijangkau makhluk lain…,” panjang lebar lelaki itu ‘becermah’ tentang hak dan hak asasi, tentang hidup, filosofi lautan, dan masih banyak lagi, yang semuanya hampir tak dapat diingat Senja.

Ia mendengarkan seksama. Menatap wajahnya lamat-lamat. Ada gurat kedewasaan di sana. Ada sorot keikhlasan pada kedua matanya. Jika terenyum, lelaki itu memancarkan keramahan. Jika marah, sama sekali tak membuat takut. Wajah dengan dengan warna kulit putih kecoklatan karena sengatan matahari.

Raut itukah yang selalu dirindukannya saat malam menjelang tidur? Wajah itukah yang selalu diingatnya saat sendiri di atas kasur sambil memilin ujung selimut, lalu tersenyum-senyum sendiri? Diakah yang selalu disebutnya dalam doa?

Semilir angin laut memukul halus daun kelapa, mengembangkan layar perahu nelayan, dan mendesir di dadanya. Diakui atau tidak. Senja menyukai Surya. Sudah lama rasa itu tumbuh. Namun tak diungkapnya. Dibiarkan mengendap dalam, seperti ikan Barrel yang menetap di dasar lautan.

Begitulah, dua sahabat itu selalu menghabiska waktu bersama. Entah itu di bawah nyiur yang bengkok, di atas pasir yang yang panas, atau di atas cadik di tepi lautan yang bergelombang tenang. Hari- hari berlalu cepat.

Tak terhitung berapa lubang jala yang diperbaiki, hampir lapuk dayung itu dikayuh tangan kekarnya. Pasir-pasir yang tak tahu rupa karena diacak-acak senja, menjadi merona kembali ratusan kali. Waktu berjalan, dan kita pun berjalan. Seragam SMA yang mereka kenakan, kamarin sore sudah berubah menjadi kenangan. pada  akhirnya, perpisahan itu selalu datang pada siapa pun.

Seseorang pernah berkata bahwa perpisahan itu hampir sama dengan kematian. Tidak mungkin tak berkunjung pada kehidupan seseorang. Sekalipun kamu terjaga di antara benteng yang kokoh, yang dindingnya menjulang tinggi, tembokmya kuat dan gagah, lalu dijaga dengan ribuan tentara perang berhunus tombak, kematian itu akan datang juga meski diantarkan oleh setetes racun. Seperti itulah perpisahan.

Sehebat apa pun rencana kita, seerat apapan tali batin antar dua manusia, ia tetap akan datang. Mengendap-endap. Berjinjit. Lalu lari pergi membawa seseorang yang hidup dalam hari-hari kita. Perpisahan itu, tak lama lagi bertamu kepada Surya dan senja. dengan gugup, surya berpamit.

“Jauh sekali…,” Senja mendesis pelan.

Ombak berdebur pelan. Riak-riak camar halus menerobos daun telinga. Pohon nyiur masih bengkok seperti dulu, hanya kegagahnnya sedikit berkurang. Tak lama lagi, matahari akan redup. Surya hanya diam. Diambilnya segenggang pasir, diremas-remas, dilempar, diambil lagi segengam. Masa yang sulit.

“Semua tahu, Ibukota adalah tempat yang cocok untuk mengubah nasib, kan?” Ia coba mencairkan suasana

“Tapi itu artinya kamu harus menyebrang pulau, menyeberang lautan.” Gadis itu belum mau memalingkan wajah pada orang yang diajak bicara.

“Hanya lautan.”

Hanya lautan?

“Kalau kau pergi, siapa yang akan menambal jala, siapa yang merawat cadik, yang bantu angkut ikan bapak kau siapa?”

Surya tersenyum. Ia tahu, itu hanya basa-basi unuk menegah pergi. Senja pun tahu, tak ada yang dapat menahan lelaki itu di sini.

“Ja, aku sudah bilang ini sama Bapak Ibu, mereka mengerti. Ini juga untuk mereka. Aku harus bekerja di Ibukota. Sudah banyak berhutang aku pada mereka. Setidaknya, gubuk reot kami, akulah yang harus renovasi. Semua itu butuh uang, kan? Lagipula, kita sudah sepakat untuk mengejar cita-cita kita masing-masing, kan?  Dengan memiliki penghasilan, aku bisa melanjutkan pendidikanku. Banyak juga yang bilang, di sana banyak universitas yang jurusan sastranya bagus.”

Senja terdiam.

Sesaat hening.

“Tapi bagaimana jika…,” kalimat itu terhenti. Seperti ada sekat yang menahan kata-katanya keluar. Senja memilin-milin ujung jilbabnya. Mengepalkan tangan. Tanda-tanda yang aneh pada wanita. “Bagaimana jika… aku merindukanmu…?”

Matahari semakin  tergelincir jatuh ke pojok lautan. Awan gemawan memerah. Pasir-pasir memerah, cahara kemerahan berpendar di permukaan laut yang datar. Wajah senja memerah. Mata kedua orang itu memerah. Hanya airmata yang tetap bening.

“Aku akan kembali tahun depan.” Surya meniup pasir yang digenggamnya, “pastikan kau menjemputku di sini”

Akhirnya Surya pergi. Gadis itu mengantar  sampai pelabuhan.

Apa pendapatmu tentang perpisahan?

Apakah ia semacam penagih utang yang menyita barang-barang kesayanganmu?

Apakah wajudnya sama dengan iblis yang merenggut kebersaman Adam dan Hawa?

Hei, bukankah mereka adalah manusia pertama yang meresakan pedihnya perpisahan?

Jika begitu, sudah barang tentu anak cucu mereka juga merasakan hal yang sama. Iya, kan?

**

Hari-hari selanjutnya begitu hampa bagi Senja. Tiada orang yang akan menemaninya lagi menghabiskan sore di tepi pantai, tak ada lagi orang yang dengan senang hati mendayung cadik yang ia tumpangi. Tak lagi didatanginya pantai itu saban hari.

Perlahan, ia tenggelam dalam kesibukkannya di kampus pusat kota. Ia mencoba hidup untuk tidak bergantung pada orang lain. Sengaja ia sibukkan hari-harinya dan hanya menyisakan wajah Surya di ujung malam sebelum ia terlelap. Rindu yang menghujam.

Terkadang ia bertanya pada dirinya sendiri, bagaimana caranya rasa cinta bisa tumbuh diam-diam tanpa ia minta. Ia tak pernah berencana untuk mengagumi surya sedemikian hebat. Ia pun ingin tahu, kenapa pria dengan hidup yang susah seperti surya mampu membuatnya terpesona. Apakah tutur katanya? Apakah ketulusannya? Atau cara dia berpikir tentang hidup? Dan satu hal yang paling mengganjal dalam hatinya, apakah pria itu memiliki rasa yang sama padanya, melebihi seorang sahabat?

Misteri-misteri itu membuatnya begitu gelisah. Lama ia merenung tiap malam. Sampai tibalah pada sebuah keputusan, perasaan harus diungkapkan.

Telah ia susun rencana saat Surya pulang nanti. Pria itu akan diajaknya untuk naik ayunan yang diikatkan pada nyuir bengkok tempak mereka duduk dahulu. Lalu saat hari mulai gelap dan sepi, momen romantis tiba ia akan bicara semuanya, saat ini ayunan itu belum ada, ia kan meyiapkannya. Jika ia gagal, ia berencakan menyiapkan cadik paling bagus, paling baru, dia sendiri yang akan mendayungnya,

            Kini ia hanya tinggal menunggu,

            Senja senyum-senyum sendiri.

Sampai tibalah masa itu. Pagi-pagi sekali ia datang dan duduk di kursi kayu lapuk dekat pelabuhan. Duduk menunggu. Pagi-siang-sore, belum ada kapal yang menepi dan melepas sauh.

Gadis itu masih belum jemu melekatkan pandangannya ke batas-batas horizon. Lagit, sedikit awan, ombak yang menepi dan beranjak, perahu-perahu cadik, biru. Begitu sabar ia duduk bersila, menopang dagu dan menonton camr-camar yang hinggap dan terbang di layar nelayan tanpa permisi. Dua orang anak menenteng ember dan cetakan pasir di tepi pantai yang basah, diabaikannya. Pak tua yang dengan sopan  menawarkan air  kelapa muda, ia acuhkan. Perempuan itu begitu acuh dan tak menganggap penting segala yang terjadi di dekitarnya kala itu.

Lumrahnya, orang yang mengalami gejala iu adalah mereka yang duduk di selasar rumah sakit, sementara orang terkasihnya terbaring di ruangan khusus. Mereka akan begitu gelisah menunggu sang dokter keluar dan mengabarkan kondisi orang itu. Begitu cemas sampai tak peduli ada petugas wanita yang kewalahan membereskan berkasnya yang berjatuhan.  Waktu yang begitu mencekamnya.

Ia tetap sabar.

Hingga saat matahari setengah lenyap, terlihat titik hitam di kejauhan, yang semakin lama semakin membesar dan terlihatlah sebentuk kapal yang gagah. Ia berlari ke pelabuhan. Tawanya mengembang. Surya telah kembali.

Kapal telah sempurna menepi, jembatan dibuka. Para penumpang keluar berhamburan menghammpiri orang yang menjemput mereka. Senja memfokuskan pandangan. Pria dengan kemeja biru, rambut bergelobang, wajahnya agak putih, dan berbadan sedang, berjalan ke arahnya. Di sampingya wanita bergaun biru, tinggi semampai dengan rambut yang merumbai-rumbai, alisnya tebal, dengan wajah yang tirus dan kacamata bulat, orang itu sangat cantik seperti  gadis ibukota lainnya. Mereka bergandengan tangan.

Selangkah di depan Senja, pria itu tersenyum ramah.

“Hai Senja, terima kasih sudah mejemput. Kenalkan, ini Sarah, tunanganku dari Jakarta.”***

 

Depok, 30 Januari 2019

Baca Juga: [CERPEN] Malam Minggu ke Delapan Puluh Empat

Yana Photo Writer Yana

Jika kehidupan adalah rerumputan, maka menulis adalah hujan yang membuatnya tumbuh kian hijau

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya