Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Perbedaan Makan Siang Sekolah di Jepang dan Indonesia

Ilustrasi murid sekolah sedang makan siang (pexels.com/Yan Krukau)

Pernahkah kamu bertanya-tanya, bagaimana makan siang di sekolah-sekolah di negara lain? Salah satu yang menarik perhatian adalah makan siang di sekolah Jepang yang terkenal teratur, sehat, dan mendidik. Sementara itu, Indonesia juga mulai menerapkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk meningkatkan kesehatan generasi muda.

Meskipun sama-sama bertujuan memberikan asupan gizi yang baik bagi siswa, sistem makan siang di kedua negara ini memiliki banyak perbedaan. Mulai dari pendidikan tentang gizi, peraturan pemerintah, hingga cara penyajian makanan, semuanya memiliki ciri khas tersendiri.

Simak lima perbedaan utama antara makan siang di sekolah Jepang dan Indonesia yang mungkin belum kamu ketahui berikut ini!

1. Pendidikan tentang gizi makanan

Ilustrasi murid sekolah sedang makan siang (pexels.com/Anastasia Shuraeva)

Di Jepang, pendidikan tentang gizi makanan diberikan secara rutin di sekolah. Sebelum makan siang, guru memberikan penjelasan singkat selama 2-3 menit tentang pentingnya asupan nutrisi dan pencegahan sampah makanan. Materi tersebut disampaikan dengan cara yang menarik, seperti ilustrasi gambar dan suara, sehingga anak-anak lebih mudah memahaminya.

Di Indonesia, program Makan Bergizi Gratis (MBG) masih fokus pada pemberian makanan tanpa disertai edukasi yang memadai tentang gizi. Siswa menerima makanan sehat, tetapi belum diajarkan secara rutin mengenai pentingnya menjaga pola makan yang baik. Jika pendidikan tentang gizi diperkuat, generasi muda Indonesia bisa tumbuh dengan kebiasaan makan yang sehat dan berkelanjutan.

2. Peraturan pemerintah tentang makan siang sekolah

Ilustrasi murid makan siang di sekolah (pexels.com/Yan Krukau)

Jepang memiliki Undang-Undang (UU) Dasar Pendidikan Pangan yang diberlakukan sejak 2005. Aturan ini menjadi panduan untuk menyusun menu makan siang dan memastikan setiap siswa mendapatkan asupan gizi yang seimbang. UU tersebut juga bertujuan menanamkan rasa syukur, kebiasaan makan sehat, dan pemahaman tentang budaya makan.

Sedangkan, di Indonesia, belum ada UU khusus yang mengatur pelaksanaan program MBG secara berkelanjutan. Program ini saat ini dijalankan melalui kebijakan pemerintah, tetapi belum memiliki dasar hukum yang memastikan keberlangsungannya pada masa depan. Jika regulasi ini diperkuat, program MBG bisa menjadi langkah jangka panjang untuk meningkatkan kesehatan dan kecerdasan anak-anak Indonesia.

3. Biaya makan siang sekolah

Ilustrasi mata uang Jepang (pexels.com/Q L)

Perbedaan biaya makan siang di kedua negara ini cukup signifikan. Di Indonesia, siswa yang mengikuti program MBG tidak perlu membayar sepeser pun, karena seluruh biaya ditanggung pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Setiap porsi makanan diperkirakan bernilai sekitar Rp10.000.

Sebaliknya, di Jepang, sebagian besar biaya makan siang ditanggung orangtua murid, dengan biaya sekitar 230 Yen atau sekitar Rp24.000 per porsi. Namun, di beberapa daerah, pemerintah setempat menyediakan makan siang gratis sebagai bentuk dukungan bagi keluarga yang membutuhkan. Meski berbeda dalam pembiayaan, kedua negara ini sama-sama berusaha memastikan anak-anak mendapatkan makanan bergizi di sekolah.

4. Tempat produksi dan penyajian makanan

Ilustrasi murid makan siang di sekolah (pexels.com/Yan Krukau)

Di Jepang, makanan untuk makan siang disiapkan langsung di dapur sekolah oleh tenaga ahli gizi yang bersertifikat. Setiap sekolah memiliki dapur sendiri, sehingga makanan selalu segar dan sesuai kebutuhan gizi para siswa. Para guru juga terlibat dalam proses penyajian, sehingga anak-anak merasa lebih dekat dengan makanan yang mereka konsumsi.

Di Indonesia, makanan untuk program MBG diproduksi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tersebar di berbagai titik. Setelah diproduksi, makanan dikirim ke sekolah-sekolah terdekat. Meskipun metode ini memungkinkan distribusi makanan dalam jumlah besar, tantangan utamanya adalah menjaga kualitas dan kesegaran makanan saat sampai di tangan siswa.

5. Target penerima program makan siang

Ilustrasi murid makan siang di sekolah (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Target penerima program makan siang di kedua negara ini juga berbeda. Di Jepang, program makan siang sekolah atau yang disebut kyushoku hanya tersedia untuk siswa di tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Fokusnya adalah membentuk kebiasaan makan sehat sejak dini.

Sementara itu, di Indonesia, program MBG memiliki cakupan yang lebih luas. Selain untuk siswa sekolah di semua provinsi, program ini juga ditujukan untuk ibu hamil, ibu menyusui, dan anak-anak di bawah usia lima tahun (balita). Langkah ini bertujuan mengatasi masalah gizi sejak dini, serta menciptakan generasi yang lebih sehat dan cerdas.

Setiap negara memiliki pendekatan yang berbeda dalam menyediakan makan siang di sekolah, sesuai dengan budaya dan kebijakan masing-masing. Jepang dan Indonesia sama-sama berusaha memberikan asupan gizi yang sehat, agar anak-anak bisa tumbuh optimal.

Siapa tahu, di masa depan, Indonesia bisa menggabungkan keunggulan dari kedua sistem ini untuk menciptakan generasi yang lebih sehat, cerdas, dan bahagia!

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sinta Listiyana
Dewi Suci Rahayu
Sinta Listiyana
EditorSinta Listiyana
Follow Us