Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mengapa Eropa Tidak Pakai Nasi sebagai Karbohidrat Utama?

ilustrasi makan nasi (pexels.com/Meruyert Gonullu)
Intinya sih...
  • Iklim Eropa yang tidak cocok untuk pertanian padi memengaruhi pola makan karbohidrat.
  • Sejarah perdagangan dan kebiasaan masyarakat Eropa membentuk preferensi terhadap roti, gandum, dan kentang.
  • Tekstur, rasa, harga, dan ketersediaan bahan makanan juga menjadi faktor utama dalam memilih karbohidrat utama.

Kalau bicara soal makanan pokok, orang Indonesia pasti langsung teringat nasi. Nasi putih jadi raja di meja makan, mulai dari sarapan sampai makan malam. Tapi begitu pergi ke Eropa, pemandangan ini langsung berubah total. Di sana, justru roti, pasta, atau kentang yang jadi bintang utama sebagai sumber karbohidrat harian.

Fenomena ini sering bikin bingung dan penasaran: kenapa sih orang Eropa gak pakai nasi sebagai karbohidrat utama mereka? Padahal nasi enak, murah, dan gampang diolah. Nah, ternyata alasannya bukan sekadar soal selera atau budaya, tapi ada faktor sejarah, geografi, hingga kebiasaan masyarakat yang sudah terbentuk selama berabad-abad. Yuk, kupas satu per satu alasannya!

1.Iklim eropa gak cocok buat menanam padi

ilustrasi menanam padi (freepik.com/freepik)

Tanaman padi butuh iklim tropis dan lahan berair untuk tumbuh dengan baik. Sementara itu, sebagian besar wilayah Eropa punya iklim sedang hingga dingin, dengan musim dingin yang cukup panjang. Kondisi ini bikin pertanian padi jadi sulit dilakukan secara luas dan efisien di Eropa. Padi juga butuh curah hujan tinggi dan sinar matahari konsisten, dua hal yang cukup langka di banyak bagian Eropa.

Karena itu, masyarakat Eropa sejak dulu lebih memilih tanaman yang sesuai dengan iklim mereka seperti gandum, rye, barley, dan kentang. Tanaman-tanaman ini bisa tumbuh di suhu yang lebih dingin dan gak butuh lahan yang selalu tergenang air. Akhirnya, bahan-bahan seperti gandum dan kentang jadi karbohidrat utama dalam keseharian mereka, sementara nasi hanya hadir sebagai makanan alternatif atau eksotis.

2.Sejarah perdagangan dan kolonialisme berpengaruh besar

ilustrasi sejarah perdagangan Eropa (commons.wikimedia.org)

Di Asia, terutama Asia Tenggara dan Timur, padi sudah jadi makanan utama sejak ribuan tahun lalu. Tapi di Eropa, sejarah pertanian dan perdagangan membentuk pola makan yang sangat berbeda. Sejak zaman Romawi, orang Eropa udah terbiasa mengonsumsi gandum dan hasil olahan gandum seperti roti. Begitu masuk ke era kolonialisme, justru Eropa-lah yang mengambil rempah, teh, dan beras dari Asia, bukan sebaliknya.

Beras memang sempat masuk ke Eropa lewat jalur perdagangan, tapi harganya mahal dan hanya bisa diakses oleh kalangan bangsawan. Jadi, sampai sekarang pun nasi belum benar-benar akrab di dapur keluarga Eropa, kecuali dalam bentuk masakan etnis seperti risotto dari Italia atau nasi paella dari Spanyol yang lebih sebagai makanan khas daerah, bukan makanan pokok harian.

3.Gaya hidup dan pola makan yang lebih praktis

ilustrasi sarapan roti (freepik.com/drobotdean)

Orang Eropa cenderung punya pola makan yang simpel dan cepat. Banyak dari mereka sarapan dengan roti, keju, dan kopi yang bisa disiapkan dalam hitungan menit. Roti atau sereal lebih cocok buat gaya hidup yang serba cepat ini. Sementara itu, memasak nasi butuh waktu lebih lama dan harus diawasi supaya gak gosong atau terlalu lembek, kecuali pakai rice cooker yang notabene bukan peralatan standar di dapur Eropa.

Selain itu, menu harian di Eropa sering kali fokus pada satu jenis karbohidrat saja per makan, tanpa harus berlimpah seperti nasi dan lauk pauk dalam budaya makan Asia. Roti atau kentang rebus sering kali udah cukup ditemani sepotong daging atau salad. Jadi, gak heran kalau nasi gak masuk dalam menu utama mereka secara rutin.

4.Preferensi rasa dan tekstur yang berbeda

ilustrasi makan nasi (pexels.com/Meruyert Gonullu)

Buat banyak orang Eropa, tekstur nasi yang lembut dan agak lengket kadang terasa aneh di lidah. Mereka lebih terbiasa dengan karbohidrat yang punya tekstur padat, renyah, atau kenyal seperti roti kering, pasta al dente, atau kentang panggang. Tekstur dan cara memasak ini udah sesuai dengan preferensi rasa yang dibentuk dari kecil, jadi nasi terasa asing di lidah.

Selain itu, rasa nasi yang netral kurang menarik buat mereka yang biasa mengonsumsi karbohidrat dengan rasa yang lebih berkarakter. Roti bisa punya rasa asam dari sourdough, kentang bisa diolah jadi gurih dengan mentega atau krim, dan pasta bisa dibumbui dengan saus kaya rasa. Walaupun nasi bisa juga dibumbui, bagi mereka itu tetap bukan pilihan utama karena terlalu jauh dari apa yang mereka kenal sejak kecil.

5.Ketersediaan dan harga bahan makanan di pasar lokal

ilustrasi pasar lokal Eropa (freepik.com/DC Studio)

Di banyak negara Eropa, bahan makanan seperti gandum dan kentang jauh lebih murah dan mudah didapat daripada beras. Supermarket besar mungkin punya stok nasi, tapi pilihan dan variasinya gak sebanyak di negara Asia. Bahkan di beberapa tempat, beras justru dianggap sebagai produk impor yang mahal, terutama jenis-jenis khas Asia seperti jasmine atau basmati.

Hal ini bikin masyarakat Eropa lebih memilih bahan yang sudah akrab dan terjangkau untuk konsumsi harian. Lagipula, kebiasaan konsumsi juga terbentuk dari apa yang tersedia di pasar lokal. Kalau dari kecil lebih sering lihat roti dan kentang di rumah atau toko, maka otomatis itu yang dianggap normal dan enak, sedangkan nasi tetap jadi pilihan minoritas.

Akhirnya, pilihan karbohidrat utama memang sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, mulai dari iklim dan sejarah hingga kebiasaan dan rasa. Di Eropa, nasi bukanlah makanan yang dibenci, hanya saja gak tumbuh sebagai bagian dari budaya sehari-hari mereka. Buat orang Asia, nasi itu wajib, tapi buat orang Eropa, cukup jadi pelengkap sesekali. Seru ya, lihat bagaimana makanan mencerminkan cara hidup dan sejarah suatu tempat?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us