TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Studi: Konsumsi Tinggi Protein Jaga Otot Tubuh saat Diet

Meningkatkan asupan protein saat diet dianggap menyehatkan

ilustrasi kelebihan berat badan atau obesitas (unsplash.com/Towfiqu barbhuiya)

Siapa yang tidak ingin memiliki tubuh ideal? Salah satu kiat untuk mendapatkannya adalah dengan menerapkan gaya hidup sehat. Dari berbagai unsur gaya hidup sehat, pola makan adalah salah satu yang paling penting namun yang paling sering dilanggar.

Berbagai program diet bertujuan untuk mencari pola makan yang tepat agar tubuh tetap ideal dalam jangka panjang. Menurut penelitian terbaru, salah satu kiat yang bisa dilakukan adalah dengan mengutamakan konsumsi protein sementara menerapkan batasan kalori.

1. Libatkan ratusan pasien obesitas

ilustrasi obesitas (pixabay.com/jarmoluk)

Meningkatkan konsumsi protein saat menjalani program diet dianggap menyehatkan. Apa yang menjadi faktor di baliknya? Inilah yang dicari oleh para peneliti dari Amerika Serikat (AS).

Dimuat dalam jurnal Obesity, para peneliti AS mencari tahu bagaimana perubahan konsumsi protein bersama pembatasan kalori mengubah kualitas diet dan massa tubuh bebas lemak (LBM). Penelitian ini melibatkan 207 partisipan yang mengidap obesitas. Mereka menjalani program penurunan berat badan selama 6–12 bulan.

Para peneliti memantau para partisipan selama 6 bulan sebelum dan sesudah program tersebut, termasuk kualitas diet dan sumber protein.

Teknologi dual-energy X-ray absorptiometry digunakan untuk memantau komposisi tubuh dan asupan makan. Berdasarkan asupannya, para peneliti membagi 207 partisipan ke dalam dua kelompok:

  • Rendah asupan protein (58 gram/hari).
  • Tinggi asupan protein (79 gram/hari).

Baca Juga: 8 Kacang Tinggi Protein, Teman Baik saat Ngemil

2. Hasil: Konsumsi protein menjaga tingkat LBM tubuh

Pada penelitian bertajuk "Higher protein intake during caloric restriction improves diet quality and attenuates loss of lean body mass" ini, para peneliti menemukan bahwa para partisipan, baik dalam kelompok tinggi maupun rendah protein, sama-sama menurunkan berat badan dalam persentase yang sama, yaitu 5 persen.

Menariknya, para peneliti menemukan bahwa dalam kelompok tinggi protein, penurunan tingkat LBM lebih kecil dibanding kelompok rendah protein.

Selain itu, kelompok tinggi protein juga memilih lebih banyak makanan sehat, seperti sayur-mayur hijau, dan mengurangi konsumsi gandum olahan serta gula.

"Ini mengejutkan. Sementara semua partisipan mengonsumsi cukup protein dan makanan sehat selama masa pengurangan berat badan, mereka yang mengonsumsi sedikit protein lebih dirugikan," ujar pemimpin penelitian dari Rutgers University-New Brunswick, Dr. Sue Shapses, kepada Medical News Today.

3. Mengapa LBM penting?

ilustrasi makanan sumber protein (trifectanutrition.com)

Berdiskusi dengan IDN Times pada Kamis (7/7/2022), dokter spesialis gizi klinik dari RS Columbia Asia Indonesia, dr. Felicia Deasy, SpGK, AIFO-K, mengomentari studi ini lebih lanjut. Menurut dr. Felicia, konsumsi tinggi protein menjaga tingkat LBM tubuh sehingga meningkatkan metabolisme. Jadi, mengapa LBM itu penting?

Selain penting untuk kesehatan secara keseluruhan, LBM berhubungan dengan tingkat metabolisme basal (BMR) atau kalori yang dibakar saat tak melakukan apa-apa. Oleh karena itu, makin besar tingkat LBM, maka makin banyak kalori yang terbakar. Dengan begitu, LBM bisa mencegah akumulasi lemak dan obesitas.

"Obesitas merupakan keadaan di mana komposisi lemak berlebih dalam tubuh. Untuk menurunkan berat badan, jumlah dan jenis lemak yang dikonsumsi harus dibatasi," tulis dr. Felicia melalui WhatsApp.

Dokter Sue juga mengatakan bahwa dalam kelompok lansia yang sedang diet karena alasan kesehatan, penurunan LBM bukanlah hasil yang diinginkan. Oleh karena itu, penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi protein bisa menjaga LBM saat diet dengan batasan kalori, sementara lemak tetap turun.

4. Kekurangan penelitian tersebut

Studi ini mengungkapkan bahwa meningkatkan asupan protein bisa bermanfaat untuk mereka yang sedang menurunkan berat badan. Namun, ada beberapa kekurangan yang perlu dicatat. Pertama, laporan asupan makan dilakukan secara mandiri, sehingga ada kemungkinan eror, meski sudah diberi penyuluhan oleh para peneliti.

Selain itu, tipe protein juga bisa memengaruhi manfaat. Dalam studi ini, sumber protein mayoritas berasal dari daging tanpa lemak atau dari sumber nabati. Selain itu, pengukuran LBM tak membedakan massa organ atau massa otot, sehingga masih rancu apakah penurunan LBM pada kelompok rendah protein adalah dari otot atau dari organ lain.

Menurut dr. Felicia, penelitian selanjutnya lebih baik menyebutkan status ekonomi dan latar belakang pendidikan para partisipan. Ini karena faktor-faktor tersebut bisa menentukan penerapan pola diet.

"Selain itu, sebagian besar partisipan dari jurnal ini bukan dari ras Asia, sehingga perlu dipelajari lebih dalam dulu sebelum benar-benar diterapkan di negara Asia," tambah dr. Felicia yang juga berpraktik di RSU Hermina Kemayoran dan Kartika Pulomas Hospital.

Baca Juga: 8 Kesalahan Besar dalam Program Diet Menurut Ahli Gizi

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya