TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Hobi Selfie? Hati-hati, Gangguan Selfitis Mungkin Mengintaimu! 

Ternyata sudah banyak 'korban' dari kondisi ini

pexels.com/Tommy Huang

Hari gini, siapa yang tak pernah selfie? Apalagi saat sedang bosan. Setelah belasan jepreten pakai smartphone, kamera, webcam, atau perangkat gawai lainnya, akhirnya foto terbaik diunggah di media sosial.

Selfie atau swafoto lebih dari sekadar pengambilan foto diri sendi, melainkan juga opsi editing seperti warna, kontras, perubahan background, dan penambahan efek agar foto terlihat lebih ciamik saat diunggah dan mendapat banyak 'like'.

Tren swafoto ini begitu luas, khususnya di kalangan remaja dan dewasa awal. Sebetulnya tak ada yang salah dengan tren tersebut. Namun, para ahli mengkhawatirkan beberapa kemungkinan serius berkaitan dengan selfie, terutama yang obsesif..

Dari kacamata psikologis, selfie adalah sebuah tindakan yang berorientasi pada diri sendiri, yang memungkinkan individu mengembangkan individualisme serta mementingkan diri sendiri. Kondisi ini bahkan dapat dikaitkan dengan ciri-ciri gangguan kepribadian narsistik. Yuk, simak terus!

1. Apa itu selfitis?

pixabay.com/soyvanden

Generasi muda millennial dan gen Z cenderung tak tahan ingin mengunggah citra diri yang disediakan di platform media sosial tertentu. Meski tak semuanya punya kencederungan tersebut, tapi banyak yang terobsesi dengan level yang berbeda-beda. Nah, kalau swafoto dilakukan secara berlebihan, ini dikategorikan sebagai selfitis.

Selfitis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi 'budaya' selfie melonjak secara intens, yang mana ini tidak boleh dianggap remeh. Menurut para psikolog, selfitis adalah kondisi mental yang membuat seseorang merasa perlu terus-terusan selfie, lalu mengunggahnya ke media sosial.

Dilansir dari Healthline, seorang konselor di Kootenai Bridge Academy, Amerika Serikat, Heather Olsen, mengungkapkan bahwa masa remaja rentan terhadap kecemasan dan depresi sosial.

Dengan begitu banyaknya filter yang mudah diakses di platform media sosial maupun aplikasi third-party bisa jadi alternatif instan untuk menunjukkan citra diri yang ideal. Makin banyak 'like' yang didapat, maka diri akan makin senang.

Bila kondisi tersebut terus-terusan berlangsung, maka dapat menciptakan dorongan dopamin, yang tak menutup kemungkinan nantinya dapat mengembangkan kecanduan selfie.

Baca Juga: Kamu Hobi Selfie? Waspadai 5 Bahaya Psikologis yang Mengintai

2. Selfitis tidak termasuk dalam kategori gangguan mental

unsplash.com/Mateus Campos Felipe

Dilansir dari Psychology Today, beberapa tahun lalu sempat diberitakan bahwa kecenderungan seseorang untuk selfie diklasifikasikan ke dalam gangguan mental oleh American Psychiatric Association (APA). Ternyata, ini adalah kabar bohong alias hoaks.  

Lewat laman resminya, APA membantah kabar tersebut dan mengatakan bahwa selfitis tidak ada di dalam buku manual "Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th Edition: DSM-5".

Namun, dari pemberitaan tersebut, banyak para ahli yang tertantang untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang selfitis.

3. Penelitian tentang selfitis, seperti apa temuannya?

unsplash.com/Aravind Kumar

Ada penelitian tentang selfitis alias kecanduan selfie yang dilakukan oleh Dr. Janarthanan Balakrishnan dan Mark D. Griffiths Ph.D., yang tertuang dalam jurnal “International Journal of Mental Health and Addiction”. Penelitian ini mempelajari kebiasaan selfie dari ratusan anak muda di sebuah universitas di India.

Selain meneliti tentang selifitis itu sendi, tim peneliti juga mengembangkan Skala Perilaku Selfitis (Selfitis Behaviour Scale atau SBS) untuk mengetahui tingkat keparahan kondisi kecanduan selfie.

Selain itu, melalui exploratory factor analysis (EFA), enam faktor diidentifikasi, mulai dari kompetisi sosial, pencarian perhatian, modifikasi suasana hati, kepercayaan diri, kesesuaian sosial, dan lingkungan.

Hasil temuannya, SBS tampaknya dapat menjadi instrumen yang valid dan bisa diandalkan untuk menilai selfitis. Meskipun demikian, penelitian lebih lanjut tetap dibutuhkan untuk benar-benar membuktikannya.

4. Fokus-fokus yang menarik perhatian seputar selifitis

unsplash.com/Cristina Zaragoza

Dilansir dari “Atlanta Journal-Constitution” beberapa kondisi berikut ini dapat dijadikan fokus perhatian dalam menilai selfitis. Kamu mesti cek, nih!

Selfie setidaknya tiga kali per hari dapat dikaitkan dengan ciri-ciri garis batas selfitis sesuai skala yang dikembangkan. Kondisi dikatakan lebih parah ketika selfie yang diunggah tujuannya agar dilihat orang lain. Sementara itu, kasus kronis terjadi ketika seseorang swafoto sepanjang waktu dan mem-posting setiap hari setidaknya di enam platform media sosial.

Orang-orang yang mengalami selfitis biasanya memiliki kepribadian yang kurang percaya diri, ingin mencari perhatian, atau mencoba menunjukkan tingkat kedudukan sosial melalui unggahan konten tentang diri mereka. Faktor-faktor tersebut membuat beberapa psikiater beranggapan tentang perlunya menciptakan diagnosis kondisi mental baru.

Dalam penelitian yang melibatkan siswa di India, peneliti mengembangkan 20 pertanyaan untuk menganalisis seseorang yang mungkin mengalami selfitis. Misalnya, tentang seberapa besar seseorang merasa populer ketika mengunggah foto di media sosial.

Walaupun banyak orang yang mengabaikan isu tentang selfitis, tapi kondisi ini sebaiknya tidak diremehkan karena sudah cukup banyak makan korban. Misalnya pada kasus extreme selfie, yang bisa mengakibatkan seseorang jatuh dari ketinggian, tenggelam, tertabrak kereta, dan kecelakaan mengerikan lainnya akibat selfie.

Meskipun kasus di atas tidak membuktikan apakah pelaku atau korban mengalami selfitis, tapi yang pasti selfie yang berlebihan berpotensi membahayakan diri, baik fisik maupun psikis.

Baca Juga: Wajib Tahu! 5 Gangguan Mental Ini Rentan Dialami Remaja

Verified Writer

Indriyani

Full-time learner, part-time writer and reader. (Insta @ani412_)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya