ilustrasi daging kelinci (commons.wikimedia.org/Peachyeung316)
Keamanan pangan pada daging kelinci sangat bergantung pada cara pemrosesan. Studi mikrobiologi pangan menunjukkan bahwa daging hewan ini berpotensi mengandung bakteri patogen seperti Salmonella dan E. coli jika tidak dimasak dengan benar. Suhu internal minimal 71 derajat Celcius diperlukan untuk memastikan protein hewani tersebut aman dikonsumsi. Prinsip ini berlaku sama seperti daging unggas dan sapi yang juga memerlukan perlakuan termal untuk menonaktifkan patogen.
Selain pengolahan, lingkungan pemeliharaan memengaruhi kualitas daging. Kelinci ternak yang diberi pakan terkontrol seperti alfalfa, gandum, dan jelai menghasilkan daging lebih lembut serta bebas dari zat berbahaya. Sebaliknya, kelinci liar memiliki kemungkinan lebih besar terpapar parasit. Keamanan konsumsi daging kelinci bisa dijelaskan melalui interaksi antara faktor biologis hewan, lingkungan hidup, serta teknik pengolahan pascapanen. Inilah yang menentukan apakah daging tersebut layak masuk dalam rantai pangan manusia.
Ilmu pengetahuan memberi sudut pandang yang lebih rasional terhadap perdebatan konsumsi daging kelinci. Alih-alih hanya menilai dari sisi budaya atau kebiasaan, kajian sains memperlihatkan bahwa sejarah panjang pemanfaatan kelinci hingga standar keamanan pangan menjadi faktor utama yang menentukan kelayakan konsumsi. Pertanyaan apakah daging kelinci bisa dimakan pada akhirnya tidak sekadar soal selera, melainkan juga pemahaman ilmiah tentang bagaimana manusia memposisikan hewan ini dalam konteks pangan dan keberlanjutan.
Referensi
“Benefits of Rabbit”. Loeul & Piriot. Diakses September 2025.
“Health Benefits of Rabbit Meat”. WebMD. Diakses September 2025.
“Rabbit Meat Safety & Health”. Missouri Department of Conservation. Diakses September 2025.
“Rabbit Meat: A Review of Nutritional and Health Benefits”. PubMed Central. Diakses September 2025.
“Why Eat Rabbit Meat”. D’Artagnan. Diakses September 2025.