Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
kelinci
kelinci (pexels.com/Smooth Click)

Pertanyaan tentang apakah daging kelinci bisa dimakan kerap muncul karena hewan satu ini punya posisi unik di tengah masyarakat. Sebagian orang mengenalnya sebagai hewan peliharaan yang lucu dan menggemaskan, sementara di tempat lain kelinci justru sudah lama masuk ke meja makan sebagai sumber protein. Perbedaan cara pandang inilah yang membuat topik konsumsi daging kelinci sering jadi bahan perbincangan.

Dengan bantuan ilmu pengetahuan, kita bisa melihat persoalan ini lebih jernih. Jadi, bukan hanya soal “boleh atau tidak,” melainkan bagaimana kelinci ditempatkan dalam konteks budaya sekaligus kebutuhan nutrisi. Karenanya, mari sama-sama simak pembahasan selengkapnya berikut ini!

1. Sejarah manusia membuktikan kelinci sudah lama menjadi sumber pangan

kelinci (pexels.com/Fahad Puthawala)

Jejak konsumsi kelinci dapat ditelusuri hingga masa prasejarah. Bukti arkeologis berupa fosil tulang menunjukkan bahwa manusia purba di Eropa dan Afrika Utara memburu kelinci sebagai sumber energi utama. Sekitar 1000 SM, bangsa Fenisia mulai melakukan domestikasi kelinci di Semenanjung Iberia. Dari sinilah proses penyebaran kelinci ke berbagai belahan dunia dimulai, menjadikan hewan kecil ini bagian dari sistem pangan global. Fakta historis ini menegaskan bahwa konsumsi kelinci bukanlah tren baru, melainkan tradisi yang melekat pada perjalanan evolusi manusia.

Di Eropa, khususnya Italia dan Prancis, kelinci bahkan dianggap bagian penting dari pola makan tradisional. Budidaya kelinci dilakukan secara terkontrol untuk menghasilkan daging dengan kualitas tertentu. Domestikasi ini menjadi contoh nyata bagaimana manusia mengubah perilaku satwa liar menjadi hewan ternak. Artinya, sejak ribuan tahun lalu, kelinci memang sudah dianggap layak sebagai sumber pangan, sama halnya seperti ayam atau kambing yang mengalami proses domestikasi serupa.

2. Analisis biokimia menjelaskan komposisi daging kelinci

ilustrasi daging kelinci (commons.wikimedia.org/Bart Everson)

Kajian laboratorium menunjukkan bahwa daging kelinci mengandung kadar protein tinggi, sekitar 21–29 gram per 100 gram daging, dengan lemak relatif rendah hanya sekitar 6 gram. Analisis ini memperlihatkan bahwa daging kelinci termasuk kategori daging rendah lipid yang secara teoritis lebih mudah dicerna tubuh. Kandungan energi sekitar 197 kalori per 100 gram membuatnya sebanding dengan daging sapi tanpa lemak. Informasi ini diperoleh melalui metode analisis proksimat yang biasa dipakai dalam ilmu pangan.

Selain itu, daging kelinci memiliki kadar vitamin B12 dan B3 yang signifikan, serta mineral seperti fosfor, kalium, dan selenium. Profil asam lemaknya memperlihatkan keseimbangan antara omega-3 dan omega-6, sesuatu yang jarang ditemukan pada daging merah lain. Penelitian nutrisi membuktikan bahwa jenis asam lemak ini berperan penting dalam menjaga fungsi sel. Dari sisi biokimia, kelinci menjadi contoh bagaimana hewan kecil dapat menghasilkan komposisi daging yang tidak kalah bernilai dibandingkan hewan ternak besar.

3. Keamanan konsumsi ditentukan oleh proses biologis dan pengolahan

ilustrasi daging kelinci (commons.wikimedia.org/Peachyeung316)

Keamanan pangan pada daging kelinci sangat bergantung pada cara pemrosesan. Studi mikrobiologi pangan menunjukkan bahwa daging hewan ini berpotensi mengandung bakteri patogen seperti Salmonella dan E. coli jika tidak dimasak dengan benar. Suhu internal minimal 71 derajat Celcius diperlukan untuk memastikan protein hewani tersebut aman dikonsumsi. Prinsip ini berlaku sama seperti daging unggas dan sapi yang juga memerlukan perlakuan termal untuk menonaktifkan patogen.

Selain pengolahan, lingkungan pemeliharaan memengaruhi kualitas daging. Kelinci ternak yang diberi pakan terkontrol seperti alfalfa, gandum, dan jelai menghasilkan daging lebih lembut serta bebas dari zat berbahaya. Sebaliknya, kelinci liar memiliki kemungkinan lebih besar terpapar parasit. Keamanan konsumsi daging kelinci bisa dijelaskan melalui interaksi antara faktor biologis hewan, lingkungan hidup, serta teknik pengolahan pascapanen. Inilah yang menentukan apakah daging tersebut layak masuk dalam rantai pangan manusia.

Ilmu pengetahuan memberi sudut pandang yang lebih rasional terhadap perdebatan konsumsi daging kelinci. Alih-alih hanya menilai dari sisi budaya atau kebiasaan, kajian sains memperlihatkan bahwa sejarah panjang pemanfaatan kelinci hingga standar keamanan pangan menjadi faktor utama yang menentukan kelayakan konsumsi. Pertanyaan apakah daging kelinci bisa dimakan pada akhirnya tidak sekadar soal selera, melainkan juga pemahaman ilmiah tentang bagaimana manusia memposisikan hewan ini dalam konteks pangan dan keberlanjutan.

Referensi
“Benefits of Rabbit”. Loeul & Piriot. Diakses September 2025.
“Health Benefits of Rabbit Meat”. WebMD. Diakses September 2025.
“Rabbit Meat Safety & Health”. Missouri Department of Conservation. Diakses September 2025.
“Rabbit Meat: A Review of Nutritional and Health Benefits”. PubMed Central. Diakses September 2025.
“Why Eat Rabbit Meat”. D’Artagnan. Diakses September 2025.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorYudha ‎