Apakah Manusia Bisa Menjalani Hidup dengan Separuh Otak?

Kalau ditanya satu organ paling penting, kebanyakan dari kita pasti langsung memikirkan otak. Ya, organ yang terletak di kepala kita ini memang punya peran sangat penting bagi kehidupan karena di sinilah kita memproses informasi dari bagian tubuh lain agar dapat melakukan aksi, menyimpan dan memilah memori yang dirasakan, menyerap ilmu pengetahuan, sampai mengatur emosi yang sedang kita alami. Maka dari itu, tak berlebihan rasanya kalau menyebut otak sebagai “kapten” dari seluruh anggota tubuh manusia.
Secara umum, otak terbagi atas tiga bagian utama, yakni otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan batang otak (brainstem). Nah, coba fokuskan perhatian pada otak besar alias cerebrum. Bagian otak yang satu ini biasanya dibagi lagi dalam dua kategori berbeda, yakni otak kanan dan otak kiri yang dihubungkan melalui korpus kallosum.
Baik otak kanan maupun otak kiri jelas punya fungsi yang sama-sama penting untuk kehidupan kita. Di dua bagian inilah yang memberikan kita kemampuan berpikir, kecerdasan aritmatika memproses bahasa dan kemampuan bicara, pusat kreativitas dan imajinasi, proses visual, sampai tempat manajemen emosi. Sekarang, coba bayangkan, seandainya kita kehilangan separuh otak entah bagian kanan atau kiri, kira-kira apakah kita masih bisa bertahan hidup? Untuk mencari tahu jawabannya, yuk, simak ulasan di bawah ini!
1. Ternyata manusia dapat hidup walaupun hanya memiliki separuh otak

Dari pertanyaan di atas tentang apakah kita dapat terus menjalani kehidupan dengan separuh otak, maka jawaban singkatnya adalah iya. Dilansir BBC, Gerald Edelman, seorang ahli neurosains pemenang Nobel, menyebutkan bahwa proses biologis yang ada pada makhluk hidup itu tidak hanya dikerjakan oleh satu bagian tertentu, tapi lewat berbagai struktur berbeda yang saling terhubung. Artinya, kalau ada satu bagian yang tidak dapat berfungsi, struktur lain akan menambal fungsinya agar tetap bisa bekerja maksimal.
Nah, konsep serupa ternyata turut bekerja pada otak manusia. Kalau dilihat sekilas, fungsi otak itu memang sangat beragam dan masing-masing sangat penting. Akan tetapi, keseluruhan fungsi itu dibantu oleh beberapa bagian otak berbeda seperti yang sudah disebutkan di atas. Jadi, ketika ada satu bagian yang tak bekerja, maka bagian lain akan menjalankan fungsi yang rusak tersebut sampai terasa seperti tidak terjadi apa-apa.
Struktur otak memang terbilang rumit, bahkan untuk sains modern. Misalnya, dulu sempat ada miskonsepsi soal otak kanan dan otak kiri yang dikemukakan ahli psikobiologi Roger Sperry yang menyebut otak kanan dan otak kiri punya fungsi berbeda, tetapi malah diartikan kalau setiap manusia punya kecenderungan otak kiri atau otak kanan yang lebih dominan. Selain itu, ada beberapa fungsi otak yang sebenarnya bisa saling menopang kalau salah satu di antaranya rusak.
Dilansir Live Science, beberapa penelitian sudah membuktikan kalau ada bagian otak yang hilang, fungsi organ yang terhubung masih bisa berfungsi. Misalnya, olfactory bulb (bulbus olfaktorius) yang berfungsi untuk memberi informasi yang diberikan indra penciuman. Sekelompok perempuan yang jadi subjek penelitian tersebut tetap mampu mencium aroma secara normal karena diperkirakan bagian otak lain mengambil alih fungsinya.
Contoh lain, ada kasus anak yang kehilangan sepertiga otak kanan, termasuk bagian yang berfungsi untuk mengolah informasi indra penglihatan. Uniknya, ia tak mengalami kebutaan karena bagian otak kiri mengambil alih tugas bagian yang hilang itu. Dengan demikian, orang-orang yang kehilangan sebagian otak karena kondisi medis tertentu sebenarnya masih bisa hidup relatif normal layaknya manusia lain yang otaknya masih utuh.
2. Penyebab seseorang kehilangan separuh otak

Tentunya bukan tanpa alasan manusia dapat kehilangan separuh bagian otaknya. Beberapa orang mengalami kondisi langka dimana terlahir hanya dengan separuh bagian otak. Namun, kebanyakan mengalami kondisi medis yang melatarbelakanginya banyak terjadi di masa kanak-kanak. Healthline melansir, anak yang sering kejang akibat epilepsi sampai tahap akut terkadang direkomendasikan untuk mengangkat sebagian otaknya. Prosedur yang disebut hemisferektomi ini bertujuan memisahkan bagian otak sehat dengan yang tidak.
Meski terdengar mengerikan, tubuh anak yang pada umumnya masih dalam fase pertumbuhan ternyata mampu beradaptasi dengan kondisi otak hanya setengah. Ahli neurosains bernama Dorit Kliemann menemukan hasil bahwa anak yang tumbuh dewasa dengan kondisi separuh otaknya diangkat mampu hidup normal karena konektivitas bagian otak yang tersisa itu jauh lebih tinggi ketimbang orang dengan otak yang utuh. Artinya, kuat dugaan kalau separuh otak yang tersisa mampu beradaptasi untuk mengambil alih seluruh fungsi bagian otak yang hilang sampai bekerja secara normal.
Selain saat masa anak-anak, operasi hemisferektomi juga dapat dilakukan pada orang dewasa. Cleveland Clinic melaporkan, penyebabnya bisa karena epilepsi parah akibat malformasi perkembangan kortikal, rasmussen encephalitis, hemimegalencephaly, sturge-weber syndrome, sampai stroke perinatal. Namun, pengangkatan separuh bagian otak pada orang dewasa terbilang lebih jarang karena ada beberapa masalah jangka panjang yang dapat dialami kalau kehilangan separuh otak saat sudah dewasa.
3. Apakah ada efek samping dari hidup dengan separuh otak?

Seperti yang disebutkan di atas, hemisferektomi cenderung aman bagi anak-anak karena kemampuan adaptasi tubuh yang luar biasa. Namun, kalau prosedur itu dilakukan saat sudah dewasa, maka ada beberapa efek samping yang dapat dialami. Misalnya saja, ada beberapa komplikasi yang dialami pasien pascaoperasi, semisal kehilangan darah, perubahan elektrolit, hipotermia, aseptic meningitis, dan infeksi.
Dilansir WebMD, masalah spesifik lain yang dapat timbul setelah operasi pengangkatan sebagian otak ini adalah mati rasa pada sebagian tubuh (misal otak kanan yang diangkat, maka mati rasa ada di bagian tubuh kanan), kehilangan beberapa kemampuan penginderaan, Sakit kepala berat, sulit memilah kata, dan masalah pada memori. Namun, masalah ini perlahan hilang dalam kurun waktu 6—8 pekan pascaoperasi sehingga pasien masih bisa menjalani hidup dengan relatif normal, meski tetap mengonsumsi obat kejang sekitar 2 tahun.
Meskipun begitu, operasi hemisferektomi tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Perlu banyak monitoring berupa scan MRI, PET scan, dan prosedur sejenis untuk memastikan bagian otak yang rusak. Selain itu, ada tes bernama wada test yang dilakukan untuk menguji kemampuan berbicara dan memori seseorang lebih dominan pada bagian otak yang mana. Jika semua persiapan itu rampung dan pasien dinyatakan siap menjalani operasi, barulah sebagian otaknya akan diangkat demi meredakan kejang atau epilepsi yang dirasakan.
Otak memang jadi salah satu organ tubuh paling penting sekaligus paling unik. Segala cedera eksternal yang dialami otak jelas berakibat fatal sampai mengancam nyawa seseorang. Namun, kalau masalah otak itu terjadi di dalam karena masalah tertentu, ternyata bagian yang bermasalah itu bisa saja “dihilangkan” dan otak tetap berfungsi secara normal. Menurutmu, ini keajaiban atau kemampuan unik dari tubuh manusia, nih?
Referensi
"Can you live a normal life with half a brain?". BBC. Diakses Juli 2025.
"How the Brain Still Works When Half of It Is Missing?". Live Science. Diakses Juli 2025.
"What Can Happen When You Remove Half a Brain to Cure Epilepsy". Healthline. Diakses Juli 2025.
"Hemispherectomy". Cleveland Clinic. Diakses Juli 2025.
"Living a Whole Life With Half a Brain". Stanford Medicine. Diakses Juli 2025.