ilustrasi kecanduan game (pexels.com/RODNAE Productions)
Beberapa faktor dapat menyebabkan game yang semula hobi berubah menjadi obsesif, seperti dijelaskan dalam Psych Central, meliputi:
Bukan permainannya yang membuat ketagihan, tetapi tindakan bermainnya dan efeknya pada otak kita yang candu. Ini karena video game sangat merangsang pelepasan dopamin tingkat tinggi saat dimainkan.
Peningkatan dopamin ini tentu terasa menyenangkan bagi para gamer pada saat itu, tetapi sayangnya ini lama-kelamaan juga dapat menyebabkan reseptor otak menjadi mati rasa (desensitisasi) . Akibatnya, gamer harus main lebih lama untuk mendapatkan tingkat kepuasan yang sama.
Banyak orang yang main game untuk melepaskan stres atau mengalihkan diri dari emosi negatif karena masalah di dunia nyata. Sensasi nyaman yang diperoleh dari main game bisa membuat orang makin sulit mengatasi emosi yang harus dihadapi.
Mereka akhirnya bisa kewalahan dan terpaksa main game lagi dan lagi. Siklus yang berlanjut ini bisa menjadi pelarian yang memperburuk masalah yang ada. Namun, pemanfaatan game sebagai pelarian ini terlihat pada dua aktivitas game yang bermasalah dan tidak berbahaya.
Faktanya, studi dalam Journal of Consumer Marketing tahun 2016 menunjukkan bahwa main game bisa menjadi mekanisme koping positif, menghilangkan stres, bahkan membangun kepercayaan diri.
Game yang dimainkan oleh banyak orang (multiplayer) dinilai sebagai cara strategis untuk membangun komunitas dan hubungan virtual dengan orang-orang yang berpikiran dan punya minat sama.Ini sangat berguna terutama jika kamu adalah pribadi yang tertutup atau sulit bergaul.
Menurut Olive Grace, kebutuhan interaksi sosial seseorang bisa dipenuhi lewat video game. Tampil anonim tanpa harus bertatap muka adalah keunggulan interaksi online yang bisa diminati oleh mereka yang pemalu atau memiliki kecemasan sosial.
- Faktor identitas jenis kelamin
IGD bisa memengaruhi orang dari semua jenis kelamin dan usia. Namun, sebuah penelitian neuroimaging dalam jurnal Social Cognitive and Affective Neuroscience tahun 2018 membuktikan bahwa laki-laki memiliki kecenderungan genetik lebih rentan terhadap kecanduan game.
Temuan itu menjelaskan bahwa area otak yang merespons kualitas kecanduan game menunjukkan lebih banyak aktivitas pada laki-laki daripada perempuan.
Video game menciptakan tantangan yang bisa dicapai dan secara konsisten mengalihkan perhatian kita dari tujuan penting di luar permainan. Setelah mencapai level tertentu, orang bisa ketagihan karena langsung memberikan kepuasan.
Padahal, manusia cenderung merasa nyaman saat menyelesaikan tugas. Jadi, dengan sistem penghargaan (gratifikasi) instan ini, akhirnya akan mengarah pada perilaku yang makin menguat, misalnya lebih sering main game.