Prioritas Pemerintah dalam Kesehatan Seksual dan Reproduksi Perempuan

Perempuan punya hak atas pilihan hidup mereka

Setiap perempuan dan anak perempuan mempunyai hak untuk hidup sehat, membuat pilihan atas masa depan mereka, dan hidup bebas dari kekerasan serta diskriminasi.

Untuk mewujudkannya, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan pemerintah Kanada, United Nations Population Fund (UNFPA) dan United Nations Children's Fund (UNICEF) dalam membuat program Better Reproductive Health and Rights for All in Indonesia (BERANI) Tahap I yang dilakukan sejak 2018 hingga 2023.

Tujuan dari program ini adalah meningkatkan kesehatan dan hak reproduksi untuk perempuan dan remaja di Indonesia.

Program ini telah meng-cover delapan kota/kabupaten di 13 provinsi, mendukung pemerintah dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama Tujuan 3 (Kehidupan Sehat dan Sejahtera) dan Tujuan 5 (Kesetaraan Gender).

Di bawah ini adalah hasil dari pencapaian pemerintah selama periode tersebut, yang dipaparkan oleh Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas), Amich Alhumami di Jakarta, pada Kamis (25/01/2024).

1. Angka kematian ibu dan anak

Prioritas Pemerintah dalam Kesehatan Seksual dan Reproduksi Perempuanilustrasi melahirkan (pexels.com/Jonathan Borba)

Ada penurunan tren pada Angka Kematian Ibu (AKI) selama 10 tahun terakhir. Namun, masih perlu upaya untuk mencapai target pada akhir Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024.

Meski ada penurunan, tetapi Indonesia masih memegang label tertinggi di Asia Tengggara.

"Meskipun penurunannya itu sangat tajam dari sebelumnya, di atas 300, jadi capaian penurunan ini menjadi pertanda baik. Tapi kita juga masih harus terus-menerus ikhtiar agar semakin melandai, sampai bisa dikatakan bahwa AKI betul-betul berhasil diturunkan secara signifikan," kata Amich.

Provinsi Papua mempunyai AKI tertinggi (565), sementara DKI Jakarta mempunyai AKI terendah (48) per 100.000 kelahiran hidup.

Dari data Bappenas 2002, faktor-faktor penyebab kematian adalah sebagai berikut:

1. Aspek kesehatan

  • Penyebab langsung di antaranya pendarahan, eklamsia, infeksi, komplikasi persalinan, dan abortus.
  • Penyebab tidak langsung seperti COVID-19, riwayat penyakit jantung, diabetes, tuberkulosis, atau malaria.
  • Cakupan kunjungan antenatal care (ANC) yang rendah dan kualitas pelayanan kesehatan yang kurang optimal berkontribusi pada AKI yang disebabkan hipertensi dalam kehamilan atau pendarahan.

2. Aspek non kesehatan

  • Ketidakadilan gender sepanjang hidup perempuan, seperti pola patriarki, diskriminasi, double/multiple burden serta kekerasan berbasis gender.
  • Minimnya upaya masyarakat dalam mencegah kehamilan berisiko.
  • Perkawinan anak secara nasional memang menurun, tetapi angkanya masih tinggi.

Pun dengan Angka Kematian Bayi (AKB), yang juga masih terbilang tinggi meski trennya menurun. Bukti ini menjadi penanda bahwa investasi untuk memastikan perlindungan ibu dan anak mengalami perbaikan.

"Ibu hamil harus dipastikan mendapatkan perawatan dan karena itu, kontrol setiap periode menjadi penting dilakukan untuk memastikan bahwa seluruh kesiapan fisik, mental dan kesehatan sampai anak bisa lahir selamat, sehingga AKB makin bisa diturunkan," paparnya.

Provinsi Papua mempunyai AKB tertinggi (38,17/1.000 Kelahiran Hidup) dan Provinsi DKI Jakarta mempunyai AKB terendah (10,38/1.000 Kelahiran Hidup).

Faktor yang menjadi penyebab kematian bayi di Indonesia berdasarkan temuan penelitian menggunakan data SDKI 2017, di antaranya:

  • Usia ibu saat melahirkan.
  • Berat badan lahir.
  • Daerah tempat tinggal.
  • Jarak kelahiran anak.

2. Kekerasan seksual terhadap perempuan

Prioritas Pemerintah dalam Kesehatan Seksual dan Reproduksi Perempuanilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Mardya Sakti)

Menurut data Komnas Perempuan tahun 2022, bentuk kekerasan seksual yang paling banyak dialami oleh perempuan pada tahun 2020 adalah pencabulan sebanyak 412 kasus, disusul dengan kekerasan gender berbasis siber berjumlah 329 kasus.

"Ini menjadi satu isu penting karena akan berpengaruh besar pada kita semua dalam upaya menyiapkan orang-orang terbaik, manusia unggul yang arahnya menuju SDM berkualitas. Pengalaman traumatik serta kekerasan yang dialami perempuan dan anak akan berpengaruh besar pada tumbuh kembang anak dan pada kehidupan yang lebih lanjut bagi perempuan," kata Amich.

Sebanyak 55 persen anak perempuan dari usia 15–49 pernah disunat, dengan prevalensi tertinggi pada kategori sunat simbolis.

Amich menjelaskan bahwa praktik ini ada kaitannya langsung pada masalah budaya dan agama yang sebagian masih dipercaya masyarakat.

Sunat pada anak perempuan di Indonesia berbeda dengan kategori yang dimaksud Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan pengalaman negara lain, terutama Afrika atau sebagian Asia Selatan.

Baca Juga: Dampak Kekerasan Verbal Masa Kecil Bisa Berlanjut hingga Dewasa

3. Perkawinan anak

Prioritas Pemerintah dalam Kesehatan Seksual dan Reproduksi Perempuanilustrasi menikah (pexels.com/TranStudios Photography & Video)

Pemerintah terus berupaya melakukan pencegahan perkawinan anak. Dampak yang paling nyata dari fenomena ini adalah stunting dan isu kemiskinan selain pengalaman pendidikan.

"Kita membuat program wajib belajar 12 tahun yang dimaksudkan supaya anak-anak laki-laki maupun perempuan bisa sekolah lebih lama dan untuk menunda masa kawin sampai di usia yang telah ditetapkan undang-undang dan siap secara psikologi, mental dan fisik," Amich menyampaikan.

Data Mahkamah Agung memperlihatkan adanya penurunan permohonan dispensasi kawin pada 2023 dengan angka beban perkara mencapai 28.553 dari tahun 2022 yang mencapai 49.384.

Pada tahun 2019, perkara yang dikabulkan di bawah 90 persen. Sementara 2020–2023, jumlah yang dikabulkan mengalami kenaikan menjadi di atas 90 persen.

Periode 2008–2022, angka perkawinan anak cenderung menunjukkan penurunan. Data tahun 2022 menunjukan bahwa perkawinan sebelum usia 18 tahun telah melampaui target nasional, yaitu 8,06 persen dari target tahun 2024, 8,74 persen.

"Meski angkanya terus melandai, tapi ada beberapa kelompok masyarakat kerap mengajukan semacam dispensasi untuk menurunkan usia perkawinan anak. Sebagian ada yang disetujui dengan advokasi sosial dan pendidikan yang terus-menerus kita lakukan," imbuh Amich.

Hal ini menjadi penting karena secara keseluruhan akan menyumbang banyak pada keberhasilan menyiapkan anak-anak menjadi orang-orang bertalenta dengan bakat yang dimiliki serta tumbuh kembang yang baik sehingga bisa mendapatkan SDM berkualitas.

4. Kehamilan remaja

Prioritas Pemerintah dalam Kesehatan Seksual dan Reproduksi Perempuanilustrasi hamil (pixabay.com/Cindy Parks)

Kebanyakan anak perempuan yang hamil di luar nikah, teridentifikasi sudah menikah pada saat anak mereka lahir. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan anak mungkin digunakan untuk memecahkan masalah kehamilan yang tidak diinginkan.

Kehamilan pada masa remaja menjadi isu penting dan pemerintah memberikan penekanan secara khusus karena ada kehamilan yang tidak dikehendaki dan terdapat praktik kekerasan seksual yang membawa dampak luar biasa sampai pada masalah hidup.

"Isu ini masih jadi perhatian, sekaligus sebagai target dan indikator yang harus dicapai RPJM yang kita singgung antara perkawinan anak dengan stunting, meskipun stunting juga mengalami penurunan dalam waktu 10 atau 13 tahun lalu," kata Amich.

5. HIV dan AIDS

Prioritas Pemerintah dalam Kesehatan Seksual dan Reproduksi Perempuanilustrasi HIV AIDS (IDN Times/Aditya Pratama)

Pemerintah mengawal setiap penduduk Indonesia, terutama anak-anak usia muda produktif supaya terhindar atau bahkan terkena HIV dan AIDS. Bukan hanya menjadi masalah serius dari sisi kesehatan, tetapi juga sosial.

Kasus HIV pada tahun 2021 mencapai 36.902. Dari jumlah itu, mayoritas penderitanya merupakan usia produktif.

  • 69,7 persen di rentang usia 25–49 tahun.
  • 16,9 persen pada kelompok usia 20–24 tahun.

"Angka-angka ini memang sangat mengkhawatirkan. Pemerintah berusaha untuk melakukan pencegahan dan pembinaan serta advokasi dan pendidikan publik, bahwa ini adalah ancaman yang sangat serius supaya kita menjaga penduduk usia muda bisa terhindar dari kemungkinan malapetaka yang lebih serius," jelas Amich.

6. Pentingnya dukungan

Cara masyarakat untuk bisa berpartisipasi aktif dalam edukasi isu kesehatan reproduksi pada perempuan dan anak perempuan adalah sebagai berikut:

  • Terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan edukasi dan peningkatan kapasitas terkait dengan isu kesehatan reproduksi.
  • Meningkatkan kesadaran teman sebaya dan masyarakat terkait dengan kesehatan reproduksi melalui berbagai platform.
  • Berpartisipasi dalam menyuarakan hak-hak anak, remaja, pemuda dan perempuan, khususnya terkait kesehatan reproduksi.
  • Menjadi peer counselor bagi teman sebaya.
  • Membantu menciptakan lingkungan yang aman tanpa perundungan (baik di sekolah ataupun di lingkungan tempat tinggal) khususnya bagi anak atau remaja perempuan yang terlanjur menikah/hamil.

Baca Juga: Mengalami Diskriminasi Bisa Meningkatkan Risiko Obesitas

Topik:

  • Nurulia R F

Berita Terkini Lainnya