Studi ini memiliki beberapa kekurangan. Pertama, kuesioner yang digunakan dalam studi ini tak membedakan antara mimpi tak menyenangkan (mimpi yang tak membangunkan) dan mimpi buruk (mimpi yang membangunkan). Jadi, masih belum jelas antara mimpi tak menyenangkan atau mimpi buruk yang bisa menyebabkan demensia.
Sementara studi ini melibatkan populasi partisipan yang cukup besar, mayoritas partisipan berkulit putih, sehingga temuan tidak bisa dipukulratakan ke populasi lainnya. Selain itu, penelitian ini mengandalkan pelaporan mandiri, sehingga terdapat risiko bias dan ketidaktelitian dalam pelaporan data serta memengaruhi temuan.
ilustrasi tidur dan mimpi buruk (pexels.com/John-Mark Smith)
Meski begitu, Dr. Abidemi mengatakan bahwa temuan penelitiannya dan tim amat penting karena begitu sedikitnya indikator demensia yang bisa terlihat dari usia paruh baya. Penelitian ini menunjukkan bahwa mimpi buruk bisa jadi salah satu indikator tersebut.
Selanjutnya, Dr. Abidemi dan tim ingin mencari tahu efek mimpi buruk terhadap demensia di kalangan usia muda (apakah mereka ingat mimpi buruk tersebut dan seberapa jelas?). Dengan elektroensefalografi (EEG) dan pencitraan resonansi magnetik (MRI), para peneliti juga ingin menelusuri penyebab mimpi buruk di kelompok sehat dan pasien demensia.
"Sementara masih banyak yang harus dilakukan untuk mengonfirmasi hubungan ini, kami yakin mimpi buruk bisa mengidentifikasi mereka yang rentan mengalami demensia, dan jadi strategi untuk memperlambat munculnya gejala," tandas Dr. Abidemi.