Lalu, jika produk-produk obat sirop dan makanan tersebut sudah dipakai sejak lama, mengapa gangguan ginjal baru terjadi tahun ini? Setelah berunding bersama IDAI, Prof. Gelgel Wirasuta mencatat bahwa ada perubahan gejala penyakit anak secara menyeluruh pasca-COVID-19.
Selain itu, ia mencatat masalah rantai pasok (supply chain) bahan baku akibat perang Rusia-Ukraina. Bukan memakai bahan baku berkualitas bagus, perang memaksa industri beralih ke bahan murah yang berkualitas tidak bagus. Karena impor, ia mengatakan industrilah yang harusnya mengontrol.
"Problem utamanya adalah sebagian besar bahan baku yang digunakan adalah impor ... Cara pembuatan obat yang baik (CPOB) harus dikontrol. Namun, apakah ada regulasi yang memungkinkan lolos atau dibolehkan tak melakukan kontrol? Saya tidak tahu dan harus ditelusuri,” tuturnya.
ilustrasi permen (pexels.com/Foodie Factor)
Sementara dalam produk farmasi kadar cemaran etilen glikol, dietilen glikol, dan EGBE dibatasi minim, Prof. Gelgel Wirasuta mengatakan bahwa dalam makanan, kadar cemaran lebih tinggi. Sebagai perbandingan, kalau obat diizinkan 0,1 persen, makanan adalah 1 persen atau 10 kali lipat dari batas obat.
"Makanan kan dikonsumsi lebih banyak ... Sediaan farmasi bukan tersangka tunggal dalam masalah ini."
Ia menjelaskan bahwa untuk acceptable daily intake (ADI), gliserol dan sorbitol dibatasi hingga 25ml/kg berat badan. Cemaran etilen glikol dibatasi 1 persen dari kadar tersebut. Ia menekankan, dalam makanan, BPOM RI memperbolehkan 4,5 persen.