1 dari 7 Pasien COVID-19 Anak dan Remaja Berisiko Mengalami Long COVID

Menekankan pentingnya vaksin COVID-19 untuk anak

COVID-19 bisa menyerang siapa saja tanpa pandang bulu. Sejak dimulai kasus COVID-19 pertama diumumkan pada Maret 2020 lalu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa tingkat kematian anak akibat COVID-19 di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia.

Itulah pentingnya vaksinasi COVID-19 untuk anak. Memang, infeksi COVID-19 bergejala parah tergolong jarang di kalangan anak-anak. Akan tetapi, penelitian terbaru yang belum dipublikasikan memperingatkan risiko gejala mirip COVID-19 setelah sembuh, atau yang akrab disebut long COVID.

1. Mengenal long COVID secara singkat

1 dari 7 Pasien COVID-19 Anak dan Remaja Berisiko Mengalami Long COVIDilustrasi seseorang terkena long COVID (pexels.com/Pavel Danilyuk)

National Health Service (NHS) mengartikan long COVID sebagai gejala-gejala COVID-19 yang muncul pasca pemulihan dari infeksi strain virus corona baru SARS-CoV-2. Bisa berbeda-beda, long COVID bisa berlangsung selama berhari-hari, berminggu-minggu (biasanya 12 minggu), hingga berbulan-bulan.

Apakah hanya pasien COVID-19 parah yang berisiko long COVID? Tidak juga. NHS mengatakan kalau pasien bergejala ringan pun berisiko. Menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC), gejala-gejala long COVID mencakup:

  • Sesak napas
  • Kelelahan
  • Gejala yang memburuk setelah aktivitas fisik atau mental
  • Kesulitan berpikir atau berkonsentrasi (kadang-kadang disebut sebagai brain fog)
  • Batuk
  • Sakit dada atau perut
  • Sakit kepala
  • Detak jantung cepat atau berdebar (palpitasi jantung)
  • Nyeri sendi atau otot
  • Kesemutan
  • Diare
  • Masalah tidur
  • Demam
  • Pusing saat berdiri
  • Ruam di kulit
  • Mood swing
  • Perubahan pada indra penciuman dan pengecapan
  • Perubahan siklus haid

2. Riset libatkan hampir 7.000 partisipan anak dan remaja

1 dari 7 Pasien COVID-19 Anak dan Remaja Berisiko Mengalami Long COVIDilustrasi remaja di tengah COVID-19 (penntoday.upenn.edu)

Dilansir Science Media Center, sebuah riset terbaru yang dipimpin oleh University College London dan Public Health England ingin mengetahui korelasi long COVID pada anak-anak yang terinfeksi SARS-CoV-2. Riset ini belum diulas sejawat (peer review) atau diterbitkan di jurnal mana pun.

Penelitian bertajuk Children and young people with Long Covid (CLoCK) tersebut menyertakan sebanyak 6.804 partisipan anak berusia 11-17 tahun di Inggris. Partisipan anak dibagi menjadi dua kelompok:

  • Sebanyak 3.065 anak dites positif COVID-19 lewat PCR antara Januari dan Maret 2021
  • Sebanyak 3.739 anak dites negatif COVID-19 lewat PCR pada periode yang sama

3. Hasil: pasien COVID-19 anak lebih dua kali lebih mungkin melaporkan long COVID

1 dari 7 Pasien COVID-19 Anak dan Remaja Berisiko Mengalami Long COVIDilustrasi remaja terkena long COVID (theconversation.com)

Para peneliti Inggris menemukan bahwa kelompok anak yang positif COVID-19 ternyata dua kali lebih mungkin melaporkan tiga atau lebih gejala COVID-19 dalam 15 minggu (3 bulanan). Hal ini mengisyaratkan long COVID di kalangan pasien COVID-19 anak dan remaja.

Di antara anak-anak yang dites positif COVID-19, sebanyak 14 persen partisipan anak melaporkan gejala long COVID seperti kelelahan ekstrem dan sakit kepala. Para peneliti kemudian mencatat bahwa 1 dari 7 anak atau 7 persen mengalami lima atau lebih gejala long COVID.

“Ada bukti yang konsisten bahwa beberapa remaja memiliki gejala yang menetap setelah dites positif SARS-CoV-2. Studi kami menemukan keluhan sakit kepala dan kelelahan ekstrem yang paling umum," ujar pemimpin studi, Prof. Sir Terence Stephenson dari UCL Great Ormond Street Institute of Child Health, mengutip Irish Examiner.

Baca Juga: Long COVID, Gejala COVID-19 yang Bisa Menetap hingga Berbulan-bulan

4. Temuan yang "melegakan", tetapi tetap harus waspada

1 dari 7 Pasien COVID-19 Anak dan Remaja Berisiko Mengalami Long COVIDilustrasi long COVID pada remaja dan anak (shutterstock.com/RONNACHAIPARK)

Melihat studi terebut, Terence merasa lega karena temuan tersebut sebenarnya "jauh dari skenario terburuk". Sementara data dari penelitian tersebut mengisyaratkan sekitar 32.000 remaja mengidap gejala long COVID setelah 15 minggu, prevalensi long COVID di kelompok anak-anak dan remaja jauh lebih rendah dari yang diperkirakan tahun lalu.

"Secara keseluruhan, temuan ini lebih baik daripada prakiraan pada Desember lalu," kata Terence dilansir Reuters.

Sementara temuan ini melegakan, Terence mengkhawatirkan para pasien COVID-19 anak-anak dan remaja yang terdampak parah dari long COVID.

"Akan ada beberapa anak-anak dan remaja yang sampai tidak dapat bangun dari tempat tidur, sesak napas, dan menderita sakit kepala setiap hari," imbuh Terence.

5. Kondisi fisik dan mental buruk pengaruhi risiko

1 dari 7 Pasien COVID-19 Anak dan Remaja Berisiko Mengalami Long COVIDilustrasi remaja dan anak yang rindu keluar karena pandemi COVID-19 (healthier.stanfordchildrens.org)

Dilansir BBC, dari kelompok anak-anak yang ikut dalam penelitian tersebut, yang lebih mungkin melaporkan long COVID adalah anak-anak berusia remaja yang memiliki kesehatan fisik dan mental yang buruk. Mengapa begitu?

Para peneliti melihat bahwa anak-anak dan remaja sedang berjuang untuk terbiasa dengan gangguan fisik ringan secara mental. Namun, tes positif COVID-19 membuat mereka lebih tertekan. Bahkan, 41 persen partisipan anak yang positif COVID-19 merasa sedih, khawatir, dan tidak bahagia.

Para peneliti juga mengerti bahwa pandemi COVID-19 membawa efek negatif dan destruktif pada kaum anak-anak dan remaja. Ini dikarenakan COVID-19 menyebabkan:

  • Penutupan sekolah
  • Kehilangan interaksi sosial pada kaum muda
  • Kekhawatiran akan risiko infeksi SARS-CoV-2 yang menghantui 

6. Anak-anak dan remaja harus segera divaksinasi agar bisa kembali beraktivitas

1 dari 7 Pasien COVID-19 Anak dan Remaja Berisiko Mengalami Long COVIDilustrasi anak-anak disuntik vaksin COVID-19 (uchealth.org)

Sementara vaksin untuk anak-anak dan remaja sudah digelontorkan di Inggris, para peneliti studi mengatakan bahwa riset ini bukanlah menjadi bahan pertimbangan. Hal ini dikarenakan minimnya data yang mendukung potensi vaksin terhadap long COVID.

Namun, para peneliti mengatakan bahwa sudah semakin banyak bukti keamanan vaksin untuk kalangan anak dan remaja berusia 12-15 tahun. Oleh karena itu, daripada menunggu long COVID, pertimbangan pencegahan COVID-19 pada anak dan remaja harus lebih diutamakan.

"Kita melihat semakin bertambahnya bukti keamanan vaksin untuk kalangan 12-15 tahun, dan inilah yang harus dipertimbangkan", tandas Dr. Elizabeth Whittaker, dosen klinis senior bidang penyakit menular dan imunologi pediatri di Imperial College London.

Dengan vaksinasi pada anak dan remaja, Elizabeth yakin kalau kondisi generasi muda bisa kembali seperti semua, dan kegiatan belajar di sekolah pun bisa dilanjutkan.

Baca Juga: Beda dari Orang Dewasa? Kenali Gejala COVID-19 pada Anak

Topik:

  • Nurulia
  • Bayu Aditya Suryanto

Berita Terkini Lainnya