Studi: Oksitosin Meningkatkan Empati dan Kebahagiaan Hidup

Cinta tidak melulu soal seks!

Oksitosin adalah hormon yang identik dengan cinta dan seks. Padahal, oksitosin lebih dari itu, karena hormon ini terlibat dalam berbagai proses seperti persalinan dan menyusui.  Selain itu, oksitosin juga mengendalikan perilaku sosial dengan cara mengurangi rasa cemas, meningkatkan rasa percaya, kooperasi, kedermawanan, hingga empati.

Oleh karena hubungan antara oksitosin dan perilaku sosial positif, maka tidak aneh jika kadar oksitosin bisa membuat seseorang jadi lebih atau kurang empati dan bahagia. Sebuah penelitian terbaru mencari tahu mengenai hubungan oksitosin dan kebahagiaan hidup, dan inilah temuannya!

1. Penelitian melibatkan kaum muda dan lansia

Studi: Oksitosin Meningkatkan Empati dan Kebahagiaan Hidupilustrasi aktivitas sosial (unsplash.com/Ismael Paramo)

Dalam beberapa penelitian, kelompok lansia terlihat lebih sering bersedekah dan terlibat sebagai relawan dalam aktivitas sosial dibanding kelompok muda. Salah satu alasan yang paling mungkin adalah empati yang lebih besar pada kelompok lansia. Apakah mungkin karena kadar oksitosin yang lebih besar juga?

Dimuat dalam jurnal Frontiers in Behavioral Neuroscience pada April 2022, para peneliti Amerika Serikat (AS) ingin meneliti bagaimana hubungan antara kadar oksitosin dan perilaku pro-sosial. Riset ini melibatkan 103 partisipan berusia dari 18 sampai 99 tahun, yang terbagi menjadi tiga kelompok:

  • Muda (18–35 tahun).
  • Paruh baya (36–65 tahun).
  • Lansia (di atas 65 tahun).

2. Menonton video sedih memicu oksitosin

Ada banyak cara untuk memicu produksi oksitosin pada manusia. Para peneliti menggunakan video sedih untuk memicu produksi oksitosin pada 103 partisipan.

Para peneliti meminta para partisipan untuk menonton video sedih berdurasi 100 detik. Video tersebut berisi cerita seorang ayah mengenai perasaannya saat menghabiskan waktu-waktu terakhir bersama putranya yang berusia 2 tahun dan didiagnosis mengalami kanker otak terminal.

Sebelum dan setelah menonton video tersebut, para partisipan menjalani tes darah. Ini karena kadar oksitosin dalam darah dan otak saling berkaitan sehingga para peneliti bisa menguji kadar oksitosin otak melalui darah juga.

Baca Juga: 5 Fakta Oksitosin, ‘Hormon Cinta’ yang Memiliki Banyak Manfaat 

3. Hasil: Peningkatan oksitosin membuat seseorang jadi lebih dermawan

Studi: Oksitosin Meningkatkan Empati dan Kebahagiaan Hidupilustrasi sedekah (unplash.com/Bayu Prayuda)

Setelah menonton video, para peneliti melihat bahwa kadar oksitosin dalam kelompok separuh baya dan lansia jauh lebih besar dibanding kelompok muda. Lalu, para partisipan diberikan imbalan berupa uang. Mereka lalu diberi pilihan untuk menyumbangkannya.

Ternyata, partisipan yang memiliki kadar oksitosin tinggi menyumbangkan lebih banyak uang, dan mereka adalah partisipan kelompok lansia. Selain itu, berdasarkan survei yang diisi partisipan, kelompok separuh baya dan lansia lebih sering jadi relawan dan menyumbangkan uang.

Studi ini juga menemukan bahwa usia juga memainkan peran. Meski hanya terlihat sedikit peningkatan pada kadar oksitosin dalam kelompok paruh baya dan lansia, mereka tetap menyumbang lebih banyak. Oleh karena itu, faktor usia dan kadar oksitosin memengaruhi keinginan dan banyaknya jumlah uang yang disumbangkan.

4. Lebih beragama = lebih banyak oksitosin?

Selain lebih dermawan, para peneliti kemudian menemukan bahwa partisipan yang berusia senior lebih sering mengikuti aktivitas keagamaan serta jadi relawan dalam kegiatan sosial. Selain itu, mereka juga memiliki rasa kepuasan hidup yang lebih tinggi.

Kemudian, para peneliti menemukan bahwa besarnya respons oksitosin terhadap video ternyata dipengaruhi oleh rasa kepuasan hidup, partisipasi dalam aktivitas keagamaan, dan peningkatan rasa empati serta syukur.

5. Kekurangan studi tersebut

Studi: Oksitosin Meningkatkan Empati dan Kebahagiaan Hidupilustrasi relawan atau volunteer (pexels.com/rodnaeproduction)

Para peneliti mencatat beberapa kekurangan. Meski mendukung hipotesis bahwa oksitosin memengaruhi perilaku sosial, penelitian ini tidak membuktikan adanya hubungan kausalitas antara oksitosin dan perilaku pro-sosial.

Selain itu, para peneliti mengatakan bahwa studi ini tergolong "awal" karena hanya melibatkan segelintir partisipan di wilayah tertentu. Oleh karena itu, para peneliti berharap penelitian selanjutnya melibatkan lebih banyak partisipan yang lebih beragam.

Penelitian ini bisa jadi dasar bahwa oksitosin adalah yang menggerakkan seseorang untuk terus berbuat baik secara sosial. Terlepas dari hasil penelitian ini, bukankah membantu mereka yang membutuhkan membuat hati terasa nyaman dan lebih wholesome? Jangan jemu-jemu untuk berbuat baik, ya!

Baca Juga: Studi: Isolasi Sosial dan Kesepian Bikin Tubuh Meradang

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya