TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Studi: COVID-19 Tingkatkan Risiko Diabetes pada Anak

Pasca infeksi COVID-19, masih ada risiko yang mengintai

ilustrasi COVID-19 (IDN Times/Aditya Pratama)

Pandemik COVID-19 menyisakan duka. Tidak hanya tingkat rawat inap dan kematian, penyakit yang muncul pada akhir 2019 ini juga menyebabkan berbagai komplikasi, bahkan bisa memunculkan masalah kesehatan setelah sembuh. Oleh karena itu, pencegahan jauh lebih penting daripada pengobatan.

Bukan hanya lansia, kelompok anak-anak dan remaja di bawah 18 tahun juga disebut-sebut terancam komplikasi pasca COVID-19. Apakah bahaya yang menunggu mereka? Inilah peringatan yang tak boleh diabaikan tersebut!

1. Penelitian melibatkan lebih dari 520.000 data pasien dari 2 database

ilustrasi anak-anak diperiksa suhu tubuhnya (unicef.org)

Diabetes adalah salah satu komorbiditas yang bisa memperparah COVID-19. Selain itu, insiden diabetes meningkat di masa pandemik COVID-19.

Dipimpin Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), sebuah penelitian yang terbit pada 14 Januari 2022 mencari tahu risiko munculnya diabetes pada para pasien COVID-19.

CDC meneliti data pasien yang berusia di bawah 18 tahun. Data yang digunakan berasal dari dua database, yaitu:

  • IQVIA (1 Maret 2020–26 Februari 2021): 80.893 pasien dengan usia rata-rata 12,3 tahun.
  • HealthVerity (1 Maret 2020–28 Juni 2021): 439.439 pasien dengan usia rata-rata 12,7 tahun.

Baca Juga: Beda dari Orang Dewasa? Kenali Gejala COVID-19 pada Anak

2. Hasil: risiko besar diabetes mengintai pasien lebih dari 1 bulan setelah infeksi COVID-19

ilustrasi diabetes (freepik.com/minervastudio)

Para peneliti CDC lalu membandingkan insiden diabetes pada para pasien COVID-19 dengan mereka yang tidak terkena COVID-19, yang terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) sebelum pandemik COVID-19, dan yang tidak memiliki gangguan pernapasan sama sekali.

Hasilnya, para peneliti CDC menemukan bahwa dalam database IQVIA:

  • Sebanyak 316 per 100.000 orang dalam kelompok COVID-19 mengembangkan diabetes.
  • Sebanyak 118 per 100.000 orang dalam kelompok non-COVID-19 pada periode COVID-19 mengembangkan diabetes.
  • Sebanyak 126 per 100.000 orang dalam kelompok ISPA sebelum pandemik COVID-19 mengembangkan diabetes.
  • Sebanyak 125 per 100.000 orang dalam kelompok sehat pada masa sebelum pandemik mengembangkan diabetes.

Selain itu, para peneliti CDC menemukan bahwa dalam database HealthVerity:

  • Sejumlah 399 per 100.000 orang dalam kelompok pasien COVID-19 mengembangkan diabetes.
  • Sejumlah 304 per 100.000 orang dalam kelompok non-COVID-19 mengembangkan diabetes.

Ternyata, risiko diabetes pada pasien COVID-19 berkisar 31 persen (HealthVerity) hingga 166 persen (IQVIA) lebih tinggi dibanding pasien ISPA non-COVID-19 atau kelompok sehat.

Selain itu, pasien ISPA non-COVID-19 usia di bawah 18 tahun juga 116 persen (IQVIA) lebih berisiko mengembangkan diabetes daripada kelompok sehat.

3. Kemungkinan besar, kerusakan organ akibat COVID-19 meningkatkan risiko diabetes

ilustrasi badai sitokin (scitechdaily.com)

Peneliti CDC menjabarkan beberapa faktor yang mendasari fenomena ini. Pertama, infeksi SARS-CoV-2 dapat menjadi "serangan langsung ke sel pankreas" melalui hiperglikemia dari badai sitokin dan perubahan metabolisme glukosa akibat infeksi. Atau, para pasien memiliki kondisi pradiabetes yang berkembang menjadi diabetes.

Meski persentasenya kecil, pengobatan steroid saat rawat inap juga dapat menyebabkan hiperglikemia transien. Selain itu, peningkatan indeks massa tubuh (BMI) pun dapat memengaruhi baik faktor terkena COVID-19 parah dan/atau diabetes. 

Namun, hal ini masih belum dapat dipastikan. Oleh karena itu, para peneliti CDC berharap penelitian di masa depan bisa meneliti peran komorbiditas dan peningkatan BMI pada risiko diabetes pasca COVID-19.

"Data tambahan diperlukan untuk mengerti dasar mekanisme patogenik, baik disebabkan oleh infeksi SARS-CoV-2 atau oleh pengobatan, dan apakah diagnosis diabetes terkait COVID-19 hanya transien atau bisa mengarah ke kondisi kronis," tulis para peneliti.

4. Kekurangan studi tersebut

ilustrasi diabetes (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Para peneliti CDC menuliskan bahwa studi tersebut terbatas oleh empat kelemahan, yaitu:

  • Definisi diabetes memiliki spesifisitas rendah karena menggunakan kode tunggal ICD-10-CM, tidak menyertakan data laboratorium, dan tidak membedakan antara diabetes tipe 1 dan 2.

  • Pasien COVID-19 tanpa diagnosis atau tanpa hasil tes positif mungkin disalahartikan sebagai "pasien non-COVID-19".

  • Analisis ini kekurangan informasi yang dapat memengaruhi hubungan antara COVID-19 dan diabetes, seperti pradiabetes, ras atau etnis, dan status obesitas.

  • Hasil hanya mewakili kelompok di bawah usia 18 tahun yang mendapatkan perawatan medis, dan tidak mewakili populasi anak-anak yang termasuk pasien COVID-19 tanpa asuransi kesehatan atau yang tidak mendapatkan perawatan medis.

Baca Juga: 1 dari 7 Pasien COVID-19 Anak dan Remaja Berisiko Mengalami Long COVID

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya