TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pentingnya Memahami Kurva Epidemi dalam Penanganan COVID-19

Penting untuk mengambil kebijakan COVID-19 yang tepat

ilustrasi virus corona SARS-CoV-2 (IDN Times/Aditya Pratama)

Dalam penanganan pandemi COVID-19, data terkini amat penting untuk menentukan kebijakan selanjutnya di suatu wilayah atau negara. Sejak kasus pertama yang ditemukan pada Maret 2020 lalu, Indonesia telah menerapkan berbagai kebijakan, seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).

Salah satu yang menjadi acuan adalah kurva epidemi. Data dari kurva epidemi tersebut kemudian diambil menjadi penentu kebijakan, dan apakah kebijakan tersebut bisa dilonggarkan, dipertahankan, atau malah diperketat. Bagaimana peran kurva epidemi dalam penanganan COVID-19 di Tanah Air?

1. Mengenal sebutan R, Rt, dan R0 dalam pandemi COVID-19

ilustrasi SARS-CoV-2 (weheartit.com/biolabssss)

Mungkin kamu pernah mendengar atau melihat istilah R, Rt, dan R0 saat pemberitaan COVID-19. Apa itu? Dihubungi oleh IDN Times pada Selasa (3/8/2021), anggota tim Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKMUI), dr. Iwan Ariawan, MSPH, pertama menjelaskan mengenai komponen R pada kurva epidemi.

"R" pada Rt dan R0 adalah "angka reproduksi" dari satu penyakit menular. Dengan kata lain, "R" adalah ukuran dari kecepatan sebuah penyakit menulari orang-orang di masyarakat selama periode infeksiusnya.

"Jika berbicara konteks COVID-19, kalau ada satu orang terkonfirmasi COVID-19 lewat tes PCR, orang ini rata-rata akan menularkan ke berapa orang selama masa infeksiusnya, atau dalam waktu dua minggu," kata dr. Iwan.

Lalu, R tersebut akan berubah jadi R0 (naught). Sesuai namanya, R0 diukur di masa saat satu wabah dimulai. Kalau di Indonesia sendiri, R0 dimulai pada Maret 2020. R0 mengacu pada angka reproduksi penyakit menular saat belum ada intervensi apa-apa.

ilustrasi PPKM Darurat (IDN Times/Sachril Agustin Berutu)

Jika R lebih besar dari 1, maka kasusnya akan tidak terbendung. Dokter Iwan memberikan contoh, jika R=2, maka satu orang bisa menulari dua orang. Jadi, kalau satu orang tersebut sembuh atau meninggal dunia, maka dua orang gantinya. Tambah banyak!

Angka R ini akan berubah jika kita melakukan intervensi, seperti protokol kesehatan. Hasilnya, R ini dihitung sebagai Rt atau angka reproduksi efektif. Di Jakarta sendiri, Rt dihitung setelah adanya usaha seperti PPKM dan 3T (testing, tracing, dan treatment).

"Nah, di awal pandemi (Maret/April 2020), R0=2-3, satu orang dapat menularkan 2-3 orang. Namun, virus selalu bermutasi, jadi kalau virusnya bermutasi, maka R-nya bisa berbeda. Untuk varian Delta yang sekarang, R-nya bisa 5-8 orang. Ini kalau tanpa pencegahan seperti prokes," dr. Iwan menjelaskan.

Baca Juga: Tidak Mengalami Efek Samping, Tanda Vaksin COVID-19 Tak Efektif?

2. Pentingnya kurva epidemi dan angkanya dalam penanganan pandemi COVID-19

ilustrasi petugas medis melakukan perawatan terhadap pasien terinfeksi virus corona (COVID-19) di instalasi khusus. ANTARA FOTO/REUTERS/Ronen Zvulun

Dokter Iwan menekankan bahwa kurva epidemi penting untuk menilai keberhasilan pengendalian COVID-19 secara lebih objektif. Sekarang ini, karena pemerintah RI sudah memberlakukan PPKM sebagai intervensi, maka kurva yang dihitung adalah Rt.

Pandemi dianggap terkendali jika Rt kurang dari 1. Tidak hanya sehari, hasil Rt = <1 tersebut harus konsisten paling tidak selama dua minggu, barulah pandemi dapat dianggap terkontrol.

"Kalau Rt di atas 1, maka pandemi dianggap belum terkendali karena akan kenaikan kasus akan tetap terjadi. Pandemi baru terkendali jika Rt di bawah 1," kata dr. Iwan menekankan.

Per provinsi di Indonesia, Rt-nya berkisar 1,1 sampai 1,5. Sementara, secara nasional, Rt Indonesia berada di angka 1,2-1,3. Meski sudah di ambang 1, Rt tersebut tetaplah di atas 1, yang artinya wabah COVID-19 masih belum terkendali.

"Dengan PPKM sekarang, 3T, dan vaksinasi yang lebih ditingkatkan, maka Rt diharapkan turun hingga di bawah 1. Dengan begitu, wabah bisa terkendali dan PPKM bisa diturunkan levelnya," kata dr. Iwan.

3. Kesulitan memproduksi kurva epidemi yang akurat

Tes RT-PCR COVID-19 (freepik.com/anyaivanova)

Sementara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI memantau kurva berdasarkan laporan, dr. Iwan mengatakan kalau ia dan timnya menganalisis berdasarkan waktu penularan pada pasien atau kapan hasil PCR-nya diambil.

Ini dikarenakan adanya keterlambatan dari waktu laporan sampai hasil tesnya keluar, yang mana bisa memakan waktu hingga satu minggu. Menurut dr. Iwan, kurva epidemi yang benar atau "mendekati akurat" amat penting jika pemerintah RI ingin melihat besarnya Rt COVID-19 di Indonesia.

"Misalnya, kita tes PCR, hasilnya bisa memakan waktu seminggu. Jadi, ada keterlambatan. Kalau keterlambatan semua lab itu sama, harusnya tidak apa-apa. Tetapi, keterlambatan lab antar lab, kabupaten, hingga provinsi ini berbeda-beda, sehingga itu yang mempersulit. Oleh karena itu, harus dilakukan koreksi," ujar dr. Iwan.

4. Onset dan sensor kanan, dua koreksi penting dalam kurva epidemi COVID-19

ilustrasi tes pcr COVID-19 (unsplash.com/JC Gellidon)

Koreksi untuk kurva epidemi COVID-19 dapat dibagi menjadi dua. Pertama, adalah berdasarkan tanggal onset atau pertama kali gejala muncul. Akan tetapi, beberapa pasien COVID-19 tidak menunjukkan gejala (OTG).

Oleh karena itu, pendekatan selanjutnya adalah menurut tanggal tes PCR. Menurut dr. Iwan, pendekatan ini lebih baik daripada tanggal laporan laboratorium yang sering kali terlambat.

Namun, karena ada dua koreksi tersebut, maka di ujung kanan kurva (yang menunjukkan hari terakhir), kasus COVID-19 akan terlihat melandai. Ini disebabkan karena hasilnya belum muncul.

Oleh karena itu, dr. Iwan melakukan "koreksi sensor kanan", sehingga hasilnya tidak akan terlihat turun terus. Agar akurat, diharapkan tidak menggunakan data onset satu minggu terakhir, karena banyak pasien yang menunggu hasil tes.

Baca Juga: Vaksinasi COVID-19 untuk Ibu Hamil Akan Segera Dilaksanakan

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya