TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Disahkan BPOM AS dan Jepang, 5 Fakta Menarik soal Remdesivir

Kabar baik untuk para pasien COVID-19

livescience.com

Sudah 5 bulan dunia berperang menghadapi penyakit virus corona baru (COVID-19) yang disebabkan oleh virus corona baru (SARS-CoV-2). Bukan hanya untuk kesehatan, rupanya COVID-19 juga memukul perekonomian dunia. Tidak heran, dunia bekerja ekstra keras untuk mengalahkan pandemik yang berasal dari Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok Tengah ini.

Dari penguncian wilayah hingga pembatasan fisik, dunia terus mengupayakan akselerasi dalam mengalahkan COVID-19.

Kabar gembira untuk dunia, pada Jumat (1/5) lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) AS (Food and Drug Administration/FDA) menyetujui penggunaan obat anti-virus buatan Gilead Sciences, remdesivir, untuk pemakaian darurat. Bukan hanya AS, Jepang pun mengesahkan penggunaan remdesivir pada Jumat (8/5).

Ahli medis asal Kanada dan juga salah satu ketua Misi Gabungan WHO-Tiongkok untuk COVID-19, Bruce Aylward, menaruh harapan besar pada remdesivir untuk mengobati pasien COVID-19.

"Hanya ada satu obat sekarang yang kami pikir mungkin memiliki khasiat nyata. Obat itu adalah remdesivir," papar Aylward pada Februari.

Dengan begitu, remdesivir menjadi "ujung tombak" dunia medis dalam mengobati pasien COVID-19 untuk sekarang ini. Apa saja yang dunia ketahui mengenai remdesivir? Berikut 5 faktanya.

1. Cara kerja remdesivir

pixabay.com/Cassiopeia_Arts

Dilansir dari situs web resmi FDA, remdesivir menunjukkan potensi dalam mempercepat waktu pemulihan pasien COVID-19.

Otorisasi pemakaian darurat memungkinkan remdesivir untuk didistribusikan di AS dan diberikan melalui intravena oleh penyedia layanan kesehatan untuk mengobati COVID-19 pasien dalam pengawasan (PDP) atau positif SARS-CoV-2 pada orang dewasa dan anak-anak dengan gejala parah.

COVID-19 bergejala parah didefinisikan sebagai pasien dengan kadar oksigen darah rendah atau membutuhkan terapi oksigen atau dukungan pernapasan yang lebih intensif seperti ventilator mekanik.

“Dua hari setelah uji klinis remdesivir oleh National Institutes of Health (NIH) menunjukkan hasil yang menjanjikan, otorisasi pemakaian darurat oleh FDA untuk remdesivir adalah kemajuan yang signifikan dalam memerangi COVID-19,” papar Menteri Kesehatan dan Layanan Masyarakat AS, Alex Azar.

Setelah diuji oleh NIH sejak 21 April pada 1.063 pasien COVID-19, pada 29 April, hasilnya adalah remdesivir terbukti meningkatkan waktu pemulihan pada pasien COVID-19 hingga 31 persen hingga 11 hari, dibandingkan mereka yang mengonsumsi obat plasebo pada 15 hari.

Dalam surat keputusan FDA, Kepala Ilmuwan FDA, Denise M. Hinton, mengatakan bahwa remdesivir dapat menghalangi proses sintesis RNA pada SARS-CoV-2 secara efektif. Oleh karena itu, manfaat remdesivir terbukti melebihi efek sampingnya terhadap pasien COVID-19 dengan gejala parah.

"... percaya bahwa potensi dan manfaat RDV melebihi potensi risiko untuk pengobatan pasien dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 parah." tulis Hinton.

Baca Juga: 7 Kesalahan Olahraga saat Pandemi COVID-19, Bijak Cegah Virus Corona

2. Diproduksi oleh Gilead Sciences

bloomberg.com

Tak kenal, maka tak sayang. Obat sementara untuk COVID-19 ini diproduksi oleh perusahaan bioteknologi asal AS, yaitu Gilead Sciences. Berdiri pada 1987, Gilead Sciences berspesialisasi dalam bidang penelitian, pengembangan, dan penjualan obat anti-virus.

Berkat Gilead Sciences, beberapa pasien yang menderita penyakit akibat infeksi virus di dunia, dari flu, hepatitis, hingga AIDS, dapat melihat masa depan yang lebih cerah.

Saat mengembangkan remdesivir, Gilead Sciences melihat potensi remdesivir dalam sel dan hewan yang terinfeksi oleh virus corona jenis lain seperti SARS dan MERS. Akan tetapi, SARS dan MERS tidak menyebabkan krisis global yang berkelanjutan seperti COVID-19.

3. Awalnya bukan untuk COVID-19

npr.org

Tetapi, pada awalnya, ternyata remdesivir tidak tercipta untuk COVID-19. Sebelum dapat digunakan untuk SARS dan MERS, ternyata dua penyakit pernapasan tersebut tidak sempat membuat dunia jungkir balik seperti cucunya, COVID-19.

Oleh karena itu, sejak 2015, Gilead Sciences mempromosikan uji klinis dan penggunaan remdesivir sebagai obat anti-virus untuk Ebola, epidemik yang berawal di benua Afrika pada 2014. Saat itu, dunia menantikan keajaiban remdesivir terhadap infeksi virus Ebola, apalagi setelah uji coba pada hewan menunjukkan hasil yang menjanjikan.

Namun, hewan dan manusia berbeda. Ternyata, setelah diuji dari November 2018 hingga Agustus 2019, dua obat anti-virus, salah satunya remdesivir, terbukti tidak efektif dalam mengurangi angka kematian akibat Ebola.

Alhasil, remdesivir hanya menjadi obat terapi untuk Ebola. Mungkin, inilah saatnya remdesivir untuk bersinar!

4. Uji klinis sejak 2 bulan lalu

time.com

Melalui sebuah surat terbuka pada laman webnya tertanggal 10 April, CEO Gilead Sciences, Daniel O'Day, menyatakan bahwa sebenarnya uji klinis remdesivir untuk COVID-19 sudah dimulai sejak dua bulan yang lalu.

"Meskipun mungkin terasa seperti menunggu lama mengingat urgensi dari situasi sekarang ini, baru berjalan dua bulan sejak uji klinis remdesivir pertama dimulai," tutur O'Day.

Perlu diingat bahwa umumnya, sebuah pengujian terhadap obat atau vaksin dapat memakan waktu paling sedikit 12 bulan (malah, beberapa ahli memprakirakan 18 bulan!) untuk memegang data klinis pertama.

Oleh karena itu, O'Day mengatakan bahwa tersedianya data klinis pertama remdesivir dalam waktu secepat itu adalah hal yang luar biasa.

Pertama kali, Tiongkok melakukan dua uji coba remdesivir. Kemudian, lima uji coba klinis dilakukan di seluruh dunia. Bahkan, National Institute of Allergy and Infectious Disease (NIAID) AS sudah melakukan uji klinis global sejak 21 Februari pada sekitar 800 pasien. Mereka diberikan remdesivir dan obat plasebo untuk membandingkan keampuhan remdesivir.

Pada 29 April 2020, Gilead Sciences mengumumkan hasil pertama dari dua eksperimen fase 3 remdesivir terhadap pasien COVID-19. Eksperimen yang dilakukan di tiga benua (AS, Asia, dan Eropa) tersebut menguji efektivitas dan keamanan remdesivir setelah diberikan pada pasien COVID-19 dengan gejala parah dalam jangka waktu 5 hari dan 10 hari.

Dalam analisis eksploratif tersebut, Gilead Sciences melihat bahwa pasien COVID-19 dalam penelitian yang menerima remdesivir dalam waktu 10 hari sejak munculnya gejala memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang diobati setelah lebih dari 10 hari gejala.

“Data ini merupakan berita baik karena menunjukkan bahwa pasien yang menerima remdesivir dalam jangka waktu 5 hari menunjukkan peningkatan klinis yang sama dengan pasien yang menerima kursus pengobatan 10 hari,” papar peneliti dari Stanford University School of Medicine, Aruna Subramanian, MD.

Hal tersebut menunjukkan bahwa jika dipakai secara optimal, remdesivir terbukti aman dan efektif dalam mengobati COVID-19.

Untuk tahap ke-2, penelitian pemberian remdesivir selama 5 hari hingga 10 hari pada pasien COVID-19 dengan gejala sedang tengah dilakukan. Hasil penelitian remdesivir tahap dua ini akan keluar pada akhir Mei. Jika hasilnya bagus, bukan tidak mungkin remdesivir akan tersedia secara global.

Baca Juga: 13 Mitos Virus Corona yang Salah Kaprah, Jangan Terlalu Mudah Percaya!

Writer

Alfonsus Adi Putra

English linguist with a passion for journalism and news-writing.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya