TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Osteopenia: Gejala, Penyebab, Diagnosis, dan Pengobatan

Bila dibiarkan bisa menyebabkan osteoporosis

ilustrasi konsultasi dokter tentang masalah tulang (lompocvmc.com)

Bagi sebagian orang, mungkin osteopenia dikira sama dengan osteoporosis karena keduanya merupakan istilah untuk kondisi pengeroposan tulang. Padahal, sebenarnya ada perbedaan antara keduanya.

Sedikit berbeda dengan osteoporosis, osteopenia juga merujuk pada kondisi pengeroposan tulang, hanya saja lebih ringan. Meski demikian, osteopenia juga harus diwaspadai karena bisa berdampak parah apabila tidak ditangani.

Beberapa dampak yang dapat ditimbulkan adalah patah tulang, postur tubuh bungkuk, nyeri, dan penurunan tinggi badan. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai osteopenia, simak ulasan lebih lanjut berikut ini.

1. Apa itu osteopenia?

ilustrasi osteopenia (researchgate.net)

Osteopenia adalah kondisi rendahnya tingkat kepadatan tulang, sehingga tulang menjadi lebih lemah dari kondisi normal. Kondisi ini bisa diketahui dengan mengukur kepadatan mineral dalam tulang atau bone mineral density (BMD) melalui serangkaian pemeriksaan.

Apabila seseorang memiliki BMD yang lebih rendah dari kondisi normal tetapi belum masuk klasifikasi osteoporosis, maka orang tersebut mengalami osteopenia. Rendahnya kepadatan tulang inilah yang menyebabkan orang dengan kondisi osteopenia akan lebih rentan mengalami osteoporosis.

Baca Juga: 7 Kebiasaan Berbahaya untuk Tulang Belakang tapi Sering Dientengkan

2. Jarang disadari karena tidak menimbulkan gejala 

ilustrasi sakit pinggang bagian belakang (freepik.com/jcomp)

Pengeroposan tulang adalah kondisi yang umumnya dialami orang berusia lanjut, dan biasanya kondisi ini baru disadari ketika telah mencapai tahap yang lebih parah. Ini karena terjadinya penurunan kepadatan mineral pada tulang memang tidak bergejala.

Satu-satunya cara pasti untuk mengetahui kondisi ini adalah dengan melakukan pemeriksaan ke dokter spesialis.

Meski demikian, secara alami manusia akan mengalami penurunan tinggi badan hingga 2,5 cm setelah melalui puncak pertumbuhan. Nah, apabila penurunan tinggi badan yang terjadi mencapai lebih dari 2,5 cm, itu bisa menjadi indikasi seseorang mengalami osteopenia. Selain itu, patah tulang juga bisa menunjukkan adanya kelainan, sehingga harus diwaspadai.

Osteopenia biasanya tidak menimbulkan tanda atau gejala apa pun sampai berkembang menjadi osteoporosis. Beberapa orang dengan osteopenia mungkin mengalami nyeri atau kelemahan tulang, tetapi ini sangat jarang. Kondisi ini biasanya terdeteksi saat seseorang menjalani pemeriksaan BMD.

3. Penyebab

ilustrasi lansia (pexels.com/Matthias Zomer)

Tulang terbuat dari jaringan hidup. Sampai sekitar usia 30 tahun, orang yang sehat membangun lebih banyak tulang daripada yang hilang. Namun, setelah usia 35 tahun, tulang mulai rusak lebih cepat daripada pembentukannya. Bahkan, pada orang yang sehat sekalipun, kepadatan tulang menurun sepanjang hidup, kurang dari 1 persen per tahun.

Dilansir Cleveland Clinic, ada beberapa hal yang dapat membuat pengeroposan tulang terjadi lebih cepat, yang mengarah ke osteopenia, seperti:

  • Hipertiroidisme
  • Obat-obatan seperti prednisode dan beberapa pengobatan untuk kanker, heartburn, tekanan darah tinggi, dan kejang
  • Perubahan hormonal saat menopause
  • Nutrisi yang buruk, seperti pola makan rendah kalsium dan vitamin D
  • Operasi pada sistem gastrointestinal yang dapat memengaruhi kemampuan tubuh untuk menyerap nutrisi dan mineral yang diperlukan
  • Pola hidup yang buruk seperti merokok, minum terlalu banyak alkohol atau kafein, dan tidak berolahraga

4. Perempuan lebih rentan

Perempuan mengalami ketidaknyamanan di tulang belakang saat bekerja. (freepik.com/yanalya)

Selain karena usia dan faktor-faktor di atas, risiko osteopenia juga akan lebih tinggi pada perempuan. Ini karena perempuan memiliki kepadatan tulang yang jauh lebih rendah. Menopause di bawah usia 40 tahun juga bisa meningkatkan risiko ini.

Dilansir Healthline, perempuan Asia dan Kaukasia memiliki risiko tertinggi mengalami osteopenia karena memiliki tulang yang lebih kecil. 

Meski demikian, laki-laki dengan kadar testosteron yang rendah juga memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami osteopenia. Mengutip Harvard Health Publishing, sekitar sepertiga laki-laki kulit putih dan Asia yang berusia di atas 50 tahun mengalami osteopenia. Orang Hispanik dan kulit hitam memiliki risiko lebih rendah, tetapi angkanya pun masih cukup tinggi.

5. Diagnosis

ilustrasi dual-energy X-ray absorptiometry atau tes DEXA (siue.edu)

Untuk mendiagnosis osteopenia, dokter biasanya akan:

  • Menanyakan riwayat kesehatan keluarga, terutama osteoporosis
  • Menanyakan riwayat kesehatan pribadi, termasuk obat yang dikonsumsi, kondisi medis yang dimiliki, gaya hidup, dan lain-lain
  • Melakukan pemeriksaan fisik
  • Melakukan tes kepadatan tulang

Kepadatan tulang diukur dengan dual-energy X-ray absorptiometry (DEXA). DEXA adalah tes pencitraan cepat dan tanpa rasa sakit yang menggunakan sinar-X untuk menentukan apakah pasien memiliki tulang yang sehat, osteopenia, atau osteoporosis. Ini memberikan skor yang disebut T-score:

  • Skor +1 sampai -1 menunjukkan kepadatan tulang yang normal
  • Skor -1 hingga -2,5 menunjukkan osteopenia
  • Skor -2,5 atau lebih rendah berarti osteoporosis

DEXA memberikan informasi "pengukuran dasar" kepada dokter. Artinya, dokter bisa membandingkan hasil tes saat ini dengan hasil tes di masa mendatang untuk menentukan apakah kepadatan tulang menurun seiring waktu.

6. Pengobatan

ilustrasi olahraga (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Tidak ada obat untuk osteopenia. Namun, penting untuk menjaga kepadatan tulang. Perawatannya umumnya melibatkan strategi sederhana untuk menjaga tulang tetap sehat dan kuat dan mencegah perkembangan osteoporosis. Perawatannya antara lain:

  • Suplementasi kalsium
  • Olahraga
  • Pola makan sehat
  • Suplemen untuk kekurangan vitamin D dan paparan sinar matahari untuk membantu tubuh menyerap vitamin D

Selain itu, dokter juga akan memantau kepadatan tulang dari waktu ke waktu jaga-jaga pasien mengembangkan osteoporosis.

Baca Juga: Perempuan Rentan Terkena Osteoporosis, Saatnya Cegah dengan 3S

Verified Writer

Halifa

-

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya