TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Hobi Mendaki Gunung? Altitude Sickness Perlu Diwaspadai

Umum terjadi pada ketinggian lebih dari 2.500 meter

ilustrasi laki-laki yang duduk di area pegunungan (freepik.com/freepik)

Altitude sickness adalah kondisi yang bisa terjadi ketika seseorang melakukan pendakian ke tempat tinggi tanpa adaptasi secara bertahap. Kondisi ini juga dikenal dengan penyakit gunung akut, penyakit ketinggian, hypobaropathy, penyakit Acosta, puna, dan soroche.

Umumnya altitude sickness dialami individu yang kekurangan oksigen setelah mencapai pendakian di ketinggian lebih dari 2.500 meter atau 8.000 kaki. Individu yang tidak terbiasa mendaki dengan ketinggian ekstrem paling berisiko terkena altitude sickness. Selain itu, penting untuk dipahami jika kondisi ini tidak bisa dianggap remeh karena dapat menyebabkan komplikasi serius.

Berikut adalah fakta mengenai altitude sickness yang menarik untuk diketahui, khususnya buat kamu yang hobi mendaki gunung.

1. Gejala altitude sickness

ilustrasi perempuan yang sedang mendaki (freepik.com/serhii_bobyk)

Pada dasarnya, tingkat keparahan gejala altitude sickness tergantung pada beberapa faktor seperti usia, berat badan, tekanan darah, kapasitas pernapasan, kecepatan individu menaiki ketinggian, serta waktu yang dihabiskan untuk mencapai ketinggian tersebut.

Gejala altitude sickness meliputi:

  • Pusing
  • Mual
  • Muntah
  • Insomnia
  • Sesak napas
  • Kelelahan
  • Merasa mengantuk
  • Kurang nafsu makan
  • Terjadi pembengkakan pada area tangan, kaki, dan wajah

Altitude sickness dapat memburuk dari waktu ke waktu dan mengakibatkan komplikasi serius, salah satunya adalah penumpukan cairan di organ paru-paru dan pembengkakan pada otak.

Penumpukan cairan pada paru-paru dapat menyebabkan demam, batuk terus-menerus (kadang-kadang disertai dengan dahak berwarna merah muda), dan napas terengah-engah bahkan ketika tidak melakukan aktivitas apa pun.

Sementara itu, tanda-tanda pembengkakan otak yaitu sakit kepala secara terus-menerus dan berkepanjangan yang tidak mereda bahkan setelah diberikan obat penghilang rasa sakit, terganggunya keseimbangan, meningkatnya intensitas muntah, hilangnya kesadaran, dan mati rasa.

Baca Juga: Viral Pendaki Gunung Lawu Tewas, Ini 8 Tahap Ngeri Mati Hipotermia

2. Menetap di area ketinggian meningkatkan risiko altitude sickness

ilustrasi seseorang mendirikan tenda di area pegunungan (freepik.com/jcomp)

Penyakit gunung kronis cenderung berkembang setelah individu menghabiskan waktu yang cukup lama di area ketinggian. Tinjauan ilmiah dalam jurnal High Altitude Medicine & Biology menjelaskan adanya hubungan sebab akibat terkait peningkatan ketinggian dan prevalensi penyakit gunung kronis yang bisa dialami siapa saja.

Adapun altitude sickness cenderung terjadi dalam waktu yang lebih singkat antara 1 sampai 5 hari, dengan titik ketinggian di atas 2.500 meter. Kendati demikian, altitude sickness tetap harus diwaspai karena jika sifatnya sudah akut dapat meningkatkan risiko kondisi yang lebih parah seperti high-altitude cerebral edema (HACE) dan high-altitude pulmonary edema (HAPE).

3. Penyebab utama altitude sickness adalah naik pada ketinggian tanpa manajemen adaptasi yang baik

ilustrasi mendaki area ketinggian (freepik.com/jcomp)

Penyebab utama altitude sickness adalah menaiki area ketinggian terlalu cepat tanpa manajemen adaptasi yang baik. Selain itu, menetap dalam waktu yang lama di area ketinggian juga dapat meningkatkan risiko bentuk penyakit ketinggian.

Menurut National Health Service, rata-rata tubuh manusia membutuhkan waktu sekitar 1 sampai 3 hari untuk menyesuaikan diri dengan perubahan ketinggian. Individu yang tidak mendapatkan cukup waktu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut memiliki risiko yang lebih tinggi terkena penyakit ketinggian.

Tubuh manusia memiliki kemampuan dalam merespons perubahan ketinggian dengan manifestasi berupa perubahan tingkat keasaman dalam darah, tingkat elektrolit, tekanan paru-paru, serta keseimbangan cairan.

Dengan menaiki area yang lebih tinggi tanpa manajemen adaptasi yang baik, dapat meningkatkan risiko kebocoran cairan dari pembuluh darah yang nantinya mengakibatkan penumpukan cairan dan berpotensi mengancam jiwa.

4. Diagnosis dan pengobatan yang dapat membantu meminimalkan gejala altitude sickness

ilustrasi perempuan berdiri bukit tinggi (freepik.com/serhii_bobyk)

Untuk memastikan diagnosis terkait altitude sickness, dokter mungkin akan mengevaluasi kesehatan pasien setelah menaiki ketinggian lebih dari 2.500 meter. Pasien yang diindikasikan mengalami kondisi ini mungkin akan mengeluhkan beberapa gejala seperti sakit kepala, sesak napas, insomnia, dan lain sebagainya.

Bentuk pengobatan dan perawatan yang dapat meminimalkan altitude sickness meliputi:

  • Turun dari ketinggian: jika individu yang bersangkutan mengeluhkan gejala altitude sickness, maka hal yang sebaiknya dilakukan adalah dengan turun ke daerah yang lebih rendah.

  • Pemberian oksigen: memberikan oksigen murni dapat membantu individu dengan masalah pernapasan parah yang disebabkan oleh penyakit ketinggian.

  • Menempatkan individu dalam tas bertekanan atau gamow bag: media ini dapat digunakan saat penurunan cepat tidak memungkinkan untuk dilakukan.

  • Obat penghilang rasa sakit: asetaminofen mungkin akan diberikan oleh dokter untuk meredakan sakit kepala.

  • Obat lainnya: berupa acetazolamide, deksametason, dan nifedipine yang mungkin juga akan diberikan dokter tergantung pada kondisi individu yang bersangkutan.

Baca Juga: 7 Gejala Radang Usus Buntu pada Orang Dewasa, Jangan Lengah!

Verified Writer

Indriyani

Full-time learner, part-time writer and reader. (Insta @ani412_)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya