Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Pada tahun 2018, The Indonesian Basic Health Research mengatakan jika 3% dari masyarakat Indonesia berusia diatas 10 tahun mengonsumsi alkohol. Yang mengejutkan, jumlah peminum alkohol di Indonesia meningkat selama masa pandemi. Dikutip dari jurnal Frontiers in Psychiatry, angka peminum alkohol di tahun 2020 naik tiga kali lipat dibanding tahun 2018.
Di balik pro dan kontra terkait konsumsi alkohol, jurnal Acta Neurologica Scandinavica mengonfirmasi jika kandungan etanol pada minuman beralkohol bisa memicu rasa kecanduan di otak. Salah satu efek paling mematikan adalah delirium tremens. Yuk, perluas wawasanmu tentang penyakit satu ini dengan membaca tulisan berikut.
1. Penyebab
ilustrasi pecandu alkohol kronis (unsplash.com/Andrey Zvyagintsev) Dilansir dari jurnal StatPearls tahun 2021, delirium tremens adalah gangguan kesadaran dan fungsi organ akibat penghentian alkohol mendadak pada pecandu alkohol. Sebagai ilustrasi menurut tulisan "Delirium Tremens" terbitan WebMD, 5% dari pecandu alkohol dapat mengalami delirium tremens yang mematikan. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Menurut jurnal Frontiers in Psychiatry, otak dari pecandu alkohol sudah terbiasa mendapatkan sensasi gembira berlebihan dari kebiasaan konsumsi alkohol rutin. Akibatnya saat dihentikan mendadak, saraf otak akan langsung aktif secara berlebihan. Karena hampir seluruh organ kita dikontrol oleh saraf, otomatis fungsi organ tubuh pun akan ikut terganggu.
2. Tanda dan gejala
Gejala yang berat berupa penurunan kesadaran dan kelainan organ (pixabay.com/Alexas_Fotos) StatPearls menyatakan jika gejala delirium tremens dapat muncul dalam 6 jam sejak penghentian konsumsi alkohol. Biasanya,gejala awal yang muncul berupa rasa cemas, sulit tidur, jantung berdebar, mual-muntah dan sakit kepala. Gejala delirium tremens yang ringan bisa hilang sendiri dalam waktu 1 - 2 hari.
Berdasarkan tulisan dari WebMD di tahun 2020, delirium tremens juga bisa menyebabkan gejala dan tanda yang berat seperti :
- Halusinasi
- Kejang
- Penurunan kesadaran
- Kulit dingin
- Tekanan darah sangat meningkat
- Kekurangan elektrolit
- Tanda-tanda infeksi berat (sepsis)
Baca Juga: Ini Pemicu dan Gejala Delirium pada Pasien COVID-19 Menurut Dokter UGM
3. Diagnosis
ilustrasi tes kadar alkohol dalam darah (freepik.com/rawpixel.com) Menyimpulkan dari tulisan StatPearls dan WebMD, diagnosis delirium tremens seharusnya dibuat atas hasil wawancara pasien dan pemeriksaan fisik. Kasus ini termasuk kasus gawat darurat sehingga penanganannya harus dilakukan sesegera mungkin. Pada sebagian kasus, dokter dapat mempertimbangkan melakukan beberapa pemeriksaan tambahan seperti :
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Editor’s picks
- Tes kadar alkohol
- Tes kadar gula darah
- Tes kadar elektrolit
- Pemeriksaan pencitraan otak
- Tes rekam otak (elektroensefalogram)
4. Penanganan
pemberian obat suntik untuk terapi delirium tremens (unsplash.com/Mufid Majnun) Berbagai sumber ilmiah menyarankan pemberian obat benzodiazepin sebagai terapi utama. Pemberian benzodiazepin menurut jurnal Acta Neurologica Scandinavica dapat menurunkan aktivitas saraf otak dan meredakan kegelisahan pasien. Sebagai tambahan, StatPearls lebih merekomendasikan pemberian obat benzodiazepin dalam bentuk suntik pada kasus delirium tremens, mengingat efeknya yang lebih cepat.
WebMD juga mengingatkan pentingnya cairan infus untuk meminimalkan kehilangan cairan dan elektrolit pada delirium tremens. Obat-obatan lain (seperti thiamin, infus gula, obat anti halusinasi, dan obat penurun detak jantung) hanya diberikan bila dirasa perlu.
Dikutip dari laman WebMD, pasien delirium tremens biasanya juga harus menjalani rawat inap di rumah sakit sampai kondisinya berangsur-angsur stabil.
Baca Juga: Ini Pemicu dan Gejala Delirium pada Pasien COVID-19 Menurut Dokter UGM