TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Waspadai 5 Penyakit yang Bisa Menyebabkan Orang Meninggal Mendadak

Cegah dengan membiasakan pola hidup sehat mulai detik ini

ilustrasi petugas paramedis (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Mempunyai tubuh yang sehat sangatlah penting karena itu adalah salah satu faktor penting dalam mendukung kualitas hidup seseorang. Inilah kenapa kesehatan tubuh harus dijaga dengan cara mengontrol asupan makanan, rajin olahraga, dan istirahat cukup.

Menjaga kesehatan tubuh juga dapat mencegah berbagai penyakit, termasuk penyakit berbahaya. Perlu kamu ketahui, ada beberapa penyakit yang bisa bila tidak segera mendapat penanganan menyebabkan kematian secara mendadak.

Menurut laporan dalam jurnal Forensic Research and Criminology International mengartikan kejadian meninggal secara mendadak sebagai kematian yang terjadi 24 jam setelah gejala penyakit muncul.

Di bawah ini akan dibahas beberapa penyakit yang awalnya tidak menunjukkan gejala signifikan, tetapi bisa berakibat fatal apabila tidak ditangani dengan baik. Inilah daftar penyakit yang bisa menyebabkan penderitanya meninggal mendadak yang tentunya patut kita waspadai bersama.

1. Aritmia dan henti jantung mendadak

ilustrasi seseorang mengalami henti jantung (pexels.com/RODNAE Productions)

Aritmia adalah kondisi nadi jantung berdenyut tidak normal misalnya terlalu cepat, terlalu lambat, atau berdenyut dengan irama yang tidak beraturan.

Aritmia bisa menyebabkan seseorang mengalami henti jantung mendadak (sudden cardiac death) yang mana jantung tidak dapat memompa darah ke otak dan sebagai akibatnya seseorang bisa meninggal bila tidak segera mendapatkan penanganan. Dilansir UCLA David Geffen School of Medicine, aritmia menyebabkan 200.000 hingga 300.000 orang meninggal secara tiba-tiba setiap tahunnya.

Mengutip Cleveland Clinic, gejala utama dari henti jantung mendadak adalah merasakan jantung berdetak terlalu cepat atau tidak beraturan dan merasa pusing terhuyung-huyung seperti hendak jatuh. Namun, tidak sedikit pula yang tidak menunjukkan gejala apa pun.

Lebih lanjut, kondisi henti jantung mendadak lebih banyak dialami oleh orang laki-laki dibandingkan orang perempuan, terutama di usia 30 hingga 40 tahunan.

Seseorang yang memiliki kondisi berikut ini lebih berisiko mengalami henti jantung mendadak:

  • Pernah mengalami serangan jantung. Seseorang yang baru saja mengalami serangan jantung rentan terhadap henti jantung mendadak, terutama selama 6 bulan setelah serangan jantung
  • Sesaat setelah serangan jantung, pernah mengalami kondisi ventrikel takikardi (bilik jantung berdetak terlalu cepat), atau ventrikel fibrilasi (jantung berdetak dengan arus listrik yang terlalu cepat dan tidak beraturan)
  • Memiliki penyakit jantung koroner, termasuk riwayat kesehatan seperti aktif merokok, jantung yang membesar, dan kolesterol tinggi
  • Memiliki anggota keluarga yang mempunyai masalah dengan kesehatan jantung. Contohnya sindrom Wolf-Parkinson-White, henti jantung mendadak, dan blok jantung
  • Sering pingsan dengan alasan yang tidak jelas
  • Memiliki riwayat kelainan di pembuluh darah dan memiliki penyakit jantung bawaan
  • Obesitas dan diabetes
  • Memiliki kondisi kardiomiopati (otot jantung tidak elastis dan kaku)
  • Menggunakan obat terlarang seperti narkotika

Pencegahan dapat dilakukan dengan:

  • Melakukan tes kesehatan jantung secara rutin setiap tahunnya
  • Rajin berolahraga dan menerapkan pola makan rendah lemak
  • Tidak merokok
  • Menurunkan berat badan terutama bila memiliki berat badan melebihi batas normal
  • Apabila memiliki penyakit diabetes, pastikan gula darah terkontrol
  • Apabila memiliki riwayat penyakit jantung, rutin berkonsultasi dengan dokter untuk memonitor kesehatan jantung

Baca Juga: Viral! Janin Meninggal akibat Rumput Fatimah, Waspadai Bahayanya

2. Hematoma intrakranial

ilustrasi ibu naik motor dengan anak-anaknya (unsplash.com/Yannis H)

Hematoma intrakranial adalah pendarahan yang terjadi di dalam tengkorak karena pecahnya pembuluh darah di dalam kepala. Pembuluh darah ini pecah karena cedera, misalnya jatuh atau mengalami kecelakaan.

Seseorang yang pernah jatuh dan mengalami kecelakaan disarankan untuk melakukan pemindaian CT scan atau MRI untuk memeriksa apakah ada penggumpalan darah atau pembengkakan di otak. Hasilnya akan membantu dokter dalam menentukan langkah pengobatan yang tepat, misalnya pemberian resep obat atau operasi.

Dilansir Healthline, gejala dari hematoma intrakranial antara lain:

  • Mengalami sakit kepala yang parah secara tiba-tiba
  • Sakit kepala yang berkaitan dengan insiden kecelakaan atau cedera
  • Sakit kepala ringan tetapi tidak kunjung sembuh
  • Sakit kepala yang disertai dengan leher terasa kaku atau kencang
  • Mudah lelah dan mengantuk
  • Merasa bingung
  • Muntah lebih dari dua kali dalam durasi 24 jam
  • Kejang
  • Mengalami koma atau tidak sadarkan diri

Hematoma intrakranial juga dapat terjadi pada anak-anak akibat dari guncangan yang keras dan pernah jatuh. Gejala yang muncul pada anak-anak mirip dengan gejala pada orang dewasa, dengan tambahan di bagian kepala anak terlihat bengkak, mengalami patah tulang di bagian lengan dan kaki, pendarahan di retina, dan tidak sadarkan diri.

Untuk mencegah hematoma intrakranial, dianjurkan untuk mengenakan helm saat mengendarai sepeda, sepeda motor, skateboard, atau skuter. Lalu, jangan lupa kenakan sabuk pengaman saat berkendara dengan mobil. Anak-anak yang pernah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga sangat disarankan untuk diperiksakan ke dokter guna memastikan tidak ada cedera di otak dan kepala.

3. Hematoma subdural

ilustrasi subdural hematoma (nspc.com)

Hematoma subdural adalah pendarahan yang terjadi di antara lapisan dura dan selaput arachnoid. Lapisan dura adalah lapisan terluar di selaput mening yang melindungi otak dan tulang belakang.

Hematoma subdural umumnya terjadi di bayi atau balita dan lansia. Pada bayi atau balita, ini bisa terjadi akibat kekerasan dalam rumah tangga, misalnya dipukul, diguncang keras, atau trauma saat proses persalinan. Sementara pada lansia, ini bisa terjadi karena penyusutan di otak yang lalu menyebabkan pembuluh darah di otak meregang dan mudah robek.

Dilansir WebMD, gejala hematoma yang perlu diwaspadai antara lain:

  • Awalnya terlihat baik-baik saja setelah cedera, tetapi beberapa hari atau minggu kemudian orang tersebut merasakan kebingungan dan dapat tidak sadarkan diri
  • Sesaat setelah cedera, orang tersebut langsung tidak sadarkan diri dan bahkan mengalami koma
  • Sekadar informasi, gejala seperti kebingungan, pusing, kejang, dan muntah dapat muncul 2 minggu setelah insiden cedera

Lebih lanjut, orang yang menggunakan obat pengencer darah seperti aspirin dan warfarin juga berisiko mengalami hematoma subdural apabila mengalami cedera di kepala.

Pencegahan dapat dilakukan dengan secara ketat memantau lansia agar tidak jatuh, mengawasi anak di rumah, menggunakan protokol keselamatan seperti sabuk pengaman dan helm saat berkendara atau melakukan aktivitas yang memiliki risiko jatuh atau cedera.

4. Emboli paru

emboli paru (healthsci.mcmaster.ca)

Emboli paru adalah penyumbatan di arteri paru-paru karena saluran arteri tersumbat oleh gumpalan-gumpalan darah. Gumpalan darah umumnya berasal dari darah yang menggumpal di pembuluh darah vena dalam (deep vein) di kaki. Gumpalan ini kemudian berjalan ke atas menuju paru-paru. Apabila gumpalan terlalu banyak, darah tidak bisa mengalir ke paru-paru dan terjadilah emboli paru.

Mengutip laman University of Utah Health, sepertiga dari pasien dengan emboli paru dapat meninggal dunia karena jantung berhenti mendadak (cardiac arrest) sebelum dokter menemukan gumpalan atau penyumbatan di rumah sakit.

Dokter Stacy Johnson, seorang dokter spesialis emboli paru di University of Utah Health di Amerika Serikat (AS), menganjurkan untuk segera memeriksakan diri ke dokter apabila sering mengalami gejala kaki terasa kencang atau kaku kemudian bengkak, dada terasa sesak atau berat dan tidak bisa hilang, dan kram otot atau spasme otot.

Dirangkum dari Mayo Clinic, gejala emboli paru lainnya antara lain:

  • Sesak napas
  • Dada terasa sakit saat menghirup udara, batuk, dan membungkuk. Rasa sakit membuat penderita merasa kesulitan untuk bernapas dalam
  • Batuk yang mengeluarkan darah atau dahak yang tercampur dengan darah
  • Detak jantung sangat cepat atau tidak beraturan
  • Demam
  • Kaki terasa sakit atau bengkak terutama di bagian betis
  • Pusing seperti hendak jatuh
  • Berkeringat
  • Warna kulit menjadi pucat kebiruan (cyanosis)

Seseorang lebih berisiko mengalami emboli paru bila:

  • Terinfeksi oleh virus corona penyebab COVID-19
  • Sakit jantung
  • Kanker seperti kanker otak, ovarium, paru-paru, dan ginjal
  • Penyakit keturunan yang berkaitan dengan darah
  • Pernah atau baru saja melakukan operasi

British Lung Foundation menyarankan untuk melakukan hal ini guna mencegah emboli paru:

  • Mengontrol asupan makanan untuk mencegah obesitas
  • Berhenti merokok
  • Rajin berolahraga
  • Tidak duduk terlalu lama terutama saat sedang bekerja dan menonton TV
  • Memastikan tubuh tidak dehidrasi dengan minum air yang cukup
  • Setelah melakukan operasi, usahakan untuk menggerakkan kaki untuk mencegah penggumpalan darah di pembuluh vena dalam di kaki (deep vein thrombosis)
  • Apabila harus melakukan perjalanan jauh dengan pesawat, kenakan pakaian yang longgar dan nyaman, berjalan, dan menggerakkan kaki setiap 30 menit
  • Konsultasi dengan dokter apabila memiliki riwayat penggumpalan darah

Baca Juga: 7 Penyebab Kematian saat Tidur yang Bisa Dialami Siapapun

Verified Writer

Maria Sutrisno

"Less is More" Ludwig Mies Van der Rohe.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya