TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

7 Fakta tentang Mitos Vaksin COVID-19 yang Sering Beredar

Jangan gampang percaya informasi yang gak jelas kebenarannya

ilustrasi vaksinasi covid-19 (freepik.com/freepik.com)

Semua orang berhak untuk mendapatkan vaksin COVID-19. Namun, karena informasi "kata teman", "kata temannya kakak aku", "kata tetangga lewat grup WhatsApp", atau informasi yang tidak jelas kebenarannya dari orang-orang sekitar dan media sosial, beberapa orang menjadi ragu atau bahkan menolak vaksinasi karena alasan keamanan, efektivitas, atau percaya teori konspirasi tertentu.

Yuk, ikut ambil bagian untuk menyukseskan program vaksinasi nasional untuk menekan angka penularan penyakit, dan supaya kekebalan kelompok (herd immunity) cepat tercapai. Caranya adalah jadi masyarakat yang cerdas dan tak mudah percaya hoaks! Berikut ini fakta tentang mitos vaksin COVID-19 yang sering beredar.

1. Vaksin tidak aman karena dikembangkan dan diuji dalam waktu singkat

ilustrasi uji lab (pexels.com/polina tankilevitch)

Vaksin COVID-19 dikembangkan dan diuji dalam waktu yang cukup singkat bukan tanpa alasan. Direktur Johns Hopkins Office of Critical Event Preparedness and Response, Gabor D. Kelen, M.D., FACEP, FAAEM, FRCP(C), menjelaskan bahwa ada banyak alasan mengapa vaksin COVID-19 dapat dikembangkan begitu cepat, yakni:

  • Vaksin COVID-19 dibuat dengan metode yang telah dikembangkan selama bertahun-tahun sebelumnya, sehingga perusahaan dapat memulai proses pengembangan vaksin pada awal pandemi.

  • Pengembang vaksin tidak melewatkan langkah pengujian apa pun, tetapi melakukan beberapa langkah pada jadwal yang tumpang tindih untuk mengumpulkan data lebih cepat.

  • Beberapa jenis vaksin COVID-19 dibuat menggunakan messenger RNA (mRNA), yang memungkinkan pendekatan yang lebih cepat daripada cara pembuatan vaksin secara tradisional.

  • Karena COVID-19 sangat menular dan tersebar luas, tidak butuh waktu lama untuk melihat apakah vaksin itu bekerja untuk sukarelawan penelitian yang divaksinasi.

Situasi darurat juga memerlukan tanggapan darurat, tetapi ini bukan berarti perusahaan mengabaikan protokol keselamatan atau tidak melakukan pengujian yang memadai untuk mengembangkan vaksin.

Baca Juga: Terbaru! Ini 14 Syarat Penerima Vaksin COVID-19

2. Tidak perlu divaksinasi setelah terinfeksi COVID-19

ilustrasi vaksinasi covid-19 (freepik.com/freepik)

Kebanyakan orang beranggapan bahwa setelah terinfeksi COVID-19, vaksinasi tidak diperlukan. Padahal, laporan berjudul "COVID-19 reinfection in a healthcare worker after exposure with high dose of virus: A case report" yang diterbitkan dalam jurnal Clinical Case Reports tahun 2021 menyebut bahwa secara keseluruhan kasus reinfeksi atau reaktivasi COVID-19 telah dilaporkan.

Meskipun ada perbedaan dalam data yang diberikan, termasuk data serologi, waktu reaktivasi, dan periode penyakit, tetapi pasien yang dites positif lagi umumnya memiliki penyakit yang lebih ringan atau infeksi tanpa gejala. Walaupun masih jarang terjadi, tetapi ini tetap saja menjadi hal yang perlu dikhawatirkan oleh seluruh orang yang sadar akan bahaya COVID-19.

3. Vaksin COVID-19 memiliki efek samping yang berbahaya, bahkan dapat menyebabkan kematian

ilustrasi demam tinggi (pexels.com/polina tankilevitch)

Menurut keterangan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), efek samping yang dilaporkan dari vaksinasi COVID-19 sebagian besar adalah efek ringan hingga sedang, dan berlangsung dalam waktu singkat. Misalnya demam, kelelahan, sakit kepala, nyeri otot, kedinginan, diare, dan nyeri di tempat vaksin disuntikkan. Kemungkinan salah satu atau beberapa efek samping tersebut terjadi setelah divaksinasi sesuai dengan vaksin COVID-19 tertentu.

Itulah kenapa setelah menerima vaksinasi, seseorang diminta untuk tetap berada di lokasi vaksinasi selama 15-30 menit, agar petugas kesehatan bisa memantau dan memastikan bila terjadi reaksi langsung.

Dalam kebanyakan kasus, beberapa efek samping dapat diatasi dengan istirahat yang cukup, memenuhi kebutuhan cairan, dan pemberian parasetamol atau asetaminofen untuk efek samping tertentu.

4. Tidak perlu pakai masker setelah mendapat suntikan vaksin COVID-19

ilustrasi masker medis (pexels.com/polina tankilevitch)

Walaupun telah mendapatkan suntikan vaksin COVID-19, bukan berarti kita telah terbebas dari risiko infeksi COVID-19.

Dilansir Cleveland Clinic, spesialis penyakit menular Kristin Englund, MD, asal Amerika Serikat (AS) menjelaskan alasan penting untuk tetap pakai masker bagi orang-orang yang telah mendapat vaksinasi:

  • Butuh waktu untuk vaksin dapat bekerja secara optimal. Kita tidak akan mencapai tingkat efektivitas hingga dua minggu setelah dosis kedua vaksin diberikan.
  • Vaksin tidak memberikan perlindungan 100 persen. Meskipun vaksin sangat efektif, mereka tidak menawarkan perlindungan sepenuhnya. Sisanya, kita masih berisiko terinfeksi COVID-19.
  • Kekhawatiran infeksi tanpa gejala. Para ahli khawatir bahwa orang yang divaksinasi masih dapat terinfeksi tanpa gejala dan kemudian menularkannya kepada orang lain yang belum divaksinasi.
  • Kita masih perlu melindungi mereka yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah dan mereka yang tidak dapat divaksinasi.
  • Dosis vaksin masih terbatas. Para ahli mengatakan bahwa perlu adanya vaksinasi hingga 80 persen populasi dalam suatu wilayah untuk mencapai kekebalan kelompok, sedangkan dosis vaksin masih terbatas.

Selain merupakan salah satu upaya untuk melindungi diri sendiri dari infeksi COVID-19, kita juga diharapkan punya kesadaran penuh untuk melindungi orang-orang di sekitar kita dengan disiplin menjalankan protokol kesehatan yang berlaku.

5. Hanya perlu satu dosis vaksin COVID-19

ilustrasi vaksin covid-19 (pexels.com/nataliya vaitkevich)

Semua vaksin COVID-19 telah melewati semua tahapan uji klinis yang diperlukan. Pengujian dan pemantauan secara keseluruhan telah menunjukkan bahwa vaksin ini aman dan efektif.

Menurut sebuah laporan berjudul "Necessity of 2 Doses of the Pfizer and Moderna COVID-19 Vaccines" yang diterbitkan dalam jurnal JAMA tahun 2021, ketika vaksin pertama kali diuji, reaksi kekebalan yang relatif lemah ditemukan dalam beberapa minggu setelah orang menerima dosis pertama vaksin.

Diikuti oleh reaksi kuat ketika dosis kedua diberikan, rangkaian uji coba berikutnya dilakukan untuk melihat kemampuan pencegahan infeksi COVID-19 setelah menerima dua dosis vaksin dan ini terbukti efektif meningkatkan kekebalan.

Akan tetapi, ada kemungkinan cukup satu dosis saja bisa diberikan kepada mereka yang telah pulih dari infeksi COVID-19, berdasarkan riset yang tengah dikembangkan oleh Penn Institute of Immunology, AS. Tentunya, vaksin-vaksin yang ada saat ini memiliki keefektifan dalam mencegah infeksi setelah dosis pertama dan kedua diberikan.

6. Vaksin COVID-19 akan mengubah DNA

ilustrasi tes dna (pexels.com/cottonbro)

Walaupun tergolong baru, vaksin mRNA telah terbukti mampu melindungi tubuh dari beberapa penyakit menular. Berdasarkan keterangan dari UNICEF, teknologi vaksin mRNA COVID-19 telah diuji secara ketat untuk keamanan dan uji klinis telah menunjukkan bahwa vaksin jenis ini memberikan respons kekebalan yang lebih tahan lama.

Teknologi vaksin mRNA telah dipelajari selama beberapa dekade, termasuk dalam konteks vaksin terhadap virus Zika, rabies, dan influenza. Vaksin mRNA bukan vaksin virus hidup dan tidak mengganggu DNA manusia.

Vaksin mRNA justru membantu dan mengajari sel kita cara menghasilkan protein yang memicu respons imun di dalam tubuh kita, sehingga tubuh kita bisa meningkatkan antibodinya dan itulah yang melindungi kita dari paparan virus.

Baca Juga: Perbandingan 7 Jenis Vaksin COVID-19 yang Akan Dipakai Indonesia

Verified Writer

Tyara Motik

The beginner

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya