Acara "Diseminasi Hasil Evaluasi Akhir Expanding Saving Lives at Birth (ESLAB) dari Yayasan project HOPE" di Jakarta, pada Selasa (15/07/2025) (IDN Times/Misrohatun)
Meskipun kemajuan terus diupayakan, tetapi perjalanan menurunkan AKI dan AKB di Indonesia masih penuh tantangan. Setiap langkah kecil yang berhasil dicapai adalah hasil kolaborasi banyak pihak, mulai dari tenaga kesehatan di garda terdepan, para kader di desa, hingga kebijakan yang berpihak pada keselamatan perempuan dan anak-anak. Namun, untuk bergerak lebih cepat, dibutuhkan terobosan yang tidak hanya berhenti di ruang rapat, tetapi harus benar-benar terlaksana di lapangan.
Penurunan AKI dan AKB tidak bisa hanya mengandalkan layanan medis di rumah sakit. Pencegahan justru harus dimulai jauh sebelum ibu hamil masuk ruang bersalin, yakni dengan edukasi sejak remaja, pemberdayaan keluarga, sampai penyediaan fasilitas kesehatan dasar yang memadai di tingkat desa dan kelurahan.
Tantangan ini tergambar dari data yang disampaikan dr. Tutut Purwanti, Program Manager Expanding Saving Lives at Birth (ESLAB) dari Yayasan Project HOPE.
“Target AKI adalah 183. Namun, hingga semester satu 2024 tercatat 4.151 kematian ibu secara nasional, rata-rata 691 kasus per bulan setara dengan satu rangkaian gerbong penuh penumpang kereta cepat Whoosh. Capaian ini masih jauh dari target global Sustainable Development Goals (SDGs), yakni kurang dari 70 per 100.000 kelahiran hidup pada 2030,” ujarnya.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik, karena nyatanya ada keluarga yang kehilangan istri, ibu, atau anak perempuan. Karena itu, setiap upaya penanganan harus menyentuh akar persoalan, yaitu akses layanan yang merata, edukasi kesehatan reproduksi, hingga perubahan cara pandang bahwa keselamatan ibu adalah tanggung jawab bersama.
Di beberapa daerah, secercah harapan mulai tampak. Contohnya Indramayu. Di kabupaten ini, angka rujukan kegawatdaruratan ibu hamil menurun signifikan. Bukan karena masalahnya lenyap, tetapi karena para kader kesehatan kini mampu mengenali tanda bahaya sejak awal. Merekalah yang membantu ibu hamil mengambil keputusan cepat. Perubahan ini tidak hanya berdampak pada kinerja individu, tetapi juga berpengaruh langsung terhadap kualitas layanan kesehatan ibu dan anak.
Rasa percaya diri para kader dan tenaga kesehatan menjadi fondasi kuat dalam memberikan pelayanan yang responsif dan tepat sasaran dan mengubah cara masyarakat memandang kehamilan sebagai proses yang harus dijaga bersama.
Dari semua yang dipaparkan di atas, satu hal yang jelas, menurunkan AKI dan AKB butuh kerja sama banyak tangan. Perubahan tak lahir dari gedung tinggi di ibu kota semata, tapi tumbuh dari desa, posyandu, rumah bidan, dari pintu ke pintu. Sebab di sanalah nyawa seorang ibu, bayi, dan generasi masa depan dipertaruhkan.