Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi melahirkan (freepik.com/DC Studio)
ilustrasi melahirkan (freepik.com/DC Studio)

Intinya sih...

  • Angka Kematian Ibu (AKI) semester pertama 2024 mencapai 4.151, jauh dari target RPJMN 2024 yang seharusnya 183.

  • Kesehatan ibu diatur dalam regulasi kesehatan reproduksi, yang mana setiap perempuan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan ibu untuk hidup sehat dan berkualitas serta mengurangi AKI.

  • AKI di Indonesia menurun dari 246 pada 2010 menjadi 189 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2020, tetapi masih tinggi dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.

Di tengah upaya panjang menekan angka kematian ibu di Indonesia, kabar terbaru justru menunjukkan tantangan besar yang masih harus dihadapi. Pada semester pertama 2024, Angka Kematian Ibu (AKI) tercatat menyentuh angka 4.151. Angka ini masih jauh dari target yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024, yakni 183 kasus. Kesenjangan ini menjadi pengingat bahwa menjaga keselamatan ibu hamil hingga persalinan tetap menjadi pekerjaan rumah besar yang belum tuntas.

Isu ini kembali ditegaskan dalam acara “Diseminasi Hasil Evaluasi Akhir Expanding Saving Lives at Birth (ESLAB)” yang digelar di Jakarta, Selasa (15/07/2025). Dalam forum tersebut, para pemangku kepentingan duduk bersama, berbagi cerita, dan mengurai data dari program yang sudah berjalan sejak 2022 ini.

Program ESLAB digagas oleh Yayasan Project HOPE, bekerja sama dengan Project HOPE US, untuk menjangkau daerah-daerah. Empat kabupaten prioritas dipilih: Indramayu, Grobogan, Sumedang, dan Sampang, dengan pendanaan hibah dari Johnson & Johnson Foundation yang disalurkan lewat Give2Asia.

Kesehatan ibu diatur dalam regulasi

Di balik setiap kelahiran, ada satu hal yang sering luput dari perhatian: perjalanan seorang ibu, sejak masa kehamilan, proses persalinan, hingga masa nifasnya. Fase-fase ini bukan hanya menentukan keselamatan sang ibu, tetapi juga menentukan bagaimana seorang anak memulai hidupnya di dunia.

Di Indonesia, kepedulian terhadap keselamatan ibu selama masa-masa penting ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Aturan ini menegaskan bahwa setiap perempuan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai agar bisa menjalani kehamilan, melahirkan, dan masa setelah melahirkan dengan aman. Tujuannya jelas, yaitu mewujudkan hidup sehat dan berkualitas, sekaligus menekan AKI, salah satu tolok ukur penting yang masih menjadi tantangan di banyak daerah.

AKI menggambarkan berapa banyak perempuan yang kehilangan nyawa saat hamil, melahirkan, atau di masa nifas. Menurut WHO, sebagian besar kematian ibu sebenarnya bisa dicegah bila ibu mendapatkan perawatan kesehatan yang tepat dan memadai, mulai dari pemeriksaan kehamilan rutin, persalinan yang ditangani tenaga medis terlatih, hingga dukungan kesehatan setelah melahirkan.

Namun, bukan hanya AKI yang menjadi perhatian. Angka Kematian Bayi (AKB) pun tak kalah penting sebagai cerminan mutu layanan kesehatan di suatu negara. WHO mendefinisikan AKB sebagai jumlah kematian bayi berusia di bawah satu tahun per 1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun. Angka ini tak hanya untuk melihat kondisi pelayanan kesehatan, tetapi juga gambaran kesejahteraan sosial, kondisi ekonomi, hingga kualitas lingkungan suatu bangsa.

Di Indonesia sendiri, upaya menekan AKI dan AKB tidak lepas dari kerja keras berbagai pihak: dari pemerintah, petugas kesehatan, hingga peran keluarga dan komunitas. Sosialisasi pentingnya pemeriksaan kehamilan, pemberian imunisasi, dukungan gizi ibu dan bayi, hingga akses fasilitas kesehatan yang terjangkau adalah beberapa cara yang terus didorong agar setiap ibu dan bayi punya peluang hidup yang lebih baik.

Sebab pada akhirnya, keselamatan seorang ibu dan anak bukan hanya angka di laporan tahunan. Mereka adalah cermin bagaimana sebuah negara menjaga generasi masa depannya. Mulai dari detak jantung pertama di dalam rahim, hingga tangisan pertama yang membuka hidup di dunia.

Angkanya masih tergolong tinggi

ilustrasi melahirkan (unsplash.com/Aditya Romansa)

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), AKI di Indonesia menurun dari 246 pada 2010 menjadi 189 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2020—turun 45 persen dalam satu dekade. Namun, angka tersebut masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, yakni:

  • Malaysia (21)

  • Thailand (29)

  • Singapura (7)

AKB juga mengalami penurunan, merujuk pada data BPS 2023, dari 26 per 1.000 kelahiran hidup pada 2010 menjadi 16,85 per 1.000 kelahiran hidup pada periode yang sama.

Masih jauh dari target

Acara "Diseminasi Hasil Evaluasi Akhir Expanding Saving Lives at Birth (ESLAB) dari Yayasan project HOPE" di Jakarta, pada Selasa (15/07/2025) (IDN Times/Misrohatun)

Meskipun kemajuan terus diupayakan, tetapi perjalanan menurunkan AKI dan AKB di Indonesia masih penuh tantangan. Setiap langkah kecil yang berhasil dicapai adalah hasil kolaborasi banyak pihak, mulai dari tenaga kesehatan di garda terdepan, para kader di desa, hingga kebijakan yang berpihak pada keselamatan perempuan dan anak-anak. Namun, untuk bergerak lebih cepat, dibutuhkan terobosan yang tidak hanya berhenti di ruang rapat, tetapi harus benar-benar terlaksana di lapangan.

Penurunan AKI dan AKB tidak bisa hanya mengandalkan layanan medis di rumah sakit. Pencegahan justru harus dimulai jauh sebelum ibu hamil masuk ruang bersalin, yakni dengan edukasi sejak remaja, pemberdayaan keluarga, sampai penyediaan fasilitas kesehatan dasar yang memadai di tingkat desa dan kelurahan.

Tantangan ini tergambar dari data yang disampaikan dr. Tutut Purwanti, Program Manager Expanding Saving Lives at Birth (ESLAB) dari Yayasan Project HOPE.

“Target AKI adalah 183. Namun, hingga semester satu 2024 tercatat 4.151 kematian ibu secara nasional, rata-rata 691 kasus per bulan setara dengan satu rangkaian gerbong penuh penumpang kereta cepat Whoosh. Capaian ini masih jauh dari target global Sustainable Development Goals (SDGs), yakni kurang dari 70 per 100.000 kelahiran hidup pada 2030,” ujarnya.

Angka-angka ini bukan sekadar statistik, karena nyatanya ada keluarga yang kehilangan istri, ibu, atau anak perempuan. Karena itu, setiap upaya penanganan harus menyentuh akar persoalan, yaitu akses layanan yang merata, edukasi kesehatan reproduksi, hingga perubahan cara pandang bahwa keselamatan ibu adalah tanggung jawab bersama.

Di beberapa daerah, secercah harapan mulai tampak. Contohnya Indramayu. Di kabupaten ini, angka rujukan kegawatdaruratan ibu hamil menurun signifikan. Bukan karena masalahnya lenyap, tetapi karena para kader kesehatan kini mampu mengenali tanda bahaya sejak awal. Merekalah yang membantu ibu hamil mengambil keputusan cepat. Perubahan ini tidak hanya berdampak pada kinerja individu, tetapi juga berpengaruh langsung terhadap kualitas layanan kesehatan ibu dan anak.

Rasa percaya diri para kader dan tenaga kesehatan menjadi fondasi kuat dalam memberikan pelayanan yang responsif dan tepat sasaran dan mengubah cara masyarakat memandang kehamilan sebagai proses yang harus dijaga bersama.

Dari semua yang dipaparkan di atas, satu hal yang jelas, menurunkan AKI dan AKB butuh kerja sama banyak tangan. Perubahan tak lahir dari gedung tinggi di ibu kota semata, tapi tumbuh dari desa, posyandu, rumah bidan, dari pintu ke pintu. Sebab di sanalah nyawa seorang ibu, bayi, dan generasi masa depan dipertaruhkan.

Editorial Team