Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi crisis fatigue
ilustrasi crisis fatigue (pexels.com/Thirdman)

Intinya sih...

  • Kelelahan krisis adalah respons manusiawi terhadap paparan traumatis berkepanjangan, bukan tanda kelemahan pribadi.

  • Responden darurat, tenaga kesehatan, relawan, dan komunitas bencana berulang paling rentan; intervensi sistemik dan istirahat terjadwal efektif menurunkan risiko.

  • Batasi paparan berita, jaga kebiasaan pemulihan, akses dukungan psikososial/layanan kesehatan mental bila perlu. Intervensi dini mencegah efek jangka panjang.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Di akhir November 2025, banjir bandang dan longsor menerjang Aceh dan sebagian Sumatra Utara. Isi berita berupa foto maupun video jalan yang hilang, rumah terendam, wajah-wajah pengungsi yang kehilangan keluarga dan harta bendanya, menunggu bantuan.

Di beberapa grup WhatsApp, di layar berita, kabar duka dan laporan evakuasi terus muncul. Pemerintah daerah menetapkan status tanggap darurat, pemerintah terus memperbarui informasi, sementara relawan bergerak mengevakuasi dan mengoordinasi bantuan.

Untuk banyak orang, dari mulai korban, relawan, polisi, tenaga medis, wartawan, bahkan warga jauh yang mengikuti berita, rangkaian bencana seperti ini tidak hanya memunculkan rasa sedih dan iba. Seiring waktu, ada rasa lelah emosional dan kognitif yang muncul dari paparan berita terus-menerus, tugas, hingga rasa tak berdaya menghadapi kerugian yang besar. Perasaan seperti itu punya nama, dikenal sebagai crisis fatigue.

Artikel ini mencoba menjelaskan tentang apa itu kelelahan krisis, penyebab, tanda-tandanya, siapa yang paling rentan, serta langkah praktis untuk menangani dan kapan perlu bantuan profesional.

1. Apa itu crisis fatigue?

Crisis fatigue atau kelelahan krisis adalah kondisi kelelahan emosional, mental, dan fisik yang muncul akibat paparan berkepanjangan terhadap situasi krisis. Bisa karena bencana alam berulang, pandemi, konflik, atau serangkaian kejadian traumatis yang tidak berhenti-berhenti.

Istilah ini berkaitan dengan konsep lain yang telah dipelajari, seperti compassion fatigue, burnout, atau resilience fatigue, tetapi menekankan konteks eksternal, yaitu terus-menerus hidup dalam atau menonton krisis. Dalam literatur, fenomena ini juga dibahas sebagai “disaster fatigue” atau “community disaster fatigue”.

2. Penyebab

Berikut ini beberapa penyebab kelelahan krisis:

  • Paparan kronis terhadap berita buruk dan trauma. Arus informasi 24/7 membuat orang sulit mundur dari stimulasi emosional. Studi menunjukkan hubungan antara paparan berita krisis yang terus-menerus dengan penurunan keterlibatan dan stres kronis.

  • Beban kerja dan tugas berulang pada responder. Tenaga medis, relawan, dan pekerja darurat yang terus dipanggil cenderung mengalami penurunan kapasitas coping (kemampuan mengatasi stres). Ada bukti yang mengaitkan tugas berulang di unit gawat darurat dengan risiko burnout dan compassion fatigue.

  • Kondisi sosial-ekonomi dan ketidakpastian. Kehilangan harta, rumah, mata pencaharian, serta ketidakpastian tentang bantuan membuat stres kronis pada komunitas. Penelitian lapangan di komunitas yang mengalami bencana berulang menunjukkan munculnya resilience fatigue akibat sumber daya yang tidak memadai.

3. Gejala

ilustrasi sulit berkonsentrasi (pexels.com/cottonbro studio)

Kelelahan krisis bisa muncul secara halus lalu meluas. Gejala umum meliputi:

  • Emosional: mudah lelah, sinis, mati rasa, gampang marah, perasaan putus asa.

  • Kognitif: sulit berkonsentrasi, keputusan menunda, penurunan kemampuan memecahkan masalah.

  • Fisik: gangguan tidur, nyeri kepala, gangguan pencernaan, kelelahan yang berkepanjangan.

  • Perilaku: menarik diri, menunda mengambil tindakan, penurunan partisipasi sosial atau penghindaran berita.

4. Siapa yang paling rentan?

Orang-orang yang paling rentan mengalami kelelahan krisis antara lain:

  • Responden darurat dan tenaga kesehatan. Karena paparan langsung terhadap trauma dan beban kerja tinggi. Studi lintas negara terus menemukan prevalensi compassion fatigue di antara tenaga medis gawat darurat dan perawat.

  • Relawan jangka panjang dan pekerja sosial komunitas yang terus membantu tanpa jeda istirahat memadai (konsep disaster fatigue dan resilience fatigue pada komunitas).

  • Korban langsung dan masyarakat yang sering terkena bencana. Kehilangan berulang dan ketidakpastian ekonomi melemahkan kapasitas coping keluarga dan komunitas.

  • Jurnalis dan warga yang terus-menerus mengikuti berita. Paparan informasi traumatis nonstop meningkatkan risiko stres kronis.

5. Cara menangani kelelahan krisis

Ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan untuk mengatasi kelelahan krisis:

  • Batasi paparan berita tanpa menyurutkan kewaspadaan. Pilih sumber tepercaya, atur waktu mengecek kabar (misalnya dua kali sehari), dan hindari scroll nonstop. Kontrol atas paparan informasi membantu menurunkan kecemasan.

  • Istirahat terjadwal dan pemulihan. Cuti, tidur cukup, dan aktivitas yang memberi kepuasan (hobi, interaksi sosial) membantu memulihkan kapasitas emosional. Intervensi pengelolaan stres menunjukkan efek protektif terhadap burnout.

  • Dukungan tim dan supervisi untuk tim tanggap darurat. Rotasi tugas, supervisi dukungan psikologis, dan pelatihan pra penugasan terbukti menurunkan insiden compassion fatigue.

  • Pelatihan pertolongan psikologis dan keterampilan coping. Model Psychological First Aid dan program resilience building dapat membantu komunitas pulih lebih baik setelah bencana. Ada program yang disesuaikan untuk konteks Indonesia yang menunjukkan hasil positif di lapangan.

  • Akses layanan kesehatan mental. Konseling, terapi perilaku kognitif, atau kelompok dukungan dapat ditawarkan bagi mereka dengan gejala menonjol. Metaanalisis intervensi untuk compassion fatigue menunjukkan manfaat program terstruktur.

6. Efek jangka pendek dan jangka panjang

ilustrasi laki-laki mengalami depresi (freepik.com/freepik)

Ada beberapa efek jangka pendek dan jangka panjang dari kelelahan krisis, seperti:

  • Jangka pendek: penurunan fungsi sehari-hari, gangguan tidur, hubungan interpersonal tegang, penurunan produktivitas serta peningkatan risiko kesalahan di pekerjaan (terutama sektor kesehatan dan tanggap darurat).

  • Jangka panjang: jika tak ditangani, kelelahan krisis dapat berkembang menjadi gangguan suasana hati (depresi), gangguan kecemasan kronis, PTSD pada beberapa individu, dan menurunnya kapasitas komunitas untuk pulih dari bencana berulang. Studi ekologi sosial menyebutkan fenomena resilience fatigue yang menurunkan kemampuan pemulihan komunitas.

7. Kapan harus mencari bantuan dari seorang profesional?

Segera cari bantuan profesional jika:

  • Gejala mengganggu fungsi sehari-hari (tidak bisa kerja atau mengurus keluarga).

  • Muncul pikiran untuk menyakiti diri sendiri atau orang lain.

  • Perubahan tidur/nafsu makan yang drastis dan berkepanjangan.

  • Ketergantungan pada alkohol/obat untuk “mengatasi” perasaan.

Layanan kesehatan mental klinis, layanan darurat lokal, atau hotline krisis adalah jalur yang tepat. Untuk tim tanggap darurat, organisasi tempat bekerja seharusnya menyediakan jalur dukungan psikososial yang harus segera diakses. Intervensi dini mengurangi perkembangan menjadi gangguan mental berat.

Dampak krisis tidak hanya bersifat fisik dan material. Ada beban emosional yang menumpuk, diam-diam menguras tenaga dan asa. Kelelahan krisis adalah respons manusiawi terhadap paparan traumatis berulang. Mengenalinya adalah langkah pertama menuju pemulihan.

Referensi

"How to cope with crisis fatigue." Medical News Today. Diakses November 2025.

Cassandra Davis et al., “Resiliency Fatigue for Rural Residents Following Repeated Natural Hazard Exposure,” Ecology and Society 29, no. 4 (January 1, 2024), https://doi.org/10.5751/es-15561-290421.

Valerie Ingham et al., “Indicators of Community Disaster Fatigue: A Case Study in the New South Wales Blue Mountains,” International Journal of Disaster Risk Reduction 95 (July 7, 2023): 103831, https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2023.103831.

None Uri Samet Ba Mph, “Crisis Fatigue in the Digital Age: How Constant Exposure to Disasters Affects Public Attention and Engagement,” International Journal of Scientific Research in Computer Science Engineering and Information Technology 11, no. 3 (May 26, 2025): 1084–95, https://doi.org/10.32628/cseit25111681.

Salman Amish Alshammari et al., “A Predictive Study of Factors Associated With Burnout, Compassion Fatigue, and Moral Distress Among Emergency Nurses,” Scientific Reports 15, no. 1 (August 20, 2025): 30596, https://doi.org/10.1038/s41598-025-14792-5.

Donald Jeanmonod et al., “Compassion Fatigue in Emergency Medicine: Current Perspectives,” Open Access Emergency Medicine Volume 16 (July 1, 2024): 167–81, https://doi.org/10.2147/oaem.s418935.

Joseph A Boscarino, “Community Disasters, Psychological Trauma, and Crisis Intervention,” 2015, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4429300.

Sanjay Patole, Dinesh Pawale, and Chandra Rath, “Interventions for Compassion Fatigue in Healthcare Providers—A Systematic Review of Randomised Controlled Trials,” Healthcare 12, no. 2 (January 11, 2024): 171, https://doi.org/10.3390/healthcare12020171.

Zachary Zarowsky and Tayyab Rashid, “Resilience and Wellbeing Strategies for Pandemic Fatigue in Times of Covid-19,” International Journal of Applied Positive Psychology 8, no. 1 (September 30, 2022): 1–36, https://doi.org/10.1007/s41042-022-00078-y.

Mu’man Nuryana et al., “Lifestyle and Psychosocial Predictors of Health Resilience Among Indonesian Disaster Preparedness Cadres (TAGANA): A Machine Learning Approach,” Frontiers in Public Health 13 (November 5, 2025), https://doi.org/10.3389/fpubh.2025.1673734.

Denis Deriglazov, Júlia Halamová, and Lívia Kernová, “Burnout, Compassion Fatigue, and Compassion Satisfaction Interventions via Mobile Applications: A Systematic Review and a Meta‐Analysis,” Worldviews on Evidence-Based Nursing 22, no. 3 (May 13, 2025): e70033, https://doi.org/10.1111/wvn.70033.

Editorial Team