Siang hari terasa menyengat di banyak wilayah Indonesia. Angka di termometer menembus 37,6 derajat Celcius, dan BMKG menyebut kondisi ini bukan kebetulan.
Gerak semu matahari yang kini berada di selatan ekuator berpadu dengan embusan monsun Australia, membawa udara kering dan hangat. Langit pun lebih sering cerah tanpa banyak awan, membuat radiasi matahari jatuh langsung ke permukaan Bumi.
Wilayah tengah dan selatan Indonesia—mulai dari Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan, hingga Papua—menjadi daerah yang paling merasakan teriknya. Catatan BMKG menunjukkan suhu di atas 35 derajat Celcius tersebar luas, dengan puncaknya 37,6 derajat Celcius di Majalengka (Jawa Barat) dan Boven Digoel (Papua) pada 14 Oktober 2025. Beberapa hari sebelumnya, angka serupa juga tercatat di Kapuas Hulu dan Kupang.
Fenomena ini bukan sekadar lonjakan sesaat. Udara kering yang dominan membuat panas bertahan, sementara peluang hujan hanya muncul secara lokal pada sore atau malam hari di sebagian Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Papua.
Di tengah cuaca ekstrem ini, BMKG mengingatkan masyarakat untuk menjaga tubuh tetap terhidrasi, mengurangi aktivitas di bawah terik siang, dan tetap waspada terhadap perubahan cuaca mendadak, seperti hujan disertai petir dan angin kencang pada sore atau malam hari.
Cuaca panas berkaitan dengan paparan sinar ultraviolet (UV) yang tinggi. Saat langit cerah dan awan minim, radiasi matahari, termasuk sinar UV, lebih mudah mencapai permukaan Bumi, sehingga risiko paparan meningkat. Lantas, apa saja risiko kesehatan dari paparan sinar UV tinggi?
