Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi penyintas kanker payudara.
ilustrasi kanker payudara (IDN Times/Aditya Pratama)

Intinya sih...

  • Kanker payudara sering kali dikira hanya menyerang usia lanjut. Namun, faktanya kanker payudara dapat menyerang perempuan dari berbagai usia.

  • Perjalanan Mei menaklukkan kanker payudara berawal dari deteksi mandiri yang dilakukan pada September 2021. Usianya saat itu 19 tahun.

  • Beruntungnya, Mei didiagnosis kanker payudara stadium I, artinya sel-sel kanker belum menyebar ke jaringan lain. Pada stadium ini, peluang kesuksesan pengobatannya tinggi.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kanker payudara kerap dianggap sebagai penyakit yang datang di usia matang. Namun, bagi Kamila Meilina, kenyataan pahit itu hadir jauh lebih cepat, ketika usianya masih sangat muda.

Saat teman sebayanya sibuk menata langkah karier, Mei justru harus menghadapi perjalanan penuh tantangan. Berawal dari penemuan sebuah benjolan mencurigakan, hingga rangkaian prosedur medis yang menguji ketangguhan fisik sekaligus mentalnya.

Dalam perbincangan bersama IDN Times, Mei membuka kisahnya, dari momen menerima diagnosis, melewati pahit getir pengobatan, hingga akhirnya berdiri sebagai seorang penyintas.

1. Hasil deteksi mandiri yang tak terduga

Perjalanan Mei menaklukkan kanker payudara berawal dari deteksi mandiri yang dilakukan pada September 2021. Usianya saat itu 19 tahun. Awalnya, gejala yang ia rasakan terbilang samar dan mudah diabaikan. Mei menceritakan gejala pertamanya terasa di area payudara kirinya.

"Saat itu, aku merasa ada bagian yang sakit di bagian payudara sebelah kiri, di dekat ketiak," ujarnya.

Awalnya, Mei berasumsi rasa sakit itu cuma rasa sakit biasa. Rasa sakitnya cenderung muncul saat ada pergerakan, khususnya saat mengetik di laptop. Namun, ketika rasa sakit itu tidak kunjung hilang, ia pun mulai curiga. Setelah dibiarkan selama satu hingga dua minggu, nyerinya makin intens. Titik baliknya adalah saat ia melakukan pemeriksaan visual dan raba. Ia menemukan adanya kelainan fisik.

"Ketika aku lihat di bagian yang sakit itu, ada kayak tonjolan di area payudaranya itu. Ketika dipegang juga benar, sih, tonjolan itu cukup keras," Mei mengatakan.

Karena mulai menimbulkan rasa sakit yang mengganggu, seperti ngilu atau urat seperti tertarik, terutama saat bergerak, Mei memutuskan untuk memeriksakannya ke dokter. Dari situ dimulailah serangkaian tes diagnostik.

Mengenai gejala-gejala tersebut, Dr. dr. Rebecca N. Angka, M. Biomed, Sekretaris Eksekutif Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Pusat dan Penanggung Jawab Klinik Utama dan SMH YKI mengatakan bahwa hampir semua kanker sebenarnya tanpa gejala. Namun, untuk kanker payudara adanya benjolan sebaiknya tidak diabaikan.

"Kalau kanker payudara memang gejala yang terbanyak itu ada benjolan dan khasnya benjolannya tidak bergerak, agak keras, sehingga diperlukan pemeriksaan biopsi untuk menentukan kanker payudara itu," jawab Dr. Rebecca.

Ciri lain yang penting adalah sifatnya yang menetap dan tidak bergerak. Gejala kanker payudara lainnya menurut Dr. Rebecca adalah nyeri dan keluar cairan dari puting meski dalam keadaan tidak menyusui.

"Kadang-kadang benjolannya tidak jelas, payudara jadi berubah bentuk seperti puting yang masuk ke dalam atau di area payudara yang lain di bagian luar terlihat jeglong (cekung). Pokoknya kalau menemukan sesuatu yang tidak normal, tidak biasa, harus periksa," ia menambahkan.

2. Tekanan tumor pada saraf

Setelah menjalani pemeriksaan fisik, dokter memberikan dugaan awal.

“Dilihat dari kondisi yang tampak dan bisa diraba, diagnosis pertama adalah tumor,” kenangnya.

Namun, dokter belum bisa memastikan apakah itu kanker atau bukan. Untuk sampai pada kepastian, diperlukan pemeriksaan lanjutan, karena kanker hanya bisa dipastikan lewat analisis laboratorium.

Mei kemudian menjalani mammografi, pemeriksaan rontgen jaringan payudara. Tiga hari menunggu, akhirnya ia menerima kabar yang lebih jelas, bahwa benar ada tumor.

“Saat itu posisinya (tumor) memang tidak besar, tapi juga sudah tidak bisa dibilang kecil. Tumor itu mengapit saraf di sekitarnya, makanya lengan kiri aku sakit,” Mei bercerita.

3. Diselimuti kebingungan dan ketakutan

Tumor yang berhasil diangkat oleh dokter pascaoperasi pengangkatan. (Dok. Istimewa)

Dengan hasil temuan itu, dokter segera menyarankan operasi pengangkatan tumor. Bagi Mei, saran tersebut langsung menghadirkan gelombang kekhawatiran dan kebingungan.

“Pikiran yang pertama muncul waktu itu, aku khawatir karena masih cukup awam sama yang namanya tumor atau kanker payudara dan sebagainya itu,” ungkap Mei.

Rasa terkejut tak bisa ia sembunyikan. Selama ini, gaya hidupnya dirasa biasa saja, jauh dari bayangan penyakit serius. Lebih berat lagi, usianya saat itu masih sangat muda.

“Apalagi itu tahun 2021, aku masih 19 tahun, masih remaja akhir. Jadi perasaan yang pertama muncul itu bingung dan agak takut,” ceritanya.

Meski dihantui rasa takut, tetapi Mei tetap berusaha menggenggam harapan. Ia meyakinkan dirinya bahwa pada tahap tumor, masih ada peluang besar untuk diangkat, belum terlambat untuk ditangani. Keyakinan itu membuatnya mantap melangkah menjalani operasi.

4. Keluarga di tengah ujian kanker

Diagnosis tumor yang mengapit saraf itu tentu mengubah keseharian Mei. Namun, ia berusaha untuk tetap menjalani rutinitasnya sebagai mahasiswa sembari menunggu jadwal operasi.

“Mungkin lebih kepikiran saja, bingung dan ketakutan. Aku tetap beraktivitas kayak biasa sebenarnya sambil nunggu jadwal operasi yang seminggu kemudian dari (waktu) pertama didiagnosis,” imbuhnya.

Dampak terbesar justru terlihat pada keluarganya, terutama sang ibu. Kekhawatiran itu begitu nyata, mengingat riwayat kanker yang cukup dekat dalam garis keluarga mereka.

“Ini cukup memengaruhi mungkin orang tuaku, karena terutama ibu aku itu dari keluarga yang cukup dekat dengan diagnosis kanker di keluarganya,” lanjut Mei.

Kecemasan ibunya makin berat karena adik perempuannya baru saja meninggal akibat kanker rahim, sementara beberapa kerabat lain juga pernah divonis kanker dengan jenis yang berbeda-beda. Kenangan pahit itu membuat ibunya sulit menahan rasa takut.

“Jadi itu cukup memengaruhi psikisnya, mungkin dia ketakutan dan khawatir. Diagnosis aku yang awalnya tumor ini, dia sangat khawatir kalau ada kanker payudara di situ. Makanya dia yang pertama memutuskan untuk langsung diangkat,” ujarnya.

Mei memahami betul ketakutan ibunya. Meski ia sendiri tengah berjuang, tetapi ia dan keluarganya berusaha saling menguatkan, mencoba menjaga jarak dari bayang-bayang kekhawatiran yang terlalu berlebihan.

Secara genetik kanker bisa diturunkan, kata Dr. Rebecca, tetapi kanker bukan penyakit keturunan.

"Artinya, gen penyebab kanker yang diturunkan sehingga jenis kanker antar keluarga jenisnya bisa berbeda," Dr. Rebecca menjelaskan.

5. Dari tumor menjadi kanker

Setelah menerima diagnosis awal tumor, Mei segera dijadwalkan untuk menjalani operasi pengangkatan. Ia mengaku, sebelum operasi, pikirannya hanya tertuju pada satu hal, yaitu menyelesaikan masalah ini secepat mungkin agar bisa kembali fokus pada kuliah. Namun, ia tak menyangka bahwa tantangan yang sesungguhnya justru menanti pascaoperasi, ketika hasil laboratorium keluar.

Mei menjalani operasi pengangkatan secara konvensional, bukan dengan laser. Jaringan yang diambil kemudian dikirim ke laboratorium untuk diperiksa lebih lanjut. Masa menunggu hasil selama tiga hingga lima hari terasa panjang dan penuh ketidakpastian, hingga akhirnya kabar itu menghantam, bahwa sel kanker terdeteksi.

“Ternyata itu ada sel-sel yang berkembang dan itu diidentifikasi dokternya sebagai kanker payudara,” ujarnya.

Beruntungnya, kanker tersebut stadium I. Dokter menjelaskan bahwa sel-sel kanker belum menyebar ke jaringan lain, masih terbatas di sekitar daging yang terbentuk. Kabar ini menjadi pukulan sekaligus secercah harapan, karena meski berat, ia tahu masih ada peluang besar untuk melawan.

"Potensi sembuhnya masih tinggi (stadium I), asal diobati dengan pengobatan yang benar dan tidak ditunda-tunda. Karena walaupun stadium I, tetapi ditunda, penyakitnya jalan terus, stadiumnya jadi naik. Atau dia berobat tapi bukan berobat yang tepat," kata Dr. Rebecca.

Pengobatan kanker yang tidak tepat yang dimaksud adalah pengobatan non medis yang keberhasilannya tidak bisa dijamin.

6. Tantangan yang harus dilewati

ilustrasi kanker payudara (IDN Times/Aditya Pratama)

Diagnosis kanker payudara bukanlah sesuatu yang mudah. Tantangan fisik tentu sangat terasa. Walaupun tumor sudah berhasil diangkat, tetapi perjuangan tidak berhenti di situ. Mei masih harus menjalani pengobatan lanjutan untuk memastikan tidak ada sel kanker yang tersisa.

Dokter meresepkan kemoterapi oral yang harus dijalani selama tiga hingga enam bulan pertama, dengan kontrol rutin setiap bulan. Efek sampingnya cukup terasa dalam kesehariannya. Tubuhnya cepat sekali lelah, membuat aktivitas sederhana terasa berat.

“Ada bagian-bagian tubuh yang mungkin jadi sangat sensitif. Kayak mungkin rambut aku jadi rontok sejak operasi. Mudah lelah itu sih yang utama dan mual setiap kali minum obat,” kisahnya.

Selain itu, hingga kini, bekas jahitan operasi masih meninggalkan rasa nyeri, terutama saat ia harus mengangkat beban berat.

Apa yang dirasakan oleh Mei ada penjelasannya.

Lelah yang dirasakan pasien memang termasuk dari efek samping kemoterapi. Bahkan, ada juga yang merasakan tidak nafsu makan. Namun, pasien harus tetap makan agar daya tahan tubuhnya tetap baik selama menjalani perawatan.

Pascaoperasi, pasien masih ada kemungkinan merasakan sakit di bekas sayatannya, bahkan bisa sampai bertahun-tahun. Menurut Dr. Rebecca, pada sisi lengan atau payudara bekas operasi yang disebut sebagai golden hand, jangan sampai luka berat atau mengangkat beban berat karena akan mudah membengkak.

7. Kekhawatiran akan citra tubuh

Tantangan fisik bisa ditangani dengan prosedur medis, lain halnya dengan beban mental. Rasa takut akan kemungkinan kanker kambuh, ditambah isu citra tubuh pascaoperasi, menjadi ujian yang jauh lebih sunyi. Di sinilah dukungan emosional dari orang-orang terdekat berperan krusial.

“Aku, kan, masih sangat muda waktu itu, jadi masih mikir kalau bentuk tubuh itu penting. Bagian payudara kiri aku bentuknya mungkin jadi nggak sama dengan yang sebelah kanan. Secara mental aku berpikir kayak, 'Aduh bentuknya, kok, jadi begini, nggak kayak yang lain. Apakah ini nggak normal?' Jadi ada rasa tidak percaya diri. Itu cukup menguras mental,” Mei mengatakan.

Dalam menghadapi masa sulit itu, keluarganya menjadi sandaran utama, selalu ada dalam menghadapi segala tantangan yang dihadapi, memastikan Mei tidak pernah merasa sendirian.

“Mereka meyakinkan, kalau, amit-amit, aku kena penyakit apa pun, kita pasti bakal menghadapinya bersama, nggak akan membiarkan aku sendirian. Mau apa pun pengobatannya, di mana pun berobatnya, pasti ditemani,” lanjutnya.

Kehadiran pasangan juga memberi kekuatan tersendiri. Bukan hanya teman berbagi rasa takut, tetapi juga penopang saat Mei berhadapan dengan isu paling sensitif, yaitu citra tubuhnya.

Support dari pacar aku juga cukup sangat membantu ketika aku takut tentang penyakit ini, takut sakit lagi, bahkan ketika takut tentang bentuk tubuh dan sebagainya itu. Dia kasih keyakinan bahwa ini wajar, ini nggak apa-apa,” kata Mei.

Dari orang tua hingga pasangan, lingkaran dukungan itu menjadi energi yang menjaga Mei tetap berdiri tegak. Di tengah pertarungan melawan kanker, ia menemukan kekuatan, bahwa ia tidak berjuang sendirian.

8. Berhasil move on

Dengan dukungan yang diterimanya, Mei berhasil membangun kembali kepercayaan dirinya.

​"Semua yang mereka omongin, semua semangat dan lainnya itu aku terima dengan baik, dan itu sangat berpengaruh, bikin aku jadi pede dan nggak mikirin penyakit itu. Jadi yaudahlah, sudah berlalu dan sudah diangkat, kenapa harus dipikirin lagi," ungkapnya.

​Meski kini telah berdamai dengan masa lalu, tetapi support system Mei tetap aktif dan mengingatkannya akan tanggung jawab di masa depan dengan melakukan pemeriksaan secara berkala.

9. Titik balik

ilustrasi kanker payudara (IDN Times/Aditya Pratama)

Bagi Mei, seluruh perjalanan mulai dari diagnosis, operasi, hingga pengobatan adalah sebuah "titik balik" dalam hidupnya, mendorongnya untuk menjalani hidup lebih sehat dan peduli terhadap tubuhnya.

Ketakutan terbesarnya pasca pengobatan kanker adalah kekambuhan. Karenanya, ia menganggap diagnosis stadium I sebagai sebuah "berkah".

"Aku berpikir bahwa (kanker payudara) masih stadium I itu sebuah keberuntungan, karena masih bisa diobati, masih bisa diangkat sampai ke sumbernya," kata Mei.

Kesadaran ini mengubah perilakunya secara total. Ia kini sangat waspada, bahkan dengan rasa sakit yang masih sangat kecil. Setiap rasa sakit yang dirasakan selalu ia komunikasikan kepada orang tuanya.

"Terasa sakit di bagian mana pun aku bilang ke orang tuaku, ketika rasa sakitnya itu nggak hilang-hilang, aku coba berobat dan tanya penyebabnya," ia bercerita, sebagai upaya aktifnya untuk memonitor tubuh dan mendeteksi masalah sejak dini.

10. Komitmen hidup sehat

Mei telah diyatakan sembuh dan lepas dari obat kemoterapi setelah bulan ke-6 pengobatan. Namun, ia sadar bahwa perjuangan belum benar-benar berakhir.

"Aku sudah sembuh total, sudah nggak minum obat dan lain sebagainya di bulan ke-6, sudah selesai dan dianggap udah nggak perlu lagi minum obat kemoterapi," katanya.

Akan tetapi, ia tetap rutin kontrol dan memonitor tubuhnya, karena potensi kanker untuk datang lagi selalu ada. Adanya faktor genetik yang kuat dalam keluarganya memperkuat kewaspadaan ini.

Perubahan paling signifikan pasca pengobatan kanker adalah pola makan. Ia berusaha menjauhi makanan-makanan yang dianggap berisiko, seperti jajanan yang berminyak atau berhormon.

"Sebetulnya semua (makanan) boleh, tapi kurangi, misalnya makanan yang mengandung pengawet, lebih banyak makan sayur dan buah," Dr. Rebecca mengatakan.

Saran lainnya, hindari makanan yang dimasak dengan suhu tinggi dan dalam waktu lama, yang bisa menghasilkan zat-zat yang mengandung karsinogen (berpotensi menyebabkan kanker).

Kehidupan Mei berangsur kembali normal. Cerita Mei ini bukan cuma tentang resiliensi menghadapi diagnosis kanker payudara, tetapi juga melawan anggapan bahwa kanker identik dengan usia tua.

Dengan mengantongi self-awareness, dukungan keluarga, dan komitmen untuk hidup sehat, Mei kini berdiri tegak sebagai penyintas kanker usia muda. Pesan penting lainnya, jangan mengabaikan perubahan sekecil apa pun pada tubuh.

Editorial Team