Kementerian Kesehatan menyebutkan per Oktober telah mendeteksi sekitar 365.010 atau 65 persen dari estimasi 564 ribu ODHIV di Indonesia, dan berharap target deteksi 68 persen tercapai pada 2025.
Dari 365 ribu orang itu, sudah ada 255.812 orang atau 70 persen yang mendapatkan pengobatan antiretroviral (ARV).
Kemudian, dari 255 ribu orang itu, sebanyak sekitar 150 ribuan sudah diperiksa viral load-nya. Hasilnya, sebanyak 142 ribu orang atau 56 persen yang mengikuti pengobatan ARV viral load-nya tersupresi.
Adapun target Kemenkes adalah 62 persen ODHIV virusnya tersupresi, yang artinya jumlah virus sangat rendah sehingga risiko penularan menurun drastis.
Sebagian besar kasus terkonsentrasi pada 11 provinsi prioritas: DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra Utara, Bali, Papua, Papua Tengah, Sulawesi Selatan, Banten, dan Kepulauan Riau.
Pola penularan di Indonesia didominasi oleh kelompok populasi kunci seperti LSL (laki-laki seks dengan laki-laki), waria, pekerja seks perempuan, dan pengguna napza suntik.
Situasi berbeda terjadi di Papua, penularan sudah menyebar ke populasi umum, dengan prevalensi 2,3 persen, tertinggi secara nasional. WHO dan UNAIDS juga menyoroti bahwa Indonesia termasuk negara dengan infeksi baru yang masih tinggi, berada di peringkat 9 dunia untuk kasus baru HIV.
Selain HIV, meningkatnya infeksi menular seksual (IMS) menjadi peringatan. Tahun lalu, Kemenkes mencatat:
Sebanyak 23.347 kasus sifilis, mayoritas berupa sifilis dini (19.904 kasus).
Sebanyak 77 kasus sifilis kongenital (penularan dari ibu ke bayi).
Sebanyak 10.506 kasus gonore, paling banyak terjadi di DKI Jakarta.
Tingginya kasus IMS berkontribusi besar pada peningkatan risiko penularan HIV, terutama pada kelompok usia produktif dan remaja.